Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Utrecht: Hidup Bersama Air Tapi Bebas Banjir

8 Juni 2016   16:36 Diperbarui: 10 Juni 2016   14:43 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rumah dipatokkan ke balok kayu besar, dok pribadi

Beberapa waktu lalu, media Indonesia banyak mewartakan bagaimana sungai dan kali di Jakarta semakin bersih dari sampah sehingga anak-anak semakin senang merenanginya. Tentu kabar gembira bagi siapa saja yang membacanya. Naluri manusia, saya kira, memang menyukai keindahan, dan air adalah salah satu media pembuat indah dan nyaman, bukankah surga juga di mana air mengalir di bawahnya?? Tanpa sampah tentunya, bila masih ada manusia tega membuang sampah ke sungai, kali atau laut, saya kira karena naluri keindahannya sudah beku atau pengelolaan sampah di kota itu tidak berjalan baik. 

Sungai dan kali adalah bagian dari kehidupan manusia, sebagai sumber air baku, tempat melepaskan lelah, mengecap kenyamanan, menghibur diri, seperti yang dilakukan anak-anak Jakarta sampai berani merenanginya. Demikian juga di Perancis, Jerman dan Belanda, Paris dengan Seine-nya, di Strassburg dan Colmar wisata di atas kali adalah atraksi menarik untuk para turis, Jerman dengan Rhein, Mosel, Donau selalu menarik untuk dikunjungi dan Utrecht di Belanda, kota dengan banyak kali dan kanal juga sangat impresif.

Oude Gracht di Utrecht (dok pribadi)
Oude Gracht di Utrecht (dok pribadi)
Jarak antara permukaan atas air di kanal-kanal Oude Gracht, Utrecht ini hanya 30-an cm ke pelataran rumah dan kedai kopi. Walaupun hujan rintik penduduk sekitar kanal itu tidak menampakkan kekhawatiran akan banjir. Mereka tampak asyik masyuk dengan kegiatannya, ada yang tetap duduk dan baca-baca di depan rumahnya di bawah perlindungan payung, ada pula yang tetap ngobrol-ngobrol di tempat terlindung. 

Air di kanal-kanal ini memang tidak jernih dan bening, tapi juga tidak bersampah dan tidak berbau. Kanal di Oude Gracht ini malah semakin malam semakin menarik bersamaan dengan redanya hujan dan cuaca semakin tak berawan, karena kedai-kedai kopi mulai ramai pengunjung dan gemerlapan oleh lampu-lampu terpasang. Ditambah orang Belanda dikenal sangat mengedepankan Gesseligkeit atau kenyamanan, membuat Oude Gracht menjadi penuh pesona.

Kedai-kedai kopi di sekitar kanal (dok pribadi)
Kedai-kedai kopi di sekitar kanal (dok pribadi)
26% Belanda terletak di bawah permukaan laut. Sudah lama orang Belanda memilih hidup bersama air, bukan melakukan kurasi setelah banjir. Mulai dengan menerapkan teknologi-teknologi antisipasi naiknya air, seperti pembangunan delta, bendungan, selokan serta kontrol simulasi daerah-daerah rentan banjir. Hampir 59% Belanda rentan banjir termasuk daratan buatan mereka. Sehingga, dana untuk antisipasi ini pun cukup tinggi. Hampir 2 milyar Euro dikumpulkan per tahunnya dari 16 juta penduduk Belanda jadi tak heran bila pajak air relatif tinggi di negara kincir angin ini.

Banjir paling parah terjadi tahun 1953, lalu terjadi lagi tahun 1993. Tapi orang Belanda terus berusaha berteman dan hidup bersama dengan air. Bagaimana pun banyak daratan yang mereka tinggali ada di bawah permukaan laut, sampai-sampai ada kalimat, Tuhan memang menciptakan manusia tapi orang Belanda menciptakan daratannya sendiri... hehehe. 

Kecantikan kanal air di Utrecht, dok pribadi
Kecantikan kanal air di Utrecht, dok pribadi
Energi dan Lingkungan
Utrecht ini, saya pikir, sangat irit konsumsi energinya. Bukan hanya karena sebagian besar penduduknya bersepeda, jadi tak perlu BBM tapi juga karena tata kotanya yang sangat compact, penduduknya sebagian besar tinggal di apartemen, yang saling berimpitan, hal ini membuat kebutuhan pemanas menjadi rendah. Bahkan mobil listrik pun tampak juga dimudahkan jalurnya, karena saya lihat ada stasiun pengisi terlihat di salah satu tempat parkirnya di bawah ini.

2 mobil listrik sedang dicharge, dok pribadi
2 mobil listrik sedang dicharge, dok pribadi
Sepeda terparkir di mana-mana, di pinggir jembatan, di stasiun kereta, di depan apartemen-apartemen, di taman-taman, di mana-mana.

Setiap pojok air ada daya tariknya, dok pribadi
Setiap pojok air ada daya tariknya, dok pribadi
Lihatlah padatnya apartemen tinggal penduduk Utrecht di bawah ini. Walaupun padat tapi tidak mengurangi nilai kenyamanannya, kan. Kenapa dulu orang Belanda tidak berusaha menerapkannya di Indonesia, ya?? Bila saya diberi pilihan, mau tinggal di apartemen lalu ke sana ke mari naik sepeda dan bebas macet atau tinggal di rumah, tapi ke sana ke mari harus naik mobil dan kena macet, tanpa ragu saya memilih yang pertama, karena apa?? Walaupun di tengah kota sangat padat, hanya bersepeda 20 menit saja ke hutan antara Utrecht dan Bunnik bisa dicapai, taman juga banyak bahkan Taman Wilhelmina sangat menyolok besarnya, tempat olahraga juga ada, prinsipnya ruang gerak tidak terbatasi.

Oude Gracht, dok pribadi
Oude Gracht, dok pribadi
Taman Wilhelmina di kota Utrecht, dok pribadi
Taman Wilhelmina di kota Utrecht, dok pribadi
Bangunan tua dan bahkan miring-miring pun tidak mengurangi nilai estetisnya, seperti di bawah ini.

Jendela miring pun koq menarik ini gedung, dok pribadi
Jendela miring pun koq menarik ini gedung, dok pribadi
Rumah-rumah terapung di atas air pun banyak terlihat di Utrecht. Lihat deh bagaimana mereka mengikatkan rumahnya ke daratan di bawah ini.

rumah-rumah di atas air, dok pribadi
rumah-rumah di atas air, dok pribadi
rumah dipatokkan ke balok kayu besar, dok pribadi
rumah dipatokkan ke balok kayu besar, dok pribadi
Menembus hutan di Rhijnauwen antara Bunnik dan Utrecht, yang penuh pohon dan hijau terbentang tanpa bangunan membuat saya bergumam sendiri akan tata kota kita di Indonesia. Kenapa jejak tata kota Belanda yang compact dan hijau di Indonesia tidak tersisa sama sekali, sehingga sekarang kemacetan mendominasi bukan hanya di Jakarta tapi di banyak kota besar di Indonesia dan lahan hijau terpisah jauh dari manusia yang membutuhkannya??

jalan sepeda menuju hutan antara Bunnik dan Utrecht, dok pribadi
jalan sepeda menuju hutan antara Bunnik dan Utrecht, dok pribadi
Karakter orang Belanda lebih halus, lebih terbuka dan ramah dibandingkan orang Jerman. Ditambah Utrecht adalah kota mahasiswa jadi penduduk lokal tampaknya tidak asing dengan wajah-wajah internasional, bahkan tanpa diminta, kami dibantu dengan informasi arah di tengah jalan. Begitulah... tampaknya orang Belanda hanya menurunkan sikap terbuka, ramah dan senang kenyamanannya saja ke orang Indonesia, tapi kemampuan menangani banjir dan tata kota rendah energi dan hijau lupa diturunkan, atau kitanya yang memang bandel, membuang sampah sembarangan ke kali dan sungai, membangun perumahan seenaknya, tanpa rasa bersalah??? (ACJP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun