Bicara tentang kota idaman, atau sekarang yang sedang ramai jadi pembicaraan, ibu kota idaman, seperti apakah?
Presiden Jokowi mengungkapkan dalam Pidato Kenegaraan HUT RI-74 di Gedung MPR\DPR\DPD hari Jumat tanggal 16 Agustus  2019 bahwa sebuah ibu kota negara bukan hanya simbol identitas bangsa, tetapi juga representasi kemajuan bangsa. Beliau mengatakan pemindahan ibu kota juga demi terwujudnya pemerataan dan keadilan ekonomi.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro juga mengatakan lokasi ibu kota baru harus memiliki beberapa poin:
1. Berada di tengah-tengah wilayah Indonesia untuk merepresentasikan keadilan dan mendorong percepatan wilayah timur Indonesia
2. Memiliki risiko yang minim akan bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, longsor mau pun kebakaran hutan dan lahan
3. Memiliki ketersediaan air bersih dan bebas pencemaran lingkungan
4. Harus dekat dengan kota yang sudah terbangun dan memiliki infrastruktur seperti bandara
5. Memiliki akses logistik yang memadai serta dekat dengan perairan
6. Dari sisi sosial, juga harus memiliki potensi konflik sosial minimal, danÂ
7. Sekitar wilayah tersebut juga memiliki budaya terbuka terhadap pendatang
Banyak negara di atas bumi ini pernah memindahkan ibu kotanya. Katakanlah, Jerman, yang pernah memindahkan ibu kotanya dari Berlin ke Bonn dan akhirnya kembali dipindahkan ke Berlin.
Jepang, Norwegia, Polandia, Pakistan, Australia juga pernah memindahkan ibu kotanya. Lalu, apakah kota atau ibu kota idaman yang diinginkan banyak orang, sama dengan kriteria Menteri PPN? Bagaimana selanjutnya Jakarta nanti bila tidak jadi ibu kota Indonesia?
Fungsi Sebuah Ibu kota Negara
Sebuah ibu kota seperti Jakarta adalah jantung sebuah negara, pusat perpolitikan, pusat pemerintahan, tempat di mana parlemen, badan tertinggi yudikatif juga berada dan bahkan terkadang juga merupakan nadi perekonomian sebuah negara.
Namun, pemilihan ibu kota sebuah negara sangatlah bervariasi alasannya. Belanda misalnya ibu kota resmi negeri Belanda adalah Amsterdam, tapi pusat pemerintahan dan istananya ada di Denhaag.Â
Afrika Selatan memiliki 3 ibu kota, pusat pemerintahannya di Pretoria, tempat bekerjanya parlemen di Kapstadt dan Mahkamah Agung berada di Bloemfontein.Â
Ada juga negara yang tidak memiliki ibu kota, seperti Vatikan, Monaco atau pun Swiss. Walaupun banyak yang mengira Bern adalah ibu kota Swiss, tapi sebetulnya secara Undang-Undang, Bern tidak disebut sebagai ibu kota. Secara fungsional Bern merupakan pusat parlemen, pemerintahan dan kementerian-kementerian berada.Â
Tahun 1848 walaupun Zürich sudah merupakan pusat perekonomian Swiss, tapi saat pemilihan, mayoritas tidak memilih Zürich menjadi pusat pemerintahan. Mayoritas di tahun 1848 memilih Bern sebagai pusat pemerintahan yang mereka sebut bukan ibu kota (Hauptstadt), tapi Bundesstadt atau bila diterjemahkan bebas adalah Kota Federal.
Tokyo seperti Jakarta, ibu kota dengan jumlah penduduk yang luar biasa banyak dan padat. Luas kota Tokyo hampir mirip dengan Jakarta, jumlah penduduknya juga menurut Wikipedia di kisaran 10 juta jiwa ditambah kota metropolitan di sekelilingnya menjadi hampir 30 hingga 37 juta jiwa.Â
Kepadatan penduduknya pun sekitar 15 ribu per km persegi. Saat ini Tokyo masih memegang rekor sebagai kota metropolitan terbesar dan terpadat, namun menurut www.bloomberg.com tahun 2030 Jakarta akan melewati Tokyo dan memegang rekor dunia sebagai kota terpadat dunia.Â
Sementara Tokyo, di tahun 2030 diperkirakan berkurang jumlah penduduknya, sebaliknya Jakarta akan bertambah. Pertambahan penduduk ini tentu akan berhubungan langsung dengan kemacetan kota.Â
Padahal sekarang ini saja Jakarta disebut sebagai kota terburuk ke-3 lalu lintasnya sedunia. Bila dalam 10 tahun perubahan Jakata tidak besar, bisa dibayangkan dampak negatif dengan pertambahan penduduk ini. Belum lagi bila menghitung dampak lingkungan dan penurunan kualitas hidup yang diakibatkan hanya dari kemacetan ini saja.
Ibu kota Ternyaman dan Terlayak Dunia
Sebuah ibu kota di Eropa, walaupun menjadi pusat pemerintahan, dapat juga terpilih sebagai kota ternyaman dan terlayak dunia. Hasil studi ini dikeluarkan oleh MERCER, sebuah Konsultan Internasional, yang mengevaluasi Kualitas Hidup Ekspatriat di kota-kota besar dunia. Ibu kota negara manakah itu? Ibu kota dari Austria, yakni kota Wina.Â
Wina terpilih sebagai kota dengan kualitas hidup paling baik, tidak hanya untuk tahun 2019 tapi sudah 10 tahun berturut-turut. Infrastruktur jaringan lalu lintas, perumahan, fasilitas air bersih dan kesehatan, tawaran ajang budaya serta fasilitas pendidikan Wina memang sangat baik.Â
Menurut wali kota Wina, prestasi ini bukan sesuatu yang datang begitu saja, tapi dari hasil usaha luar biasa pengelola kota. Salut untuk Wina.
Lebih dari 70% penduduk Wina menggunakan fasilitas jaringan lalu lintasnya. Dengan kartu langganan tahunan, biayanya kurang dari 1 Euro per hari (kurang lebih 15 ribu Rupiah sehari).Â
Untuk kelas Jakarta saja ini ini sangat murah. Tol saja mungkin per hari sudah lebih dari 15 ribu Rupiah, belum dihitung bensin dan biaya perawatan kendaraan. Dengan 15 ribu Rupiah, penduduk Wina dapat menggunakan fasilitas lalu lintas Wina yang ada dalam satu hari.Â
Kota Wina dengan penduduk hampir 2 juta jiwa dan luas 2/3 dari kota Jakarta, memiliki 450 bus, 500 KRL bawah tanah dan 150 KRL atas tanah. Dan lebih hebat lagi, di Wina itu lebih banyak terdaftar kartu tahunan lalu lintas daripada mobil, karena memang kartu tahunan ini murah dan cakupannya sangat lebar. Bahkan, kartu tahunan di kota besar seperti Muenchen di Jerman jauh lebih mahal dari Wina.
Demikian juga fasilitas tempat tinggal di Wina sangat baik bahkan pernah dengan kebijakannya ini, kota Wina mendapat penghargaan dari UN-HABITATs.Â
Pemerintah Kota Wina memiliki banyak Gemeindebauten, atau tempat tinggal sosial, yang disewakan dengan murah kepada penduduknya. Dari uang sewa, yang rendah ini, uangnya dibuat untuk membuat lebih banyak lagi tempat tinggal murah, sehingga tempat tinggal terjamin dan murah tersedia selalu untuk warganya.Â
Kembali ke Jakarta, Jakarta memang bukan Wina, yang berpenduduk hanya 2 juta jiwa atau bukan pula Tokyo, yang memiliki kepadatan penduduk hampir sama, tapi dengan fasilitas infrastruktur dari mulai lalu lintas, air minum, perumahan yang seperti jauh panggang dari api. Tapi Jakarta bila mampu menjerit, adalah kota dengan jeritan memilukan.Â
Sudah waktunya dilakukan tindakan serius, konsekuen dan konsisten untuk perbaikannya. Meringankan beban kepadatan Jakarta, yang selama ini menjadi pusat pemerintahan, perpolitikan, pusat parlemen, yudikatif dan bahkan pusat perekonomian Indonesia, dengan memindahkan pusat-pusat ini, tentu akan meningkatkan kualitas hidup warganya.Â
Karena bila dalam 10 tahun atau tahun 2030 prediksi kepadatan Jakarta akan melebihi Tokyo itu terjadi, dan tidak diiringi oleh pengembangan infrastruktur yang berarti, kualitas hidup warga Jakarta dan sekitarnya akan semakin memburuk. Seperti wali kota Wina katakan, keunggulan Wina bukan datang begitu saja, tapi dari usaha keras, konsisten dan konsekuen pemerintah kotanya. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H