Pada Bagian kedua ini, penulis akan mencoba untuk menyajikan beberapa saran bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk bersama-sama memastikan bahwa Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan mendapat dukungan yang pas dari segi sektor riil. Tujuan utama dari saran kebijakan berikut ini adalah untuk memberikan sinyal kepada investor dan calon investor bahwa Indonesia percaya diri dan dalam fase ekspansif.
Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengajukan APBN-P 2020 ke DPR dengan beberapa (banyak!) perubahan asumsi dalam rangka kebijakan ekspansif. APBN-P menjadi wajib dilakukan karena saat ini saja asumsi dan target beberapa komponen makro sudah terlihat bakal meleset. Asumsi pertumbuhan jelas harus dikoreksi, harga minyak mentah dan nilai tukar juga pasti akan berubah.
Target pajak sebanyak Rp 1.867 Trilyun sudah pasti tidak akan tercapai, lebih rasional bila dipasang pada Rp 1.645 T atau naik sekitar 6 % dari realisasi 2019. Deficit neraca primer juga dipasrahkan saja menembus minus Rp 100 T, dengan defisit terhadap GDP ditargetkan mencapai 2,5 % dari sebelumnya yang hanya 1,76 %. Tapi ini juga berarti bahwa pembiayaan (hutang baru) harus dibiarkan membengkak dari yang sebelumnya ditargetkan hanya Rp 307,2 Trilyun menjadi sekitar Rp 450 Trilyun.
Langkah kedua, dari hasil relaksasi anggaran, pemerintah akan mendapat dana segar sekitar 154 Trilyun, dimana dana tersebut dialokasikan ke beberapa hal yang mendesak untuk diselesaikan.
Pertama, Rp 50 Trilyun dialokasikan untuk penambahan kapasitas 5 Kilang Minyak melalui PMN ke Pertamina. Hal ini krusial untuk mengurangi defisit neraca perdagangan terutama sektor migas. Investasi ini juga bisa menyerap tenaga kerja pada tahap kontruksi serta TK terdidik pada masa operasionalnya. Dengan dana segar ini, maka kilang-kilang tersebut bisa beroperasional penuh pada 2023, ketimbang saat ini yang diestimasikan baru kelar pada 2026 karena harus mencari mitra pendanaan.
Kedua, Rp 30 Trilyun dialokasikan sebagai pinjaman untuk membereskan masalah Jiwasraya-Asabri. Dimana sebagian digunakan untuk membayar nasabah, dan sebagian lagi digunakan sebagai modal kerja untuk selanjutnya diputar ke dalam sistem finansial. Hal ini krusial untuk mengembalikan kepercayaan investor pada sistem finansial Indonesia, serta nama baik pemerintah Indonesia (sebagai pemegang saham Jiwasraya) di mata dunia finansial.
Ketiga, alokasi Rp 20 T untuk pengembangan hilirisasi Nikel dan Timah. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa produk yang keluar dari Indonesia dalam bentuk setengah jadi/jadi serta memberikan lapangan pekerjaan di daerah tambang. Alokasi ini bisa diberikan kepada MIND ID sebagai holding industry tambang.
Keempat, Alokasi Rp 21 Trilyun untuk pembangunan sistem kelistrikan di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku untuk keperluan hilirisasi produk tambang. Alokasi PMN diberikan kepada PLN sehingga dapat mengurangi biaya investasi hilirisasi tambang.
Kelima, Alokasi Rp 10 Trilyun untuk pembangunan PG Gula dan lahan di Merauke, dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan. PMN bisa diberikan kepada PTPN III sebagai holding perusahaan perkebunan.
Keenam, sisa tambahan anggaran bisa dioptimalkan untuk pembelian kapal pengangkut modern dalam rangka penguatan Tol Laut dan peningkatan penjaminan KUR, sehingga penyaluran KUR bisa ditingkatkan menjadi 270 Trilyun. Hal ini akan memperbesar likuiditas terutama untuk usaha mikro dan kecil menengah.
Langkah ketiga, adalah penurunan suku bunga oleh BI sebanyak 50 basis point menjadi 4,5 %. Hal ini penting karena ketika pemerintah sudah menyatakan diri ekspansif, maka BI pun harus ikut memberikan sinyal yang sama, yaitu ekonomi Indonesia sedang pada gigi maju. Karena bila BI terlihat takut-takut, maka yang terjadi malah memberikan sinyal ke pasar bahwa tindakan ekspansif yang dilakukan pemerintah kurang tepat.
Mungkin muncul satu pertanyaan, mengapa harus melalui instrument APBN? Karena bila kita melihat selisih bunga antara bunga acuan BI dengan bunga ritel yang sudah mencapai 4-5 %, maka sesungguhnya kondisi riil perbankan di Indonesia sedang mengalami kesulitan likuiditas . Oleh sebab itu yang bisa dilakukan pemerintah adalah mencoba mengembalikan sentiment negatif di pasar menjadi sentiment positif, dengan menyediakan likuiditas tambahan ke pasar melalui tindakan diatas.
Karena pada akhirnya, mayoritas investor berada pada kondisi wait and see. Mereka butuh kepastian bahwa uang mereka akan memberi hasil kelak. Bila pemerintah dengan penuh percaya diri mengeluarkan uang ratusan trilyun rupiah dalam bentuk investasi, maka pasar pasti akan menyambut baik dengan ikut melakukan investasi.Â
Namun bila pemerintah hanya sekadar membuat regulasi (yang belum apa-apa sudah didemo), investor belum tentu yakin. Ingat pada 2014-2019 telah diterbitkan 16 paket ekonomi, tapi pertumbuhan ekonomi hanya berkisar pada 5 %. Berkaca pada fakta ini, tentu investor ingin sebuah tindakan riil, bukan hanya sekedar di atas kertas, tapi berbentuk uang. Inilah mengapa kita tidak boleh menaruh semua harapan pada Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H