Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Petualangan Naik Angkutan Umum ke dan dari Kampung Naga

18 September 2017   02:03 Diperbarui: 18 September 2017   14:05 5593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Naga asri penuh tradisi (dokumentasi pribadi)

Tangga turun ke Kampung Naga (dokumentasi pribadi)
Tangga turun ke Kampung Naga (dokumentasi pribadi)
Pulang ke Bandung

Dengan penuh kesan dan impresi, kami pun meninggallkan Kampung Naga. Kami sempat ragu dan bertanya ke pemandu kami, baiknya kami ke Tasikmalaya atau ke Garut untuk ke Bandung. Pemandu kami menganjurkan untuk mengambil arah Garut. Kami pun menunggu kendaraan umum menuju ke Bandung. Jalanan yang cukup sepi membuat saya khawatir apakah kami bisa sampai di Bandung tidak terlalu malam, tapi untunglah setelah lebih dari seperempat jam menunggu ada Elf menuju ke Bandung, setidaknya itu yang tertulis di kaca mobil bagian depannya, karena ternyata Elf ini hanya sampai terminal di Garut.

Di dekat Terminal Garut kami diturunkan dekat sebuah Elf, yang katanya ke Terminal Leuwi Panjang Bandung. Penumpang yang jumlahnya saat itu dengan kami hanya 6 orang, termasuk satu ibu dengan putranya, yang digelandang keluar dari sebuah angkot dan dipaksa masuk Elf, yang kami tumpangi. Heran juga melihat pemandangan ini, tapi saya tidak terlalu nangkap apa yang terjadi. Ibu ini setengah enggan naik juga ke Elf, dan bertanya: "Nanti saya diturunkan nggak?", tanyanya. Tapi tidak ada yang menjawabnya. Supirnya pun tidak terlalu mengacuhkannya. Tapi si ibu itu diam juga dan duduk.

Elf ugal-ugalan (dokumentasi pribadi)
Elf ugal-ugalan (dokumentasi pribadi)
Belum juga Elf keluar dari Garut, kami sudah ditagih uang. Uang yang ditagihkan pun tampaknya bisa tawar menawar. Kejadian yang sulit kami mengerti. Ke Bandung kami ditagih 30 ribu rupiah per orang. Tapi ada seorang anak muda hanya mau membayar 20 ribu. Dipaksa oleh supir untuk membayar lebih tapi tetap tidak mau bayar. Akhirnya supirnya yang mengalah. Saya pikir, setelah menagih semua penumpang, supir segera berangkat tapi ternyata jalan 5 menit ngetem lagi 15 menit. Jalan 5 menit ngetem lagi 15 menit. Jalan 5 menit lalu ngetem lagi. Sampai akhirnya saya habis kesabaran, dan mencoba melihat Go-ride apakah bisa menggunakan jasa daring ini ke Bandung dari sekitar kami berada saat itu, ternyata ada. Setelah diskusi sebentar dengan suami saya, kami pun memutuskan untuk turun dan meminta sisa uang yang tentu akan dipotong oleh supir Elf, yang malah akan makan saat itu (padahal sebelumnya saya lihat dia sudah makan).

Ternyata, supir Elf tidak mau memberikan sisa uang kami, malah mengajak kami masuk dan memutuskan untuk berangkat ke Bandung. Sepanjang jalan ia mengeluh kalau biasanya ia berangkat dengan penumpang 10 orang, padahal saat itu baru 6 orang. Antara kasihan dan kesal, saya usul untuk membayar tiket kekurangan 4 orang, dengan syarat langsung ke Bandung. Supirnya langsung berhenti berbicara dan mulai konsentrasi nyetir. Berbeda dengan perjalanan berangkat ke Kampung Naga, yang walaupun tanpa macet tapi sangat lambat, pulangnya kami memang cepat tapi penuh kengerian. Supir Elf ini, nyetir tanpa ngerem, padahal jalanan saat itu macet, tapi supir Elf ini berhasil melalui kemacetan jalan tanpa masalah dengan menyalip jalan orang, menyerempet jalan kecil, melalui bahu jalan di jalan tol. Pendek kata, kurang dari 3 jam sampai juga kami di Bandung. Bisa dibayangkan leganya hati saya ketika kaki berdiri di atas tanah. 

Ibu, yang terlihat ragu saat dipaksa masuk Elf, ternyata diturunkan di tengah jalan juga dan harus nyambung angkot, yang sudah dibayar supir Elf. Kami pun walaupun alhamdulillah selamat sampai di Bandung dengan cepat tapi sepanjang jalan harus merasa tidak nyaman dan membayar untuk 6 orang bagi kami berdua (walaupun dengan sukarela). Kesemua ini menyisakan saya kegelisahan seperti kondisi tanpa kontrol, layaknya hutan, konsumen pengguna angkutan umum tidak memiliki keamanan dan kenyaman. Tidak heran bila orang berlomba-lomba korupsi dan menghalalkan segala cara untuk memiliki uang banyak. Nasib orang kecil memang tidak ada yang perduli. Siapa yang mengurus ini semua ?? Jangan-jangan tidak ada satu pun orang merasa bertanggung jawab dan perduli urusan ini. Sangat menyedihkan bila hal ini harus kita maklumi. (ACJP) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun