Mohon tunggu...
Kiki Sosali
Kiki Sosali Mohon Tunggu... Freelancer - Humanity Enthusiast

Literary, Movies and News Enthusiast. Hidupnya berputar dalam 3 figur-Dostoyevsky, Martin Scorsese, dan Albert Camus. Menganggap komedian adalah politisi terbaik, dan politisi adalah penutur lawak paling ajaib

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Ada yang Normal Saat Hidupmu Selalu Memikirkan Akan Berada di Surga yang Kekal

28 November 2019   15:10 Diperbarui: 28 November 2019   15:23 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi masih masuk akal sih, karena emang budaya di sini rata-rata gitu toh. Dan semasa kecil, rasanya itu adalah sesuatu yang pakem, sesuatu yang bener dan normal. Karena semua orang ngelakuin itu.

Tapi pas gua gede, gua mulai mikirin hal itu. Ketika gua mulai mikirin bahwa gak semuanya itu statis di dunia, gak semua aturan yang berlaku di dunia itu bener (basically, pasca gua belajar soal power relation-nya Foucault), gua mulai mempertanyakan semuanya.

Kenapa kita jijik ngeliat banci? Kenapa kita ogah  temenan sama orang gay ato lesbian? Kenapa kita bedain orang based on dari spektrum mana mereka dikelompokkan, bukan...you know, their inner side?

Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian berubah jadi kebencian yang tak tertahankan. Kebenciaan akan orang-orang yang berpikiran sempit macam itu. Mereka yang menghewankan manusia hanya karena di mata 'Tuhan' mereka, kaum-kaum itu adalah domba yang tersesat dan jauh dari kasih sayang-Nya.

***

Tentulah terkadang pertanyaan mendasar terbersit dalam benak gua: apakah cara berpikir ini cara berpikir yang benar? Memanusiakan manusia, semuanya? Apakah dengan begitu, gua jadi gak menghormati pemuka agama, atau orang-orang lain dalam paham konservatif, dimana kebanyakan dari mereka orang yang lebih tua, jauh lebih pintar dan berilmu dari gua?

Gak ada salahnya, kok, sampe nyambung ke arah situ. Justru lo bakalan lebih bijak saat menyadari masih banyak tuh kurang-kurangnya dari cara berpikir lo sekarang. Itulah gunanya nalar dan mempertanyakan kenalaran itu sendiri. Buat belajar dan belajar, buat jadi baik bagi semua. Bukan cuma buat kaum kita saja.

Kadang tuh, balik lagi ke soal power relation ini. Lo pernah rasain gak, kalo dunia ini terbagi dalam dua kutub besar: normal dan gak normal. Di sisi normal itu kayak macam patriarki, terus cinta heteroseksual, dan di kutub satunya itu gaya hidup homoseksual dan jenis yang dianggap mayoritas sebagai 'menyimpang'.

Tapi lo pernah mikirin gak, kalo apa yang kita anggap 'normal' itu sebenernya gak lebih dari pendapat satu dua orang di jaman dulu yang kemudian disebarluaskan orang-orang lain yang nganggep opininya satu-dua orang pertama itu benar? Darimana kita tau kalo homo itu gak normal? Dari fisiknya? Gak ada yang beda. Dari lifestyle-nya? Banyak banci juga bukan homo.

Kenapa kita nganggap jalur yang kita pilih itu normal? Karena banyak pengikutnya? Kuantitas kalah dong sama kualitas (bukannya gua nyamain homo sama kualitas loh, ya, lebih ke ide kali yang dianut kebanyakan orang belum tentu benar, karena ujung-ujungnya yang berwenang nentuin bener ato salah cuma segelintir orang penting doang, dan kita jadi pihak Yes Man doang).

Ah, ocehan gak jelas ini udah rada kepanjangan rasanya. Intinya, terkadang kita gak perlu buat mikirin apa yang kita lakuin ini normal dan bakal bawa kita makin dekat ke Surga. Yang perlu dilakuin kadang hanya ngikutin hati nurani aja. Ketika orang yang berbeda butuh bantuan, meskipun doi orang yang dianggap umum 'menyimpang', kita bisa nolong dia, karena tentu hati nurani kita nyaranin gitu. Toh katanya, hati nurani juga tanda sabda dari Tuhan, bukan, tanda kita mesti ngapain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun