Mohon tunggu...
Kurnia Trisno Yudhonegoro
Kurnia Trisno Yudhonegoro Mohon Tunggu... Administrasi - Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendekatan Bu PeMi, Memastikan Bonus Demografi 2025 Tidak Menjadi Bom Demografi

8 Oktober 2014   22:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:51 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2025 akan menjadi masa yang sangat menentukan dalam pembangunan Indonesia. dimana jumlah penduduk usia produktif dan angkatan kerja akan sangat besar proporsinya dibanding dengan bukan angkatan kerja. Disisi lain, dengan proyeksi penduduk mencapai 288 juta jiwa, tentunya perlu dilakukan langkah-langkah untuk memastikan bahwa bonus demografi ini tidak berubah menjadi "bom" demografi.

Bu Pemi merupakan singkatan dari Budaya, Pendidikan dan Ekonomi, ketiga sector ini akan menjadi insentif yang kuat bagi pelaksanaan program keluarga berencana. Karena apabila hanya dari sisi kesehatannya saja yang diutamakan, maka yang terjadi adalah penyederhanaan masalah yang malahan akan berakhir kontraproduktif. Pengalaman selama orde baru menunjukkan bahwa dengan menjadikan KB sebagai isu kesehatan saja, berakibat pada ketidakpatuhan, dan berakhir kontraproduktif dengan munculnya penolakan dari beberapa elemen masyarakat. Sementara kegagalan dalam integrasi nilai budaya, ekonomi dan pendidikan dengan KB berujung pada tidak meratanya informasi KB, dan malah terjadinya efek negative akibat distorsi informasi.

Pertama adalah aspek budaya. Tentu kita semua pernah mendengar adagium, banyak anak banyak rezeki (jawa). Kemudian adalagi adagium, tiap anak ada rezekinya. Nah, untuk melawannya kita perlu berpikir terlebih dahulu, mengapa muncul seperti itu. Pada zaman jawa kuno, dominan adalah kegiatan agraris (pertanian), dimana banyak anak berarti semakin banyak tenaga untuk mengerjakan lahan. Dengan kondisi sekarang dimana lahan semakin sempit, mekanisasi berarti butuh lebih sedikit tenaga, dan mulai bertansformasinya struktur ekonomi, adagium "banyak anak, banyak rezeki" semakin tidak relevan.

1412758044365704976
1412758044365704976

Faktor budaya yang masih menganggap kesehatan reproduksi adalah hal yang tabu dibicarakan juga bisa menghambat diseminasi informasi sampai pada tahap dimana masyarakat malah mendapat informasi dari jalur yang salah. Karena itu perlunya BKKBN berkoordinasi dengan tokoh agama (Fatayat NU,Aisyiyah Muhammadiyah) dan tokoh adat (pemuka desa, atau kota dsb) sehingga keberadaan KB tidak serta merta ditolak.

1412758119645992072
1412758119645992072

Kedua, aspek ekonomi. Tentu aspek ini memberikan insentif yang paling kuat dalam kehidupan sehari-hari. Dimana tindakan sehari-hari manusia lebih sering didikte oleh kepentingan ekonominya ketimbang kepentingan lainnya. Karena itu BKKBN, bila kelak meningkat statusnya menjadi kementerian, harus bisa mengubah beberapa hal, antara lain.

Pajak
anak ke 3,4 menjadi penambah

Pajak
PTKP hanya untuk 2 anak

SPP
Bebas SPP untuk 2 anak pertama

Jampersal
2 anak pertama yang dicover

BPJS Kes
Iuran anak 3,4 dst 2x lipat

Selain itu, perlunya masyarakat diberi pemahaman mahalnya biaya pendidikan apabila tidak ditanggung Negara. Karena hal ini krusial bagi masyarakat. Contoh bentuk tabelnya:

saat ini
ketika masuk

TK
5,000,000
6,655,000

SD
10,000,000
16,405,000

SMP
15,000,000
42,796,500

SMU
20,000,000
75,950,000

S-1 (sarjana)
40,000,000
202,180,000

total

343,986,500

belum termasuk SPP,seragam,buku dll

(catatan : kenaikan biaya 10 % per tahun)

Dari Tabel diatas jelaslah bahwa untuk membesarkan anak bukanlah hal yang murah (dari segi ekonomi) belum lagi bila kita menghitung susu formula, dokter anak, pampers, suster, tempat tidur anak, sandang dan pangan.

1412758206176867892
1412758206176867892

Dan terakhir, dari segi ekonomi, seiring dengan semakin majunya teknologi, maka jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan semakin sedikit. Dengan kecenderungan pekerja ke arah skilled worker, maka lebih baik sedikit tetapi berkualitas, ketimbang banyak tetapi tidak terlatih.

Ketiga, aspek Pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan wanita, maka semakin rendah pulalah rasio fertilitasnya. Sehingga dalam melakukan pendidikan keluarga berencana pun harus berbeda apa yang disampaikan.

2010

2011

2012

2013

SD/MI

94.7

91

92.5

95.5

SMP/MTs

67.7

68.1

70.8

73.7

SMA/SMK/MA

45.6

47.9

51.46

53.9

PT

11.01

12.56

13.48

18.58

(angka partisipasi murni dalam persen)

Dari table diatas jelaslah bahwa pendidikan keluarga berencana di level SMA saja sudah bisa dianggap terlambat. Karena hampir setengah dari populasi Indonesia bahkan tidak sempat menyelesaikan pendidikan SMA. Sehingga pendidikan awal keluarga berencana jelas harus dimulai dari SD atau setingkatnya. Isi materinya bisa berupa buku cerita yang menggambarkan betapa harmonisnya keluarga dengan 2 anak. Kemudian selebaran keluarga berencana yang didesain khusus untuk anak-anak.

Sementara untuk pelajar SMP, yang pada 2025 akan mulai membangun keluarga, perlu ditanamkan nilai-nilai krusial seperti bagaimana berkomunikasi, apa itu kasih saying dan keluarga bahagia. Sangat krusial bagi BKKBN untuk mulai masuk ke SMP saat ini agar kelak, pada 2025 dapat mengurangi insiden kekerasan domestik, perceraian dan pelbagai masalah keluarga lainnya.

Adapun pada level SMA, BKKBN perlu realistis bahwa pada zaman ini, level SMA pendidikan reproduksi (untuk tidak menggunakan kata SEKS, daripada ditolak oleh sebagian orang yang masih hidup di zaman lampau) adalah sebuah keharusan. Pengenalan alat-alat kontrasepsi (jangan langsung menyinggung kondom, konsentrasi pada pil, IUD, suntik dll terlebih dahulu) dan fondasi dasar berkeluarga seperti kemapanan dan kematangan emosi adalah krusial.

Sementara di tingkat perguruan tinggi, BKKBN bisa lebih sedikit sosialisasi. Cukup mengingatkan agar memiliki dua anak saja. Karena justru di level perguruan tinggi, fertilitas drop drastic. Tentunya, kehilangan potensi anak-anak dari kalangan berpendidikan adalah hal yang kurang baik. Malahan, bila perlu, pasangan yang berasal dari kalangan perguruan tinggi mendapat tambahan insentif pajak, katakanlah PTKP nya dinaikkan dua kali lipat bila memiliki anak.

1412758459827361545
1412758459827361545

Semoga dengan saran sederhana ini, bisa memberi ide-ide segar bagi BKKBN dalam perjuangannya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, namun juga perlu diingat bahwa Singapura terlalu berhasil dalam pengendalian penduduk, sekarang mereka malah panik untuk menambah penduduk. Apapun itu, asal terukur dan tingkat fertilitas kita bertahan di 2 per wanita, maka cukup dipertahankan segitu saja. bagaimanapun juga, anak-anak adalah generasi penerus bangsa. mereka adalah investasi terbaik bagi republik Indonesia. Dengan dua anak cukup, kita pastikan mereka mendapat yang terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun