Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mungkinkah UMKM Menjadi Pionir Fair Trade dari Indonesia?

10 Desember 2020   23:41 Diperbarui: 11 Desember 2020   15:28 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kripik Singkong dari Indonesia (weltlaeden.de)

Belum lama ini di Whatsapp Group keluarga kami, seorang keponakan menawarkan hasil kerajinan tangan dari anyaman eceng gondok hasil karya sebuah UMKM. 

Tawaran seperti ini memang semakin digencarkan untuk menjadi salah satu usaha membantu melancarkan jalur perdagangan yang tersendat atau terhenti di masa Pandemi Covid-19. Di Jerman sendiri dengan berulangnya lockdown atau soft lockdown atau pembatasan aturan, berbagai sektor ekonomi juga bernasib sama.

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau UMKM di Indonesia selama ini selalu menjadi penggerak ekonomi bangsa di masa-masa sulit. Sebuah usaha dikatakan mikro, kecil atau menengah ini tergantung dari besar keuntungan bersihnya per tahun. 

Sifat dari UMKM itu sendiri fleksibel dan relatif tidak melibatkan modal besar sehingga keberadaannya semakin menjadi sangat penting di masa Pandemi seperti saat ini.

Melihat hasil kerajinan tangan, yang ditawarkan keponakan saya itu, mengingatkan saya akan barang-barang yang dijual di Weltladen Jerman. (Weltladen adalah sebuah toko yang menjual barang-barang fair trade dari berbagai negara terutama negara berkembang). 

Mungkinkah hasil kerajinan tangan dari anyaman eceng gondok ini diekspor ke Jerman atau menjualnya sebagai komoditas fair trade?

Apa itu Fair Trade dan Sejarahnya

Fair Trade atau kalau diterjemahkan langsung Perdagangan Adil merupakan sebuah gerakan yang diawali saat 2 wilayah religius di USA mulai mengimpor barang dari Puerto Rico dan tahun 1958 mulai berdiri sebuah toko Fair Trade. 

Isu perdagangan adil ini mulai mempengaruhi beberapa kota di Eropa tahun 1960 sehingga sebuah toko alternatif pertama didirikan di Belanda dengan nama S.O.S. Di Jerman sendiri baru tahun 1973, toko pertama 3. Weltladen berdiri di Stuttgart.

Perdagangan adil ini mengusung isu pendapatan yang fair bagi produsennya (misalnya pengrajin atau petani) untuk hidup layak, tidak memperkerjakan dan mengeksploitasi anak-anak, memperhatikan hak azazi manusia dan berkesinambungan untuk lingkungan. 

Di Jerman sendiri, barang-barang yang dijual di Weltladen hampir 2 atau bahkan 3 kali lebih mahal dari komoditas yang ada. Harga biji merica misalnya Aldi, supermarket grosir, menjual 0,99 Euro/40 gram sedangkan di Weltladen merica dari Srilanka dijual 3,2 Euro/40 gram, jauh kan hampir 3x lebih harga dari harga di supermarket grosir.

Nah karena Fair Trade adalah sebuah gerakan dagang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan, pendapatan dan kondisi kerja yang lebih adil bagi para petani dan pekerja di hulu. 

Maka dalam hal ini petani merica di Srilanka mendapat keuntungan untuk hidup layak. Pada kenyataannya saat ini, di mana-mana termasuk di Indonesia juga, para petani dan pengrajin di hulu, adalah organ paling tidak diuntungkan dalam siklus perdagangan. 

Yuk kita lihat berapa presentase keuntungan petani dan penjahit konfeksi sebuah kaos bermerek, yang dijual seharga 29 Euro di Jerman, lihat gambar berikut di bawah ini. (Maaf ya dalam bahasa Jerman, tapi akan saya jelaskan dalam bahasa Indonesia). 

Sumber dari fairtrade-deutschland.de
Sumber dari fairtrade-deutschland.de

Terlihat di atas bahwa dari 29 Euro, harga jual sebuah T-Shirt bermerek di Jerman, petani dan pekerja konfeksi hanya mendapatkan 5 Euro saja atau 17% dari harga T-Shirt. Dari 5 Euro itu, petani termasuk bahan dll hanya mendapatkan 3,4 Euro dan pekerja konfeksi hanya mendapatkan 0,18 Euro. Sementara hampir setengah dari harga jual dikantongi oleh retailernya.  

Dalam hal ini, perbedaan standar hidup bukan penyebab dari timpangnya keuntungan yang didapat, karena petani dan pekerja konfeksi ini pun di negara-negara berkembangnya seperti Bangladesh misalnya tidak layak hidup dan masih di bawah standar hidup di negaranya.

Sangat tidak adil, ya. Nah, kondisi seperti ini mendorong orang-orang dengan idealisme tinggi untuk merintis jalan untuk kebaikan para petani dan pekerja di hulu, salah satunya melalui sistem, standar dan label Fair Trade. Standar apa yang dimiliki oleh Fair Trade? 

Fair Trade memiliki 3 aspek utama penopang standar ini, yakni aspek sosial, aspek ekologi dan aspek ekonomi. Sistem dan standar harus dibuat agar komoditas Fair Trade tetap ada pembelinya dengan kualitas terjamin lalu adanya label juga penting, karena dengan label berbentuk sekilas seperti Yin & Yang tapi berwarna hijau, hitam dan biru. Konsumen dapat dengan mudah menemukannya.

Weltladen, Toko berisi Produk Fairtrade

https://www.weltpartner.de/de
https://www.weltpartner.de/de
Produk Fair Trade di Jerman paling banyak ditemukan di Weltladen. Weltladen kalau diterjemahkan langsung artinya Toko Dunia, ya karena memang toko ini mengkhususkan diri untuk menjual barang-barang fairtrade dari seluruh dunia terutama negara berkembang. 

Tentu saja barang-barang, yang dijual di toko dunia ini lebih mahal dari supermarket grosir. Tapi ternyata, jiwa sosial dan idealisme tinggi tidak mengurungkan dan menjauhkan konsumen. 

Tidak sedikit pada prakteknya orang yang tinggal di Jerman mau berbelanja dan bahkan bekerja tanpa dibayar untuk keberlangsungan Weltladen ini.  

Di dalam komunitas Weltladen ini, arti bebas diskriminasi dan isu fair untuk semua ras, etnik, warna kulit, agama cukup kental. Hanya ada satu hal yang penting menjadi pertimbangan PERDAGANGAN  ADIL UNTUK SEMUA MANUSIA. 

Komoditas dari Indonesia belum banyak yang masuk, baru lilin, kripik singkong dan kipas batik. Perhiasan dari perak dan mutiara banyaknya dari Amerika Selatan. 

Anyaman dari eceng gondok sayangnya bukan dari Indonesia tapi dari Ghana. Dan kopi, sebagai produk yang paling laku dibeli datang dari Afrika, Amerika Selatan dan India. 

Kerjasama Weltladen dengan koperasi para petani kopi ini memang memiliki sejarah panjang, karena merupakan produk tertua, yang dirintis. 

Sayangnya, belum ada kopi dari Indonesia yang masuk Weltladen, padahal saya tahu Sumatra Utara, DI Aceh dan Sumatra Selatan memiliki kopi-kopi enak. Atau di Bandung ada kopi Aroma, dimana pembelinya selalu harus ngantri panjang dan mengular sampai keluar toko. 

Salah satu kopi fairtrade paling terkenal dan laku di kurang lebih 1000 Weltladen Jerman adalah kopi dari Burundi, Afrika. Kisah sukses kerja sama koperasi petani kopi Burundi ini dirintis oleh orang Jerman. 

Kesuksesan yang dibangun di sebuah negara yang saat itu dikuasai oleh seorang diktator kemudian dipercayai politisi Jerman sebagai salah satu solusi untuk menyetop migrasi para pencari suaka. Yah, bisa saja kan siapa sih yang ingin migrasi dan hidup jauh dari akarnya melalui jalan-jalan yang juga meregang nyawa, bila kondisi di tanah airnya damai, tentram dan adil dirasakan. 

Saya sangat berharap suatu hari koperasi atau pun UMKM Indonesia mau bergabung untuk menjual produknya secara fair. Memang tidak akan mudah jalannya karena label fair trade ini berhubungan dengan sertifikat dan mekanisme yang harus dilalui. Tapi bila berhasil, penghasilan pengrajin dan petaninya akan lebih layak. (ACJP) 

Info lebih rinci : 

1. https://www.fairtrade.net/
2. https://www.weltpartner.de/de

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun