Mohon tunggu...
Kiki Sosali
Kiki Sosali Mohon Tunggu... Freelancer - Humanity Enthusiast

Literary, Movies and News Enthusiast. Hidupnya berputar dalam 3 figur-Dostoyevsky, Martin Scorsese, dan Albert Camus. Menganggap komedian adalah politisi terbaik, dan politisi adalah penutur lawak paling ajaib

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anda Bertanya, Donald Trump Menjawab: Audrey dan Para Pembully

21 April 2019   08:38 Diperbarui: 21 April 2019   11:42 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Donald Trump. Ayah dari 5 anak. Pengusaha real estate yang (secara kasat mata nampak) sukses. Pemilik kekayaan yang kita sebagai rakyat biasa hanya bisa membayangkannya. Presiden televisi dari sebuah channel bernama Amerika Serikat. Dan diantara semua itu, pem-bully profesional.

Label identitas konvensional sepertinya sangat tidak relevan disematkan buat tokoh kontroversial satu ini. Kita tidak bisa menyebut Trump sebagai seorang ayah, tanpa menceritakan aneka perselingkuhan yang nampaknya dinikmatinya saat memperoleh anak-anak itu (PS: 2 dari anak terakhir Trump berasal dari istri yang dulunya adalah selingkuhannya). Kita tak bisa melihat Trump sebagai miliarder sukses tanpa menafikan berbagai kebangkrutan yang didapatnya dari usaha real estate-nya. Dan yang paling anyar, kita tak bisa melihat fakta Trump adalah presiden sebuah negara adidaya tanpa melihat fakta bagaimana dia mem-bully dan mengejek setiap kandidat yang dilawannya.

Essentially, Trump tak ubahnya seperti Voldemort, seandainya Voldermort adalah pria seberat 200 kilo yg suka makan McDonald

Trump dan makanan favoritnya. Sumber: Know your meme
Trump dan makanan favoritnya. Sumber: Know your meme

Menyebut Omarosa, satu mantan pendukung yang kemudian jadi pengritiknya, sebagai 'aneh dan gila'. Atau Stormy Daniels, bintang porno yang pernah menjalin perselingkuhan dengannya, sebagai 'Si Wajah Kuda'. Atau menyebut anggota DPR dengan label nama rasis Asia 'Da Nang' hanya karena si anggota DPR ketahuan berpura-pura mengaku pernah jadi tentara saat perang Vietnam. Itu hanya 3 dari sebutan mengejek paling hits-nya selama tahun lalu. Bayangkan, tiap tahun Trump selalu menciptakan label merendahkan seperti itu untuk orang yang tak disukainya.

Terdengar seperti ejekan yang dibikin teman kelas kalian yang paling nakal saat SD, bukan? 

Melihat fenomena gila seperti ini, insting gila saya terangsang. Seperti polisi behavioral khas Clarice Sterling di 'Silence of the Lambs' yang menginterview penjahat kanibal dalam usahanya menggali bagaimana cara kerja orang jahat, saya juga tertarik untuk mengetahui bagaimana otak seorang bully bekerja. Terutama di tengah kasus yang marak merebak di Indonesia saat ini, yakni kasus Audrey dan pem-bully nya serta berbagai kontroversi yang mereka ciptakan.

PS: Bagi Anda yang tak tahu cerita tentang Audrey (btw, Anda dimana saja sampai tak dengar kasus heboh ini) artikel ini bisa jadi gambaran kronologi apa yang terjadi. Singkatnya, bagi Anda para hamba yang malas membaca, Audrey adalah siswa SMA yabg berkelahi dan babak belur setelah terjadi cekcok saling mem-bully di medsos.

Menginterview Trump jauh lebih mudah dilakukan dibanding pengalaman sebelumnya mewawancara George Orwell. Kenapa? Pertama, tentu saja karena Trump masih hidup, more or less (kalau Anda bisa menyebut jantung yang berdetak diantara lemak tinggi kolesterol dalam tubuhnya itu sebagai 'hidup'). Kedua, Trump sangat suka dengan perhatian, sangat suka dengan seseorang yang menganggapnya 'ahli' dalam sesuatu, bahkan meskipun keahlian itu sebenarnya negatif. Hanya perlu satu e-mail dari saya dan presiden dari negara adidaya itu pun menyetujui.

Tak perlu berlama lagi, saya sajikan 'excerpt' dari interview kami via sambungan jarak jauh. Silakan dinikmati 'kegilaan' yang terjadi.

Penanya (P): Halo, Mister. Terima kasih buat kesempatan interview ini. Jujur saja, saya tak menyangka orang sibuk seperti Anda mau menyempatkan untuk wawancara ini.

Trump (T): Ya, ya, saya orang sibuk. Presiden Amerika, perealisasi perdamaian dunia. Saya baru saja bertemu pemimpin tentara yang mengalahkan Isis? Ya, betul, saya yang mengalahkan Isis. Sesuatu yabg tak bisa dilakukan Obama. Semua orang berkata 'Kau tak akan bisa mengalahkan Isis' saat aku mencalonkan jadi presiden. Tapi aku bisa mengalahkannya. Bukan prestasi buruk kan? 

P: (sedikit terperangah dengan jalur obrolan yang tiba-tiba berubah tentang topik Isis. Tapi dia sudah diberitahu, mengubah pembicaraan ke topik yang disukainya, itu adalah keahlian Trump)

P: Oke. Saya tak ingin membuang waktuu Anda, jadi langsung ke topik saja. Anda dikenal suka mengejek orang yang tak Anda sukai dengan nama yang diskriminatif. Sehingga Anda disebut sebagai 'Raja Bully'. Pendapat Anda?

O: 'Raja Bully'. Oke, itu buruk, tapi itu bukan yang paling buruk. Berkali-kali sudah saya katakan di media, saya orang yang paling tahu segalanya. Termasuk tentang jati diri orang. Saya tahu sisi dalam seseorang lebih daripada dia tahu dirinya sendiri. Jadi ketika saya menyebut Omarosa sebagai 'gila' atau Stormy sebagai 'wajah kuda', itu adalah kenyataannya. Mungkin mereka sendiri tak sadar, bahkan tak setuju, tapi itu adalah kebenaran.

P: Bagaimana Anda bisa mendapatkan nama-nama itu? Saya ingin tahu cara kerja otak Anda.

T: Sangat sederhana, saya hanya memikirkannya. Mungkin itu gunanya punya IQ lebih tinggi daripada mereka. Saya hanya melihat seseorang, lalu dengan segera saya akan tahu sisi mana dari orang itu yang bisa dieksploitasi. Saat saya melihat Hillary (Clinton), misalnya, saya tahu dia seperti politisi pada umumnya. Tidak jujur. Jadi saya menyebutnya -Hillary yang Bengkok'. 

Bagus kan, sebutan saya? Ada sesuatu yang -je ne sais quoai' dalam label itu. Itu kata bahasa Perancis yang bagus, je ne sais quoai. Ngomong-ngomong tentang Perancis, Anda tahu saya satu-satunya yang punya ide menghilangkan api dalam kebakaran di Notre Dame? Saya, Donald Trump. Sudah saya katakan bukan, saya salah satu yang paling terpintar sepanjang sejarah?

P: (lagi-lagi si penanya bingung dengan topik obrolan yang tiba-tiba berputar 180 derajat)

P: Oke, masih tentang topik bully-ing. Di negara saya sedang ada kasus ramai, dimana ada seorang anak SMA yang dipukuli teman sekolahnya karena saling bully di media sosial. Pendapat Anda?

T: Bagus untuk mereka. Saya selalu katakan, memangsa atau dimangsa. Untuk menghindari orang lain mengejek Anda, terkadang Anda harus mengejek orang lain lebih dulu. Lihat bagaimana saya mengejek Kanada, Meksiko, Korea Utara, lalu Rusia, dan bagaimana negara-negara itu akhirnya tunduk pada keinginan saya?

P: Jadi menurut Anda anak sekolah mem-bully siswa lain itu hal yang lumrah?

T: Sangat bagus, bahkan. Itu mengajarkan Anda buat jadi pemberani. Anda memangsa atau dimangsa. Seperti kata Mussolini, 'lebih baik sehari jadi singa daripada seratus tahun jadi domba'

(Lagi-lagi, penanya terpaku dengan jawaban Trump yang membandingkan dirinya dengan diktator)

P: Anda tidak khawatir dengan efek psikologis yang mungkin dialami korban bully-ing itu?

T: Efek psikologis apa? Justru semangat mereka akan berkobar. Saya ingat, dulu saya sangat sedih dengan Meksiko yang mengirim pecundang-pecundang jahat ke Amerika. Dan saya terlecut untuk membalas bully dari Meksiko itu.

P: Bukankah itu pada akhirnya jadi lingkaran setan? Yang satu mem-bully lalu yang lain membalas. Lalu saling mengejek hingga akhirnya jatuh korban.

T: Saya tak peduli. Buat saya, yang penting adalah menang.

Anda bisa melihatnya, seberapa gilanya jika identitas sebagai 'bully' itu terus dipelihara?

PS: Seperti sebelumnya, semua isi wawancara ini adalah fiksi. Tapi Anda bisa melihat kenyataan yang menyedihkan di baliknya. Dan Anda bisa juga menjadikannya sebagai refleksi betapa berbahayanya kegiatan saling mem-bully.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun