Alat transportasi konvensional ini tampaknya harus mulai menata diri dan mengembangkan potensi secara kompak dan visioner bila tidak ingin tercecer seperti contoh angkot di Bandung. Tindak kekerasan bukanlah solusi baik untuk imej dan tentu saja, kebijakan lalulintas harus segera dipikirkan oleh para penanggung jawab supaya arah kebijakan transportasi optimal bisa dinikmati warganya.
Masa Depan Angkutan Umum
Kadang ada penumpang, kadang tidak ada penumpang. Supir angkot bekerja hanya berdasarkan pengalaman dan instingnya. Mereka pun bisa menjadi ugal-ugalan bila ternyata kondisi jalanan sepi, karena di Bandung dan semua tempat di Indonesia, angkot adalah angkutan umum yang dikelola perorangan. Tidak ada penumpang artinya tidak ada pemasukan. Sebetulnya sebab akibat yang sangat manusiawi, sayangnya tidak membuat nyaman penumpangnya.
Kepastian keberangkatan dan tidak adanya ketakutan dipindahkan ke angkutan lain bisa ditiadakan bila semua angkutan umum dikelola bukan oleh perorangan, seperti TransJakarta, tidak saja jauh dekat ongkosnya sama tapi juga bahkan bila kembali ke arah berangkat pun tidak bayar lagi. Apalagi bila TransJakarta kelak punya jalur sendiri, bisa sangat cepat dan tidak terpengaruh kondisi jalan. Ditambah, ada area khusus wanita, bagi saya sangat menentramkan. Halte tunggunya juga TransJakarta cukup nyaman, yang di Pancoran malah ada fasilitas mushola dan toilet segala.Â
Memang tidak mungkin, semua angkutan umum memiliki jalur sendiri seperti TransJakarta atau MRT kelak. Apalagi dalam kondisi seperti kota Jakarta dan Bandung yang luarbiasa tidak berimbangnya antara pertambahan jumlah kendaraan dan penambahan jalan. Namun, konsep kepemilikan perorangan angkutan umum menurut saya sudah waktunya dikonsep ulang. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H