Sebagai tukang jalan-jalan, saya bisa melihat bila sebuah kota itu smart, setengah smart atau smart-smart-an. Sebuah kota itu secanggih apa pun slogannya, rencananya atau pun ancang-ancangnya, tapi bila praktek kota sehari-hari berlubang di sana sini, ya sulitlah disebut smart. Walaupun, Sang Wali Kota atau Gubernur, mampu memamerkan Kantor Command Center atau Kantor Kontrol Digital kotanya, tapi pada praktiknya, penduduk, turis atau masyarakatlah yang menilainya: apakah kota itu sudah smart atau belum. Itu yang sering disepelekan, padahal menyepelekan smartness penduduk, masyarakat kota dan turis sekarang ini, sungguh tidak smart. Apalagi di era medsos yang demikian viral, pertukaran informasi sangat cepat, jadi bila kita bicara tanpa dasar, ya jadinya seperti dagelan gombal yang tidak lucu.
Menurut saya nih ya, prosedur menuju smart city itu harus holistik dan terintegrasi karena saling berkait satu dan lainnya. Bila hanya secara parsial saja solusinya, ibarat pungguk merindukan bulan, Si Pungguk bermimpi setinggi langit dan berusaha menggapai-gapai bulan di atap langit, sementara pohon di mana si pungguk itu bertengger mulai ditebang orang atau hutannya terbakar. Akhirnya Si Pungguk pun mati konyol dan tak bernyawa, sangat tidak smart dan sia-sia!
Bagaimana kalau kita kembali pada hakikat atau tujuan smart city?? Seorang Profesor di Jerman mendefinisikan Smart City itu sbb:
"Smart City ist die Vision, bei der es darum geht, mit Informations- und Kommunikationstechnologien die Arbeits- und Lebensqualität in der Stadt zu verbessern."
-Professor Ina Schieferdecker, Zentrum für Smart Cities, Fraunhofer-
Kalau saya terjemahkan bebas: "Smart City adalah sebuah Visi untuk perbaikan kualitas kerja dan hidup dalam kota dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi." Jadi penekanannya bukan pada peningkatan jaringan teknologi informasi dan komunikasi tapi pada perbaikan kualitas kerja dan hidup, Peningkatan jaringan teknologi informasi dan komunikasi hanyalah sebuah tools, perangkat saja. Fondasi mendasar kenyamanan hidup dan kerja yang berkualitas ya tetap harus dibuat dan dibangun.
Langkah Besar Dimulai Dengan Langkah Kecil
Terkadang kita manusia bermimpi terlalu tinggi hingga lupa kondisi yang ada. Padahal semua langkah dan prosedur harus dimulai dari langkah yang kecil, kalau tidak mau benjol kemudian karena terpeleset atau itu perangkat canggih akhirnya menjadi besi tua karena tidak bisa difungsikan. Di tempat penelitian saya di Indonesia dulu, banyak sekali contohnya, perangkat canggih yang akhirnya hanya menjadi besi tua, entah itu karena rencana penelitian ngawur atau mimpi yang terlalu tinggi padahal tidak dibutuhkan. Kekonyolan tidak hanya terjadi dalam dunia politik, dalam dunia penelitian juga bisa terjadi.
Lalu seperti apakah perbaikan kualitas kerja dan hidup itu seharusnya, yang menjadi perhatian kota? Kota-kota di Eropa rata-rata, sudah memiliki dasar, prosedur dan infrastruktur kokoh akan hal-hal yang menunjang kualitas kerja dan hidup dalam kotanya, jadi konsentrasi mereka hanyalah mengaitkan dan mengoptimalkan prosedur dan infrastruktur yang ada dengan bantuan jaringan komunikasi dan informasi state of the art. Itu bisa saya mengerti. Sedangkan, negara berkembang atau kota-kota di Indonesia, harusnya yang menjadi perhatian adalah membangun dulu prosedur dan infrastruktur kokoh untuk sektor-sektor pembuat hidup lebih nyaman dan berkualitas ini, baru konsentrasi pada optimasi. Boleh jadi terdengar kuno tapi harus realistislah melihat situasi dan kondisi yang ada, karena yang terdengar kuno ini sampai sekarang masih saja aktual, disebabkan tidak pernah selesai masalahnya dari zaman dulu.
Infrastruktur elemen mendasar dan esensial untuk hidup yang berkualitas dan nyaman berupa tanah, air dan udara, bila kita bicara untuk kota-kota di Eropa tidak lagi menarik karena masalah ini sudah selesai bagi mereka. Walaupun, 20-an tahun yang lalu, saya masih mendengar cerita orang-orang Jerman tentang bagaimana sebuah danau terkontaminasi atau sampah-sampah dibuang sembarangan di Jerman. Namun sekarang semua masalah ini sudah ada solusinya karena mereka sudah memiliki prosedur dan infrastruktur baik. Nah, jadi bisa dimengerti kan bila penekanan mereka sekarang ini lebih pada bagaimana optimasi dari infrastruktur yang ada untuk tetap memberikan kualitas terbaik walaupun penduduk kota akan terus meningkat jumlahnya di masa yad. Mari kita tengok kota besar di Indonesia,
- Air Bersih
Bandung misalnya, yang saya kenal baik, infrastruktur air bersih saja tidak pernah selesai solusinya, tetangga ibu saya di gang setiap kali butuh air bersih 3 bulan y.l., masih membawa ember besar ke rumah ibu saya karena tidak ada air bersih di rumahnya, lalu bagaimana mungkin sekarang kita mau loncat ke optimasi, lah wong, infrastrukturnya saja belum ada, apa yang akan dioptimasi dengan perangkat canggih teknologi informasi ultra modern, sungguh absurd. Hanya investasi sia-sia. - Tanah Tak Terkontaminasi
Kontaminasi tanah itu banyak sekali sumbernya, di Eropa hujan asam karena pencemaran udara misalnya, selalu jadi pembicaraan para ahli lingkungan atau kebocoran dari pengelolaan sampah yang tidak benar. Di Indonesia, tanah yang terkontaminasi dari pengelolaan sampah juga sangat krusial, karena pengelolaan sampah tidak terintegrasi dalam skala kota dengan baik, jadi kontrol kontaminasi tanah tidak ada. Masyarakat dihadapkan pada masalahnya sendiri.Tahun 1996 ketika saya di Sydney, saya diperlihatkan bagaimana pengelola sampah kota dapat mengetahui keberadaan truk sampah mereka ada di mana dari Kantornya yang bebas dari sampah, melalui software kota, tanpa harus menelpon supir truknya. Sementara, kita di Bandung dan Jakarta tahun 2016 saja masih berkutat dengan masalah ke mana membuang sampah, bagaimana menangani sampah yang terus melonjak, masalah-masalah dasar, yang harusnya sudah sejak beberapa dekade ada solusi jangka panjangnya.
- Udara Sehat
Pencemaran udara pun banyak penyebabnya, paling menyolok adalah pencemaran dari industri dan lalu lintas. Hal kasat mata saja, lalu lintas, apakah kita sudah mampu mengendalikan jumlah kendaraan yang ada di jalan ?? Bila sudah ada solusinya, tentu tidak akan ada macet berkepanjangan di kota-kota besar di Indonesia, ya kan. Untuk itu harusnya penekanan kota sekarang ini adalah membangun infrastruktur lalulintas yang tuntas, baru kita bicara optimasi.
Smart City Tanpa Transportasi Massal dan Sepeda??
Listrik untuk penerangan, listrik untuk industri atau kerja dan untuk ber-gadget ria, bahan bakar untuk kendaraan dan untuk memasak, ruangan sejuk dan nyaman, kesemua itu hanya bisa tercapai bila keberadaan energi dan sumbernya terjamin. Bagaimana bisa menjamin itu semua bila jumlah penduduk dunia melonjak terus, sementara sumber energi semakin berkurang? (tahun 1970 penduduk dunia masih kurang dari 4 milyar sekarang tahun 2016 sudah mencapai 7,5 milyar jiwa!!). Di Eropa, mungkin lonjakan penduduk ini tidak terlalu menyolok mata, tapi di kota-kota besar Indonesia, di Bandung dan di Jakarta angka urbanisasi tidak terkontrol, sementara manusia kan memiliki kebutuhan yang tidak bisa dihentikan.
Sumber energi untuk lalu lintas saja, yang mudah dilihat. Model seperti sekarang di Jakarta dan Bandung, di mana satu orang satu mobil, padahal pertambahan dan pelebaran jalan-jalan tidak ada atau lambat, ya otomatis membuat jalan-jalan di Bandung dan Jakarta mampet di sana sini. Belum lagi melihat efisiensi bahan bakar, bila setiap orang dalam mobilnya masing-masing ini dikumpulkan dalam transportasi massal (bukan angkot lho ya ... karena angkot tuh kurang massal, apalagi taksi) maka maka akan ada penghematan bahan bakar, apalagi naik kereta atau trem yang bebas macet sudah pasti lebih menghemat waktu pula.Â
Jawatan kereta api Jerman, selalu memiliki portal pengecek lingkungan, bisa dilihat di sana bisa dilihat perbandingan per orang per km menghabiskan berapa energi antara kereta, mobil dan pesawat. Bila kita naik kereta, setelah dikonversikan ke bensin hanya menghabiskan hanya 3,5 liter per km per orang, sedangkan pengguna mobil hampir 3 kali lipatnya mengonsumsi 11, 4 liter per orang per km. Nah, bisa dibayangkan kan... tidak adanya infrastruktur transportasi massal yang baik, tidak hanya mencemari udara tapi juga menghabiskan sumber energi berupa bahan bakar.
Lalu untuk transportasi jarak dekat, bila sebuah kota memiliki infrastruktur sepeda kota ditambah jalan-jalan khusus pesepeda yang baik maka pembakaran bahan bakar untuk jarak dekat yang sangat tidak efisien tidak perlu terjadi. Silakan lihat Barcelona, München, Zürich, Kopenhagen, Paris bahkan New York memiliki infrastruktur sepeda kota. Sepeda kota ini tersedia di banyak jalan di kota tersebut. Sistemnya penduduk setempat bila sudah berlangganan dapat menggunakan sepeda itu dari mana saja dan mengembalikannya pun di mana saja. Tempat parkir sepeda ini terhubung dalam jaringan daring kota, yang merekam lalu lintas peminjaman. Inilah fungsi dari sistem informasi dan komunikasi kota yang baik, mengoptimalkan dan menyemangati penduduk untuk membakar kalori sendiri dengan mengayuh sepeda daripada membakar bensin, dan sepeda digunakan sebagai alat transportasi jarak dekat bukan untuk bersenang-senang saja atau untuk reunian di Car Free Day.
Jadi bila ada wali kota atau gubernur masih gembar gembor bicara soal Smart City sementara infrastruktur perlindungan air, tanah dan udara belum baik lalu lintas berupa transportasi massal dan infrastruktur untuk sepeda kota tidak ada, bagi saya programnya seperti tak bergigi, ompong, hanya paisan kosong, orang Sunda bilang. (ACJP)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI