Menyoal perihal pasca intervensi militer di kancah politik dalam peristiwa penggulingan Presiden Muhammad Mursy memunculkan pelbagai respons menarik. Sejumlah pihak menyatakan bahwa peristiwa itu disebut-sebut sebagai revolusi yang dilakukan oleh rakyat Mesir. Mursy sendiri merupakan presiden pertama yang dipilih secara demokratis setelah jatuhnya Presiden Hosni Mubarak. Mursy menghadapi gelombang unjuk rasa dari para penentangnya yang menganggap dia lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya, Ikhwanul Muslimin, dibanding kepentingan rakyat Mesir. Dia tumbang dalam kudeta militer pada 3 Juli lalu.
Menurut artikel yang ditulis oleh Arief Gunawan sebagaimana dilansir Rakyat Merdeka edisi Selasa, 9 Juli 2013 mengatakan bahwa masyarakat di Mesir mempunyai keterlibatan yang sangat massif dalam lapangan politik, mau berkorban dalam menuntut hak-hak mereka, apalagi menurut pemberitaan media massa salah satu penyebab tumbangnya Mursy yang baru menjalankan pemerintahan selama satu tahun adalah mahalnya harga-harga kebutuhan dan harga-harga makanan yang mengakibatkan rakyat di sana hidup kelaparan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Paling tidak ini dapat dijadikan suatu pelajaran bagi rakyat Indonesia untuk mengevaluasi sistem politik negeri ini yang katanya demokrasi itu, apakah benar-benar sesuai dan berjalan sebagaimana mestinya?
Menurut Plato, demokrasi bukan pilihan terbaik karena selalu ada pergumulan para politisi yang memiliki kepentingan masing-masing. Plato lebih memilih sistem pemerintahan aristokrasi yang dikomandoi oleh philosopher leader. Yaitu orang yang bijak bestari dan mendapat kesempatan memerintah. Pemimpin yang naik ke tampuk kekuasaan karena ilmu dan kearifannya. Bukan karena kendaraan politik partainya. Tapi apakah itu juga yang terbaik?
Kalaulah boleh menengok kembali perjuangan yang dilakukan oleh sosok bernama Soe Hok Gie, seharusnya kita sadar bahwa sudah berpuluh-puluh tahun tak pernah berevolusi kembali. Ketika itu dia menyadari bahwa penting bagi rakyat untuk berevolusi, tetapi harapannya pun belum terwujud hingga detik ini. Terakhir revolusi yang dilakukan oleh rakyat Indonesia adalah pada tahun ’45 dan itu karena adanya musuh bersama, yaitu kolonialis imperialis bernama penjajah Belanda. Peristiwa tahun ’65 dan ’98 itu bukan revolusi. Orang menyebutnya transisi atau reformasi.
Revolusi dapat terjadi kalau hal itu datang dan tumbuh dari bawah, dari masyarakat. Tapi, apa yang terjadi? Kita hanya nrimo.
Ke mana daya juang juga perlawanan kita terhadap kemiskinan, kelaparan, kebodohan, dan hilangnya hak-hak masyarakat.
Masih menurut Arief Gunawan, katanya orang Indonesia itu hanya bisa nrimo. Kalau harga BBM naik, harga-harga kebutuhan naik, biaya sekolah mahal, biaya kesehatan mahal, tidak dimanusiakan dan hak-haknya dihilangkan, maka tetap bisa nrimo meski sambil menggerutu, berkeluh kesah, misalnya lewat sosial media seperti twitter.
Jadi, katanya sosial media itu sebenarnya sarana keluh kesah masyarakat sekaligus katup pengaman supaya masyarakat tidak action secara fisik untuk melakukan tuntutan atas hak-haknya. Pemerintah Indonesia cukup percaya diri kalau kejadian yang dilakukan oleh rakyat Mesir, tidak akan dilakukan oleh rakyat Indonesia. Revolusi tidak terbayangkan terjadi di sini. Begitulah.
Secara pedas, Soe Hok Gie pernah melontarkan sejumlah pernyataan berikut ini.
“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah. Mereka yang berani menyerang koruptur, mereka semua ditahan.”
“Kita generasi baru ditugaskan untuk membasmi generasi tua yang mengacau. Kita akan menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kitalah generasi yang memakmurkan Indonesia. Siapa yang paling bertanggung jawab adalah generasi-generasi tua.”
“Sekarang harga-harga semakin membubung, kaum kapitalis semakin lahap memakan rakyat. Di saat seperti inilah seharusnya kaum intelegensia siap bertindak. Berbuat sesuatu. Bidang seorang sarjana dalam berpikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Tetapi, mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya, yaitu bertindak demi tanggung jawab sosialnya apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelegensia yang terus berdiam diri di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan.”
“Mereka mempunyai keberanian berkata tidak, tetapi tidak ada yang lebih puitis daripada bicara kebenaran.”
Jangan diam saja, jangan hanya nrimo. Kita tidak bisa hidup bebas kalau bukan karena melawan. Berani memberontak dan melawan atas semua kesewenang-wenangan.
“... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ...” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Karin Sari Saputra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H