Sistem pembayaran listrik per bulannya di Jerman, tergantung dari pemakaian yang selalu dihitung ulang di awal tahun. Bila baru tinggal di sebuah kota (artinya kita tidak memiliki catatan kelistrikan di Stadtwerk (sebuah institusi kelistrikan kota seperti PLN di Indonesia), maka tahun pertama tagihan dihitung berdasarkan rata-rata pemakaian listrik di kota setempat.
Stadtwerk biasanya memiliki catatan konsumsi listrik rata-rata sebuah keluarga dengan kategori berdasarkan berapa jumlah anggota keluarga tinggal di rumah atau apartemen tersebut. Nah, berdasarkan inilah pertama kalinya tagihan listrik per bulan ditagihkan ke konsumen.
Baru tahun berikutnya, tagihan bulanan akan dihitung berdasarkan pemakaian tahunan sebenarnya di tahun sebelumnya. Bila pembayaran kita berlebih, maka di awal tahun berikutnya, uang kelebihannya akan dikembalikan. Tapi, bila kurang tentu yang datang adalah tagihan kekurangan. Dan bila ini terjadi, maka tahun berikutnya tagihan bulanan menjadi naik.
Wow...tentu saja senang sekali kan bila kita tidak perlu membayar kekurangan tagihan tapi malah mendapat kelebihan uang. Seperti mendapat Ang Pao saja, karena kami mendapatkannya bersamaan dengan tahun baru Cina, tidak disangka-sangka pula.
Rata-rata Konsumsi Listrik per Tahun
Hal yang mempengaruhi konsumsi listrik di tiap rumah tangga, selain tentu saja perkakas listrik apa saja yang dimiliki, juga sangat tergantung berapa jumlah anggota keluarga, bentuk tempat tinggal berupa rumah atau apartemen. Kalau di Jerman juga tergantung dari pemanas air mandi (di Indonesia mungkin rata-rata orang merebus air untuk mandi dan penggunaan pendingin ruangan), bila pemanas air menggunakan listrik juga maka semakin tinggi konsumsi listriknya. Pemanas ruangan di Jerman jarang yang menggunakan listrik, lebih banyak dengan minyak, gas, sekarang yang sedang terkenal dengan geotermal.
Rata-rata konsumsi litrik per tahun di tahun 2019 untuk apartemen atau rumah tanpa pemanas listrik (tapi menggunakan pemanas dengan bahan bakar lain), bisa dilihat sebagai berikut:
- Apartemen / rumah berisi 1 orang: 1500 kWh / 2300 kWh
- Apartemen / rumah berisi 2 orang: 2100 kWh / 3000 kWh
- Apartemen / rumah berisi 3 orang: 2600 kWh / 3600 kWh
- Apartemen / rumah berisi 4 orang: 3000 kWh / 4000 kWh
- Dst
Pengkategorian seperti ini tidak ada di Indonesia, yang ada adalah konsumsi listrik per kapita. Dari sumber ini, bisa kita lihat di tahun 2019 konsumsi rata-rata per kapita di Indonesia 1084 kWh /orang. Â Sedangkan di Jerman, konsumsi listrik rata-rata per kapitanya di rumah tangga 1400 kWh /orang. Informasi bisa dilihat di sini.Â
Kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan akan meningkat 7%, tahun 2027 diperkirakan kebutuhan listrik mencapai 430 TWh (sebagai perbandingan Jerman tahun 2019 memproduksi listrik sebesar 518 TWh).
Konsumsi listrik kami di Jerman tahun 2019 sebesar 2056 kWh, hampir sama dengan rata-rata konsumsi listrik untuk apartemen berisi 2 orang di Jerman. Walaupun kami keluarga dengan 2 anak, 2 bulan terakhir di tahun 2019 kami hanya tinggal berdua saja di tempat kami tinggal.Â
Putri kami sudah selesai kuliah dan sejak bulan November tahun lalu bekerja serta tinggal di kota lain, lalu putra kami juga sejak tahun 2018 sedang kuliah di kota lain. Tapi walaupun begitu mereka sering pulang ke rumah.
Jadi konsumsi listrik kami boleh dikatakan cukup irit, bahkan lebih rendah dari rata-rata apartemen yang berisi 2 orang di Jerman. Walaupun begitu, ketika mendapat kabar dari Stadtwerk (PLN Jerman) bahwa kami tahun 2019 kelebihan membayar listrik, ya senang sekali dengan kejutan yang menyenangkan ini. Lumayan kan 200 Euro bisa menjadi tambahan bekal untuk jalan-jalan.
Stadtwerk (PLN Jerman) Bukan Satu-satunya Penyedia Listrik di Jerman
Listrik di Jerman bukan lagi monopoli. Penyedia atau provider listrik luar biasa banyak. Demikian juga jenis sumber listriknya, masyarakat Jerman bisa memilih sumber listrik, yang akan dikonsumsi berasal dari mana. Ada yang murni berbasis renewable atau berbasis campuran dengan sumber konvensional.
Nah, karena masyarakat Jerman cenderung sadar lingkungan, maka pilihan yang berbasis renewable atau terbarukan saja. Wow pabalatak orang Sunda bilang alias banyak pilihan. Ada listrik oeko fix, ada listrik oeko mix, ada listrik oeko ok.Â
Oeko berasal dari kata Oekologie atau renewable atau terbarukan sumbernya. Dari istilahnya saja perbedaan satu dan lainnya, bisa lost in translation, karena itu perlu membaca lebih detil istilah-istilah sumber listrik dari masing-masing provider.
Stadtwerkt, provider listrik, kami pun menyediakan pilihan-pilihan ini. Kami memilih yang berbasis terbarukan juga, berasal 100% dari PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air).Â
Saya perkirakan sebagian besar listrik berasal dari impor listrik dari Austria, karena di daerah kami di Jerman ini tadinya PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) mendominasi, tapi semenjak penerapan rencana jangka panjang Jerman menuju Energiewende, Jerman lambat laun melepas semua sumber energi yang berasal dari sumber energi konvensional (seperti batubara, minyak dan gas) dan berasal dari nuklir. Lain kali saya tuliskan tentang Energiewende di Jerman ini, seru.
Walaupun kami juga di Stadtwerk (PLN Jerman) ini sudah memilih yang berbasis renewable, tapi di luar Stadtwerk ternyata pilihan providernya luar biasa banyak. Bahkan banyak provider yang menjanjikan bila kami tanpa usaha ngirit konsumsi listrik pun atau tetap dengan konsumsi ber-kWh sama, bisa hampir 175 Euro lebih murah bayar tahunannya.
Pantas saja, ada kenalan kami di Jerman hampir tiap tahun ganti provider listrik. Selain mencari harga lebih murah, kenalan kami ini tampaknya rajin cari bonus-bonus yang ditawarkan.Â
Kami memang agak malas berganti provider dan bukan tipe hobi bonus hehe ... kami cukup bahagia dengan Ang Pao awal tahun dari provider kami Stadtwerk melalui usaha-usaha yang lebih hemat energi. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H