Kepulangan saya dari awal Agustus sampai awal September 2017 y.l. memberikan beberapa keheranan di antaranya adalah semakin sepinya penumpang angkutan umum di Bandung. Kebetulan karena rumah ibu saya cukup di tengah kota Bandung, tidak jauh dari jalan Asia Afrika, pusat atraksi sejarah kota Bandung, naik angkutan umum terutama angkot adalah salah satu pilihan alat transportasi cukup nyaman bagi saya.
Senja Kala Bagi Angkot?
Namun, dibandingkan tahun lalu, sekarang sepinya penumpang angkot lebih terasa. Terutama, siang hari tidak satu kali, saya mengalami naik angkot, yang supirnya mengeluhkan ke teman sesama angkotnya demikian sedikit pendapatan mereka. Angkot satu malah harus mengisi bahan bakar angkotnya dengan uang yang hanya terkumpul di jam makan sebanyak 12 ribu rupiah.Â
Sementara penumpang di dalam angkotnya termasuk saya hanya 3 orang saja. Angkot lainnya juga tidak jauh berbeda, ketika di lampu hijau ngobrol dengan sesama angkot di sebrang jalan, sesiang itu uang terkumpul "jam sakieu mung dalapan rebu wae" hanya 8 ribu rupiah saja. Penumpangnya termasuk saya hanya 2 orang saat itu.
Dulu, saat saya SMA, angkot Dago-Kalapa hijau di Bandung selalu padat, apalagi pergi dan pulang sekolah. Rumus 4 orang di dekat pintu dan 6 orang di sebrang pintu, lalu masih juga disisipi orang di dekat pintu adalah situasi sehari-hari. Bangku kecil yang hanya menampung sebagian badan ini harus mengandalkan gaya tempel, supaya tidak terpental ke depan bila supir angkot ngerem mendadak.Â
Sekarang, kondisinya sangat berbeda, saya bisa memilih tempat duduk di mana saja. Bahkan kaki saya bisa terjulur bebas ke depan tanpa bertumbukkan dengan kaki penumpang lain. Ada apa dengan angkot, apakah angkot sudah di ambang senja ??
Ketika saya bercerita keheranan ini ke beberapa orang, hampir senada mereka berseru "Laaaahhh, hari gini koq naik angkot!! Naik Grab, Uber atau Go-Jek dong ..... Lebih cepat dan terkadang lebih murah."
Sebetulnya saya juga menginstalasi aplikasi alat transportasi daring atau online ini, namun saya gunakan bila saya buru-buru atau bila tujuannya rumit dan sulit dicapai angkot. Bahwa sekarang orang sama sekali meninggalkan angkot dan seratus persen menggunakan jasa alat transportasi daring ini, bagi saya sesuatu yang cukup mengherankan, kemana orang-orang yang merasa gaptek dan tidak ber-smartphone? Saya tidak tahu harus kasihan ke supir angkot atau menyambut era daring dengan apresiatif.Â
Satu hal yang saya kira pasti, bahwa tidak ada satu orang pun menyukai kemacetan. Dari pada membawa mobil sendiri, bengong di antara kemacetan tentu lebih nyaman naik ojek, ojek daring apalagi sangat praktis, cepat dan mudah dipanggil. Sehingga tidak heran bila fasilitas transportasi ini sangatlah disyukuri keberadaannya. Apalagi kalau meminjam istilah keponakan saya, para manajemen aplikasi daring alat transportasi ini sedang membakar modal, berlomba-lomba menunjukkan diri, memoles imej, mengobral diskon untuk menarik pelanggan.Â
Padahal mungkin tidak lama lagi, para pelanggan juga memiliki aplikasi "Transportdaringloka", aplikasi pembanding mana paling murah dan paling nyaman dari pemberi fasilitas alat angkut daring. Walaupun baju dari alat transportasi ini pun bisa jadi mudah dilepas-lepas sesuai kebutuhan, seperti yang sering iseng saya tanya pada para supir daring, karena para supir ini pun terdaftar di banyak aplikasi. Tentu saja kenapa tidak, karena itu bukan tindakan ilegal tampaknya. Konsumen yang pasti diuntungkan karena punya pilihan yang paling murah dan cepat.
Alat transportasi konvensional ini tampaknya harus mulai menata diri dan mengembangkan potensi secara kompak dan visioner bila tidak ingin tercecer seperti contoh angkot di Bandung. Tindak kekerasan bukanlah solusi baik untuk imej dan tentu saja, kebijakan lalulintas harus segera dipikirkan oleh para penanggung jawab supaya arah kebijakan transportasi optimal bisa dinikmati warganya.
Masa Depan Angkutan Umum
Kadang ada penumpang, kadang tidak ada penumpang. Supir angkot bekerja hanya berdasarkan pengalaman dan instingnya. Mereka pun bisa menjadi ugal-ugalan bila ternyata kondisi jalanan sepi, karena di Bandung dan semua tempat di Indonesia, angkot adalah angkutan umum yang dikelola perorangan. Tidak ada penumpang artinya tidak ada pemasukan. Sebetulnya sebab akibat yang sangat manusiawi, sayangnya tidak membuat nyaman penumpangnya.
Kepastian keberangkatan dan tidak adanya ketakutan dipindahkan ke angkutan lain bisa ditiadakan bila semua angkutan umum dikelola bukan oleh perorangan, seperti TransJakarta, tidak saja jauh dekat ongkosnya sama tapi juga bahkan bila kembali ke arah berangkat pun tidak bayar lagi. Apalagi bila TransJakarta kelak punya jalur sendiri, bisa sangat cepat dan tidak terpengaruh kondisi jalan. Ditambah, ada area khusus wanita, bagi saya sangat menentramkan. Halte tunggunya juga TransJakarta cukup nyaman, yang di Pancoran malah ada fasilitas mushola dan toilet segala.Â
Memang tidak mungkin, semua angkutan umum memiliki jalur sendiri seperti TransJakarta atau MRT kelak. Apalagi dalam kondisi seperti kota Jakarta dan Bandung yang luarbiasa tidak berimbangnya antara pertambahan jumlah kendaraan dan penambahan jalan. Namun, konsep kepemilikan perorangan angkutan umum menurut saya sudah waktunya dikonsep ulang. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H