Beberapa hari yang lalu, di tengah pemberitaan mengenai Virus Covid-19 (Corona), Jiwasraya, dan Omnibus Law, muncul sebuah pernyataan dari Dirjen di Kementerian Pertahanan yang akan segera membuka pendaftaran secara sukarela untuk menjadi Komcad bagi WNI berumur 18-35 Tahun sebanyak 25.000 orang.Â
Masing-masing pendaftar apabila diterima wajib mengikuti pelatihan dasar militer selama tiga bulan dengan mendapat fasilitas uang saku dan perlengkapan perseorangan lapangan.
Selanjutnya mereka akan tetap menyandang status aktif sebagai komponen cadangan sampai dengan umur 48 tahun (tanpa kemungkinan mengundurkan diri).
Dasar Hukum
Bagi pembaca yang mungkin masih belum paham, Komcad merupakan amanat dari UU 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara.Â
Terdapat tiga komponen dalam UU tersebut, yaitu Komponen Utama, Komponen Cadangan, dan Komponen Pendukung. Setiap komponen terdiri atas Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, dan Sumber Daya Buatan. Nah khusus untuk tulisan ini akan dibatasi oleh penulis untuk Sumber Daya Manusia saja.
Dari segi konstitusi, pasal 30 ayat 1 memang mewajibkan (dan memberi hak) semua WNI untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Namun ayat dua hanya menyebut TNI-POLRI sebagai Kekuatan Utama dan Rakyat sebagai kekuatan pendukung.Â
Sementara UU 23/2019 menyebut TNI sebagai Komponen Utama, dengan POLRI tidak disebut-sebut lagi. Sehingga menurut penulis, terdapat sebuah celah penjabaran yang tidak sinkron antara UU dengan UUD.
Walaupun demikian, tulisan ini tidak akan berkutat pada tataran hukum, itu penulis serahkan pada ahli hukum atau mungkin Majelis MK bila nanti ada yang menggugat. Penulis akan lebih berkonsentrasi kepada potensi masalah yang bisa diakibatkan oleh pelaksanaan Komcad itu sendiri.
Mengapa perlu Komcad
Tujuan Komcad tentunya adalah sebagai tambahan pasukan (namanya saja cadangan) apabila keluar perintah mobilisasi oleh Presiden (dengan persetujuan DPR) setelah ada deklarasi darurat militer/keadaan perang bagi seluruh atau sebagian wilayah NKRI.
Dari segi strategi militer Indonesia, hal ini masih senafas dengan strategi dasar militer Indonesia yaitu Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta, di mana secara simplistik bisa disamakan dengan perang gerilya (dalam kondisi perang). Karena memang untuk perang gerilya dibutuhkan kader yang cukup memiliki dasar kemiliteran sebagai nukleus regu atau bahkan kandidat perwira bila memiliki kecakapan yang cukup.
Dapat dibayangkan bila satu regu yang beranggotakan 5-10 orang dapat dibentuk dengan komposisi 1 Komcad: 5 rakyat biasa, maka dalam kondisi darurat (di atas kertas) dapat tercipta pasukan sebanyak 150.000 orang/ equivalent 10 divisi infanteri (25.000 x 5 + Komcad).
Selain itu Komcad juga bisa menjadi sumber trained replacement pool untuk menggantikan personel yang gugur/terluka.
Masalah Komcad
Mungkin pembaca yang budiman bingung, lalu apa masalahnya? Masalah pertama, perang gerilya untuk mempertahankan kontinuitas pemerintahan pada zaman ini sudah tidak efektif lagi.
Pada zaman kakek dan buyut kita (Perang Dunia I dan II) untuk menghancurkan pemerintahan, maka sekurangnya 50% kombatan harus dinetralisasi (baca: terluka, gugur, hilang, atau ditawan).Â
Pada zaman sekarang seperti yang didemonstrasikan Perang Irak 2002, dari 515.000 tentara aktif Irak (termasuk 150.000 National Guard---sejenis Komcad), cukup 25.000 yang dinetralisasi, pemerintahan Irak tumbang.
Padahal dari jumlah alutsista, Irak saat itu memiliki jumlah yang jauh lebih banyak dibanding pemerintah RI saat ini.
Masalah kedua adalah apakah pemerintah mampu meretensi kesetiaan para lulusan Komcad? Salah satu insentif yang ditawarkan adalah menerima uang saku selama pelatihan.
Artinya bila merunut PMK SBM 2019, maka total uang yang diterima sekitar Rp 12.240.000 (asumsi masa pelatihan 90 hari x Rp 160.000 minus pajak) dengan konsekuensi mereka harus siap dimobilisasi kapan saja sampai berumur 48 tahun (kecuali sakit, meninggal dunia, diberhentikan dengan tidak hormat).
Jangankan dengan jumlah uang tersebut, Beasiswa LPDP saja dengan pengeluaran negara total per orang bisa mencapai lebih dari Rp 3 miliar, dengan komponen yang diterima langsung oleh penerima bisa mencapai lebih dari Rp 1 miliar (untuk program Doktor Luar Negeri), masih ada yang tidak kembali ke pangkuan NKRI.
Masalah ketiga adalah apakah ada jaminan bahwa para lulusan ini tidak tergoda untuk menggunakan keahlian militernya di jalan yang salah? (baca: pencurian, perampokan, narkoba, dan bahkan terorisme) karena saat ini saja hampir setiap tahun kita mendengar berita TNI aktif dipecat akibat tindak pidana.
Belum lagi ancaman dari menyusupnya paham radikal, terutama pasca latihan.Â
Tahun lalu Menhan menyatakan bahwa 3% anggota aktif TNI terpapar radikalisme. Bila TNI aktif yang setiap saat terus menerus diindroktrinasi, dilatih, digaji, ada karier yang jelas, diberi makan, dipinjami rumah, dirawat kesehatannya (dan keluarganya) masih terpapar, apalagi Komcad yang hanya 3 bulan dilatih?
Coba kita bayangkan bila ada rekrut dari Komcad pasca pelatihan yang terpapar paham radikalisme, maka yang terjadi bukannya mempertahankan efisiensi unit, malahan menjadi musuh dalam selimut seperti yang terjadi di pasukan Tsarist Rusia pada PD I, di mana rekrut simpatisan Bolshevik menyebabkan moral pasukan menjadi runtuh dengan menyebarkan desas-desus dan propaganda.
Atau lebih parah lagi, mereka menjadi pelopor dari tentara pemerintah tandingan. Ingat, 2500 kader bisa menjadi nukleus dari 15.000 orang pasukan, atau setara satu divisi.Â
Padahal untuk mengunci gerak gerilya beberapa referensi menyarankan rasio 10:1, sehingga bukannya memudahkan pekerjaan TNI, keberadaan KOMCAD malah mengunci 150.000 tentara, praktis lebih dari 50 % dari kekuatan TNI AD saat ini untuk menjaga garis belakang. Itu dengan asumsi 10% saja yang membelot, bila lebih ya silakan dibayangkan.
Kita bisa belajar dari sejarah, dimana NKRI sendiri berutang banyak pada lulusan dan/atau jebolan PETA/Heiho pada masa kemerdekaan.
Padahal kita semua mafhum bahwa PETA/Heiho dibentuk untuk membantu Jepang melawan sekutu. Oleh karena itu, seperti Bung Karno katakan: "Jas Merah: Jangan Sekali-kali melupakan Sejarah".
Ketakutan penulis adalah bila ketiga masalah di atas tidak diselesaikan, maka yang terjadi adalah ke depannya Komcad akan menjadi bom yang siap meledak sewaktu-waktu.
Solusi
Beberapa solusi yang penulis tawarkan apabila pemerintah tetap bersikeras untuk menjalankan program Komcad antara lain;
Solusi pertama, untuk tahap awal sebanyak 25.000 orang tersebut, penulis menyarankan untuk merekrut 70%-nya dari kalangan PNS.
Ini untuk memudahkan pengawasan dan mengurangi eksposur kepada paham yang berbahaya. Selain itu faktor kesejahteraan juga (relatif) lebih terjaga, lagi-lagi meningkatkan keandalan.Â
Sisanya bisa diambil dari karyawan BUMN maupun dari organisasi sukarelawan seperti TAGANA, JAGAWANA, maupun MENWA. Jangan mengambil dari ormas. Percayalah, kita mau seminimum mungkin berkaitan dengan politik, sekaligus memastikan bahwa kesetiaan mereka hanya untuk NKRI, bukan untuk yang lain.
Solusi kedua, pelatihan Komcad disarankan untuk lebih banyak kepada keteknikan dan penggunaan alutsista, mengingat latihan dasar kemiliteran relatif mudah dilakukan, apalagi dengan jumlah penduduk RI yang tidak sedikit.
Solusi ketiga, selain tunjangan operasi, sebaiknya pemerintah memberikan tunjangan per tahunnya, sekurangnya Rp 4 Juta per tahun, mungkin bisa sekalian diberikan pada saat latihan penyegaran (refresher course), katakanlah tunjangan kehormatan, sehingga tetap ada hubungan timbal-balik antara pemerintah dengan Komcad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H