Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Suasana Menjelang Pemilu di Jerman dan Indonesia

15 Februari 2019   18:48 Diperbarui: 15 Februari 2019   20:12 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber de.dreamstime.com

Waw ... ramainya ya tulisan seputar pilpres dan debat capres di Kompasiana. Saya sudah memiliki capres, dan tidak berniat untuk berkampanye di sini. Hanya saja, saya sangat tertarik untuk menuliskan perbedaan atmosfir sosbud masyarakat Jerman dan Indonesia menjelang Pemilu di Jerman (2017) dan di Indonesia (April 2018 yad).

Ada satu persamaan yang patut dituliskan di sini bahwa rasa benci, shit storm atau apalah istilahnya terhadap petahana tidak hanya di Indonesia, di Jerman juga, sangat kencang dirasakan. Tampaknya untuk sebagian orang, Media Sosial adalah perpanjangan lidah dan rasa dengki, ketidakpuasan, kebencian dkk nya. Jargon-jargon yang disalurkan dan bahkan diabadikan melalui Media Sosial.

Lalu apa perbedaannya?

1. Orang di Jerman rata-rata suka diskusi dan suka baca berita. Berikan orang Jerman bir dan teman diskusi, mereka bisa bertahan dari malam sampai pagi dan mungkin sampai malam lagi tanpa makan untuk berdiskusi. Mereka bisa bicara panjang, mengeluarkan pendapat dengan bebas dan diskusi sampai panas tapi tidak berakhir dengan adu jotos atau masuk penjara.

Untuk itu, di program-program tivi mereka, banyak sekali program-program diskusi ditawarkan. Para moderator Talk Show kawakan dan cerdas menelisik, mengungkap dan membahas segala masalah yang ada pun mulai dari yang serius sampai yang kocak menjadi terkenal. Mulai dari Guenther Jauch, Markus Lanz, Maybritt Illner, Maischberger, Anne Will, Frank Plasberg.  

Politik mereka hidupi dan sadari sebagai tool atau alat menuju hidup yang lebih baik, agama adalah urusan pribadi masing-masing. Bahkan acara paling disukai dan pernah dapat penghargaan adalah acara satiris ironis kocak politik di bawah moderasi Oliver Welke yakni Heute Show. 

Wah seru ini, bila Oliver Welke diminta menyimak perilaku politik dan masyarakat Indonesia menjelang Pilpres, akan banyak bahan untuk diironikan dengan cerdas dan kritis. Bila seminggu ketinggalan nonton berita, cukup nonton Heute Show setiap hari Jumat, maka kita akan dapatkan berita paling absurd dari para politikus, anggota partai atau masyarakat.  

2. Trigger atau pemicu keresahan di Jerman dan Indonesia koridornya mirip, tapi beda jurusan. Di Jerman, masyarakat Jerman resah dengan kelakuan para imigran yang rata-rata datang dari negara muslim. Islam walaupun tidak bersalah di'takut'i. 

Tidak sedikit masyarakat di Jerman saking ngerinya dengan ISIS, mereka tidak bisa lagi membedakan mana muslim sehat dan mana 'muslim' tidak sehat. Prejudice atau prasangka yang kata Einstein lebih susah memecahnya dari atom, demikian mengungkung keresahan masyarakat di Jerman. Jadi tidak heran bila di Jerman, yang terasa ganas itu, yang benci Islam dan orang asing.

sumber de.dreamstime.com
sumber de.dreamstime.com
Kondisi ini sampai-sampai membuat saya pernah ditanya oleh seorang ibu Jerman sepuh di kereta (setelah ia menginterogasi kenapa saya sampai tinggal di Jerman demikian lama): "Apa saya tidak khawatir dengan banyaknya orang asing muslim masuk Jerman dan 'mengganggui' gadis-gadis muda belia di Jerman? Glek ... pertanyaan yang tidak bisa saya jawab cepat tanpa berpikir. 

Saya tidak tahu harus mulai jawab dari mana. Haruskah saya mulai dari sejarah panjang penjajahan Eropa di pelosok bumi atau saya mulai dari keluarga saya. Saya akhirnya bersuara: " Saya memiliki anak gadis, tentu saja saya juga khawatir, tapi saya juga khawatir akan partai AfD, partai baru di Jerman yang mengusung kebencian terhadap orang asing dan terutama muslim." 

Dengan arus migrasi deras saat ini, jumlah orang asing yang ditampung di Jerman meningkat pesat. Saya sependapat dengan keputusan Merkel dan partainya, kenapa kita tidak tampung para imigran ini. 

Selain membantu mereka, saat ini Jerman juga kekurangan generasi baru. Industri Jerman yang kuat membutuhkan tangan-tangan muda. Namun, ternyata proses penampungan para imigran ini tidak semulus membuat keputusan karena memicu banyak masalah sosial dan budaya internal, entah itu karena ketidaksiapan infrastruktur internal Jerman atau pun karena kelakuan para imigran sendiri.

Sebetulnya tidak sedikit kesuksesan-kesuksesan integrasi juga terjadi, namun angka ini tertutupi oleh mengerikannya kejahatan-kejahatan sosial beberapa gelintir imigran. 

Di satu sisi saya bisa mengerti darimana angin prasangka dan kebencian terhadap Islam dan muslim berhembus tapi juga di sisi lain, memunculkan kekhawatiran dengan kondisi yang ada.

Untuk itu, saya sangat menyambut hangat masyarakat Jerman, yang masih berpikir tidak sempit dan humanis, tidak melabeli orang. Dari saya pun, saya berusaha tidak hidup isolatif seperti tidak sedikit muslim (Indonesia juga) serius di Jerman, yang pada akhirnya hanya numpang makan, tapi tidak pernah bergaul atau bersosialisasi dengan orang lain selain komunitas muslim di Jerman. 

Kondisi ini tidak hanya semakin melebarkan jurang ketidakharmonisan dan prasangka dalam hidup bersama, tapi juga tidak pernah bisa mendempul lubang ketidaksalingkenalnya komunitas masyarakat di Jerman. Bukankah tak kenal maka tak sayang?

3. Kebebasan pers di Jerman untungnya banyak yang sifatnya tidak mengompori dan menjunjung tinggi kode etik pers. Praktik agama diserahkan jadi urusan masing-masing. Tentulah ada juga koran gosip di Jerman, tapi pers yang bisa dipercaya dan obyektif lebih banyak. Sehingga para politikus (dodol) tidak pernah ditanggapi omongannya. Kalau kita mulai diskusi dengan mengambil referensi dari koran gosip, ya bisa ditinggal orang dan bisa jadi bahan komedi di Heute Show hehehe.

Dan orang di Jerman apalagi bila bekerja di bidang Industri. Waktu yang ada sudah demikian disibukkan oleh pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, tidak terlalu dipusingkan oleh urusan partai dan pemerintahan. Dan mungkin karena Industri lebih banyak memberikan pekerjaan daripada dunia politik di Jerman, jalan-jalan juga tidak jadi kotor dan ramai dengan segala spanduk atau banner.

Secara umum, suasana menjelang Pilpres di Indonesia lebih terasa heboh dan subyektif, seolah setelah Pilpres matahari akan terbit di Barat. Tapi walaupun begitu, semoga Pilpres di Indonesia berjalan lancar, aman dan damai. (ACJP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun