Mohon tunggu...
Kurnia Trisno Yudhonegoro
Kurnia Trisno Yudhonegoro Mohon Tunggu... Administrasi - Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memberi Makan Ibu Kota Baru

13 Agustus 2019   18:36 Diperbarui: 10 September 2019   09:02 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warteg Kharisma Bahari, di Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (23/10/2018). | (KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA)

Keputusan sudah dikeluarkan, bahkan RPJMN 2019-2024 (setidaknya teknokratik) sudah diketok, Indonesia akan segera memiliki Ibu Kota baru. 

Sudah banyak tulisan dikemukakan, kajian dilakukan dan muaranya sepertinya DKI Jakarta akan segera berganti nama menjadi Provinsi Jakarta (saja).

Tetapi dari sekian banyak kajian dan tulisan, penulis belum menemukan satu kajian yang menurut hemat penulis sangat krusial, yaitu tentang bagaimana memberi makan Ibu Kota baru---tepatnya, penghuni Ibu Kota baru?

Semua perhitungan tentang makanan berujung kepada jumlah penduduk yang nantinya bisa dihitung dari jumlah penduduk dikalikan konsumsi perkapita.

Nah, di sini menurut penulis, muncul masalah pertama.

Menurut estimasi Bappenas, penduduk Ibu Kota baru berjumlah maksimal 1,5 juta orang. Untuk perhitungannya bagaimana, penulis kurang paham.

Sedangkan menurut estimasi penulis, jumlah penduduk Ibu Kota baru setidaknya mencapai 3,5 juta orang. Mungkin kompasianer ada yang bertanya, kok bisa besar sekali ? baiklah kita coba breakdown terlebih dahulu di bawah ini:

Tabel besaran gaji pemerintah. (milik pribadi)
Tabel besaran gaji pemerintah. (milik pribadi)
Justifikasi perhitungan penulis berasal dari jumlah PNS pemerintah pusat saat ini, dimana diasumsikan bahwa semua PNS pemerintah pusat akan berpindah ke Ibu Kota baru (minus yang bertugas di daerah---di estimasikan sebanyak 150.000 orang). Karena bila hanya sebagian yang berpindah, penulis khawatir akan terjadi fragmentasi kepemimpinan, dan menurunnya efisiensi pengerjaan serta administrasi.

Selanjutnya untuk breakdown jumlah keluarga, penulis berasumsi bahwa ukuran keluarga secara rata-rata adalah 4 orang, dan hanya 50 % dari PNS yang membawa serta keluarganya. Selanjutnya untuk honorer/Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja hanya 30 % yang membawa keluarganya, sementara TNI/POLRI 80 % membawa keluarganya, DPR & DPD hanya 20% yang mebawa keluarganya, namun Tenaga ahli mereka 80% membawa keluarganya.

Untuk satpam dan Office boy praktis dianggap tidak membawa keluarga. Untuk TNI penulis masih belum menambahkan personil markas besar, karena hampir pasti markas besar TNI juga pasti akan pindah, karena tidak mungkin markas besar terpisah dengan Ibu Kota.

Selebihnya untuk support (kepolisian, Dokter, perawat dll) penulis menggunakan rasio ideal, karena Ibu Kota selayaknya memiliki kelengkapan yang ideal.

Nah mungkin terbetik pertanyaan, bagaimana dari 2,6 juta penduduk menjadi 3,5 juta penduduk? Jawabannya sederhana: perhitungan di atas belum memperhitungkan Koh Akiang penjaga toko elektronik, Mbak Yanti kasir minimarket, Mas Hendi CS supermarket, Bang Iwan penjaga parkir, Bu Yayah penyapu jalan, Mbok Giyem penjual sayur, Mas Toto tukang cukur rambut dst. 

Yang sejujurnya hidup tanpa mereka terasa sangat tidak mungkin (belum lagi Pak Madun supir, Mpok Satem ART). Mungkin nanti ada yang berpendapat lain, tapi menurut hemat penulis, perhitungan di atas jauh lebih mendekati kenyataan.

Selanjutnya setelah kita mengetahui berapa jumlah penduduk Ibu Kota baru kita, maka kita bisa memproyeksikan berapa kebutuhan bahan pangan, berikut penulis sajikan di table dibawah.

Tabel kebutuhan sehari-hari. (milik pribadi)
Tabel kebutuhan sehari-hari. (milik pribadi)
Kebutuhan ini merupakan konsumsi per kapita rata-rata nasional, yang menjadi masalah kedua disini adalah konsumsi nasional sangat rendah untuk beberapa bahan pangan, contoh daging sapi, secara nasional hanya 2,5 kg/kapita, namun bagi masyarakat urban, terutama Jakarta, konsumsi bahan pangan bisa sampai 20 kali lipat dari konsumsi nasional.

Sebagai contoh, sepotong rendang di restoran padang itu beratnya 120 gram, yang berarti mentahnya sekitar 180 gram. Bila seminggu kita makan penganan tersebut 3 kali saja, maka konsumsi per kapita sudah 0,6 kg x 54 = 32,4 kg/kapita/tahun.

Penulis mengelaborasikan hal ini untuk memberi pengertian bahwa angka kebutuhan di atas bukanlah batas atas, melainkan sebuah kebutuhan minimum, karena penulis bahkan belum mengurangi dari segi penyusutan/ terbuang/tercecer yang untuk sayuran bisa mencapai 30 %.

Untuk beras, kondisi bisa dikatakan aman, karena Kalimantan merupakan daerah surplus beras, yang menjadi masalah adalah apakah beras Kalimantan sudah sesuai dengan selera pegawai yang notabene terbiasa dengan beras jawa?

Selain itu perlu dipastikan ketersediaan akses transportasi, mengingat bila satu truk hanya mampu membawa 20 ton beras, maka dalam sehari sekurangnya akan ada 60 truk yang masuk ke Ibu Kota untuk membawa pasokan beras, atau sekurangnya 3 truk per jam

Poin selanjutnya yang perlu dicermati adalah penyediaan daging ayam/sapi dan telur. Dengan berat rerata sapi 400 kg, dan rendemen 50 persen, ayam broiler rendemen 75 % maka setiap hari Ibu Kota baru membutuhkan sekurangnya 120 ekor sapi dan 120.000 ekor ayam. Yang mana bila satu truk bisa membawa 5 ekor sapi atau 3000 ekor ayam, maka per hari sekurangnya ada 24 truk yang membawa sapi dan 40 truk membawa ayam.

Atau 1 truk sapi dan 2 truk ayam per jam. Ini dengan catatan bahwa konsumsi Ibu Kota sama dengan konsumsi nasional, sementara bila kita melihat scenario yang lebih mendekati kenyataan, maka akan memerlukan setidaknya 4-15 kali lipat (bila ternak hidup).

Namun, masalah ketiga merupakan masalah yang paling pelik, yaitu darimana sumber pangan ini berasal? Untuk beras sudah jelas, setidaknya kita ada penyangga.

Namun untuk daging sapi dan ayam, mau tidak mau harus dipikirkan apakah kita mau membangun peternakan baru di Kalimantan atau bergantung kepada pelabuhan baru yang akan mengirimkan barang dari daerah lain. Untuk gula, minyak goreng, tepung terigu, ikan asin, dan barang lainnya yang bersifat lebih tahan lama, maka kita akan sangat bergantung kepada pelabuhan penerima barang, mengingat pabrik kebanyakan terletak di luar Kalimantan.

Untuk telur dan sayuran, maka mau tidak mau bumi Kalimantan terpaksa harus merelakan hutannya untuk dibuka, karena untuk mengandalkan pasokan dari luar Kalimantan sangatlah beresiko, daging sapi dan ayam bisa dibekukan, namun sayuran dan telur sangatlah perishable, sehingga dengan kondisi laut dan cuaca yang semakin tidak menentu, maka mau tidak mau maka harus ditanam di wilayah sekitar ibu kota baru.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk memberi makan Ibu Kota baru, dibutuhkan sekurangnya 1100 ton beras, 24 ton daging sapi (360 ton bila konsumsi 15 x lipat), 118 ton daging ayam (400 ton bila konsumsi 4 x lipat) 100 ton sayuran (belum menghitung kangkong, bayam, sawi hijau, sawi putih, kol, brokoli, tomat, wortel, kentang, kubis dll), 81 ton tahu, 75 ton tempe, 64 ton telur ayam---Per Hari. 

Ini semua berujung pada satu pertanyaan penting, sudah dipikirkankah infrastruktur Ibu Kota baru dan wilayah penunjangnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun