Sebagai bagian dari penduduk Eropa, meningkatnya simpatisan dan pemilih partai ekstrem kanan di kota-kota Jerman, pengetatan aturan di negara-negara Eropa terhadap penerimaan para pencari suaka yang sebagian besar berasal dari negara-negara mayoritas muslim, kemenangan Brexit di Britania Raya dan terakhir kemenangan Donald Trump di USA, tentu saja membuat saya khawatir dan was-was juga sebagai muslim Indonesia yang tinggal di salah satu negara di Eropa. Apalagi hasil Pemilu Presiden Austria gelombang pertama di bulan Mei tahun ini dimenangkan oleh partai FPÖ, partai ekstrim kanan Austria, Norbert Hofer. Semua kejadian itu meninggalkan tanda tanya, akankah gelombang para ekstrem kanan, para pembenci perbedaan ras dan kebangsaan, makin kuat dan tak bisa direm?
Perbedaan yang Tak Ada Habisnya
Bila kita mencari perbedaan, saya kira tidak akan ada habisnya. Di dalam sebuah keluarga saja, antara ibu dan anak, adik dan kakak perbedaan itu tidak ada habisnya.Â
Bagi saya, orang Indonesia yang kebetulan terlahir sebagai orang Sunda Jawa, yang dulu sudah terbiasa bertetangga dengan orang dari suku lain, agama lain dan memiliki kawan-kawan dengan warna kulit beragam, tidak pernah memusingkan dan merepotkan masalah kulit. Lalu bila sekarang, setelah tinggal di bumi Eropa ditotal selama hampir 20 tahun, dan bersahabat dengan orang Jerman, Yunani, Eropa Timur, Inggris, Amerika, Amerika Selatan, Irak, Afrika, muslim maupun non muslim, tiba-tiba harus merubah sikap dan pandangan hidup... bagi saya terlalu memusingkan kepala, karena teman-teman saya ini juga tidak pernah memusingkan warna kulit dan agama saya. Â
Hidup di antara ragam manusia ini, terkadang bagi saya penampilan dan kulit tidak lagi penting. Saya lebih menghargai isi dan sikap mereka. Bergaul dengan bangsa-bangsa lain memberikan saya pandangan yang lebih luas tentang manusia dan bahkan mempertebal keyakinan bahwa pada dasarnya kita manusia memiliki harapan dan keinginan dasar yang sama.
Sahabat kami dari Irak, datang ke Jerman bersama seluruh keluarganya sebagai pencari suaka 10-an tahun yang lalu. Ayah mereka yang seorang Doktor Literatur dari Irak walaupun setelah diterima di Jerman tidak bisa lagi menjadi dosen, dan hanya bekerja sebagai makelar jual beli mobil bekas, tampak bahagia dan sehat. Sahabat-sahabat kami ini sangat bersyukur setelah dulu terlempar-lempar dari satu negara ke negara lain akhirnya diterima di Jerman. Mereka memiliki kesempatan sama seperti orang Jerman hingga dapat kuliah di sekolah tingginya. Dan sekarang, mereka pun berhasil menyelesaikan kuliah dan bekerja di perusahaan besar Jerman dan Swiss. Mereka tetap muslim taat, menjalankan ibadahnya ini pun tidak ada kendala.
Julia dari Ukraina, menceritakan bagaimana kisahnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jerman. Wanita berusia antara 30-40 tahun ini, bercerita betapa kagetnya ia ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jerman dan melihat betapa seenaknya para wanita di Jerman berpakaian. Ia bercerita di Ukraina, ia merasa sebagai gadis muda dituntut untuk selalu tampil cantik, rapi dan berdandan, tidak pernah ia bisa membayangkan di lingkungannya di Ukraina dulu keluar rumah tanpa rok dan make up lengkap. Lalu dengan berjalannya waktu, sekarang ia merasa betapa nyamannya hidup di Jerman tanpa tuntutan harus selalu rapi dan berdandan, karena ia bisa tampil lebih alami dan bisa menjadi dirinya sendiri apa adanya.
Sahabat saya dari Peru, ketika datang ke Jerman sebagai mahasiswa tanpa modal, di liburan musim panas di antara ujian-ujiannya, ia bisa bekerja di mana saja untuk membiayai kuliahnya. Wanita pekerja dan memiliki kemauan keras ini sudah bersahabat dengan saya hampir selama 20 tahun juga. Walaupun kami terpisah jarak, waktu dan sekarang tinggal di lain kota, kami tidak pernah terputus hubungan. Kami memiliki kesamaan, walaupun agama, warna kulit dan suku kami di atas kertas berbeda, tapi kami bisa tergelak bersama, menyukai banyak makanan yang sama dan anak-anak kami pun menjadi teman. Kenapa harus dipersulilt dengan nasionalisme, warna kulit, agama? Kita semua anak-anak dunia, yang memiliki jalan dan cara berbeda tapi menuju ke tujuan yang sama, berupa akhir yang baik.
Pemilihan Ulang Pemilu Presiden Austria
Hidup di Jerman atau di Eropa, memang tidak selalu mulus. Seperti juga di indonesia, selalu ada orang baik dan tidak baik, wajar saja kan di mana pun kita hidup selalu ada orang-orang itu. Namun, yang membuat saya nyaman adalah sistem pemerintahan di Jerman itu UUD nya menjamin bahwa setiap penduduk yang tinggal di Jerman memiliki kesamaan hak di depan hukum, tidak boleh orang dirugikan karena gender, turunan, ras, bahasa, tanah air dan asal usul, agama, pandangan politik dan kepercayaan.
Namun, semenjak arus pelarian terutama dari Irak, Syria, Afganistan dan Afrika akhir-akhir ini demikian tinggi membanjiri negara-negara di Eropa, kenyamanan bermasyarakat di Jerman dan Eropa menjadi terganggu. Merkel saja, yang tadinya disukai dan dihormati setelah bersikap sangat toleran terhadap para pelarian dan pencari suaka, mendapatkan kritikan tajam dan kehilangan simpati para pendukungnya di Jerman. Dalam pidatonya di depan partainya untuk menjadi kandidat Kanselir yad, Merkel sampai mengatakan secara eksplisit: saya butuh dukungan.Â
Apalagi ditambah kelakuan para pencari suaka tidak tahu diri, akhir-akhir ini. Dua kejadian di Bochum dan satu di Freiburg pemerkosaan dan pembunuhan terhadap tiga mahasiswi, terkuak ternyata pelakunya pencari suaka dari Irak dan Afganistan. Sikap masyarakat terhadap pencari suaka dan Islam di Jerman semakin digoyang. Inilah penista agama yang sebenar-benarnya, menurut saya, sangat menista dan merusak citra Islam. Sehingga muslim lain merasakan dampaknya, hinaan dan cercaan, padahal tidak ada hubungan sama sekali dengan para pelaku. Untungnya, koran dan majalah utama Jerman, seperti Spiegel, Focus, die Welt yang menjadi patokan banyak orang sehat, sifat beritanya tidak pernah mengadu domba, memprovokasi sehingga orang masih bisa membedakan orang secara netral dan realistis, tidak buta dan terbawa-bawa.
Nah ... dengan hasil Pemilu Presiden bulan Mei yang lalu, yang dimenangkan oleh Norbert Hofer, dari partai FPÖ, partai Kanan Austria, membuat saya semakin khawatir kondisi Eropa pada umumnya. Tapi untunglah, karena Pemilu Presiden Austria bulan Mei itu ditengarai terjadi manipulasi suara, maka PEMILU Presiden Austria digelar lagi pada tanggal 4 Desember 2016 yang lalu. Dan hasilnya horeeeee 51,7% untuk mantan ketua Partai Hijau, Alexander Van der Bellen. Aaaahhh .... leganya, ternyata orang sehat masih banyak juga di Eropa.
Beda Sistem Pemerintahan Austria dan Jerman
Status presiden di Austria lebih krusial sifatnya dari status presiden di Jerman. Di Jerman, seorang Presiden hanya menyandang simbol kenegaraan tapi tidak memiliki akses terhadap pemerintahan, karena pemerintahan dijalankan oleh seorang Kanselir. Sementara itu di Austria, seorang presiden bahkan dapat memecat pemerintahan eksekutif dan atas usulan eksekutif membubarkan legislatif serta menjadi pemberi komando tertinggi militer. Di Jerman, pemberi komando tertinggi militer adalah Menhankam baru di kondisi perang dibawahi oleh Kanselir. Aaaahhh ... untunglah gelombang ekstremis ini ternyata masih terkendala, masih ada titik terang untuk hidup damai dalam perbedaan di Eropa, semoga di Indonesia juga kebhinekaan bisa tetap tunggal ika. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H