Mungkin muncul satu pertanyaan, mengapa harus melalui instrument APBN? Karena bila kita melihat selisih bunga antara bunga acuan BI dengan bunga ritel yang sudah mencapai 4-5 %, maka sesungguhnya kondisi riil perbankan di Indonesia sedang mengalami kesulitan likuiditas . Oleh sebab itu yang bisa dilakukan pemerintah adalah mencoba mengembalikan sentiment negatif di pasar menjadi sentiment positif, dengan menyediakan likuiditas tambahan ke pasar melalui tindakan diatas.
Karena pada akhirnya, mayoritas investor berada pada kondisi wait and see. Mereka butuh kepastian bahwa uang mereka akan memberi hasil kelak. Bila pemerintah dengan penuh percaya diri mengeluarkan uang ratusan trilyun rupiah dalam bentuk investasi, maka pasar pasti akan menyambut baik dengan ikut melakukan investasi.Â
Namun bila pemerintah hanya sekadar membuat regulasi (yang belum apa-apa sudah didemo), investor belum tentu yakin. Ingat pada 2014-2019 telah diterbitkan 16 paket ekonomi, tapi pertumbuhan ekonomi hanya berkisar pada 5 %. Berkaca pada fakta ini, tentu investor ingin sebuah tindakan riil, bukan hanya sekedar di atas kertas, tapi berbentuk uang. Inilah mengapa kita tidak boleh menaruh semua harapan pada Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H