Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mandiri Energi untuk Indonesia Mendunia, Hanya Utopia ?

30 Desember 2015   18:17 Diperbarui: 30 Desember 2015   19:19 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dok pribadi"][/caption]Slogan "Mandiri energi untuk Indonesia mendunia" sungguh menggelitik gumam. 2 tema besar yang luarbiasa berat ada di dalamnya, mandiri energi dan Indonesia mendunia. Bila itu merupakan target atau harapan, maka kedua tema itu bila dibandingkan dengan kenyataan sekarang bukan hanya merupakan jalan panjang dan berliku tapi juga hampir seperti utopia.

Indonesia mandiri energi ?? Bayangkan saja, Ibu Karen sendiri mengatakan bahwa

konsumsi energi primer kita telah meningkat lebih dari 50 persen sejak tahun 2000 hingga 2010. Namun, produksi minyak, yang masih mendukung sebagian besar kebutuhan energi kita, telah turun dari puncak produksi sejumlah 1,6 juta barel per hari menjadi hanya 861.000 barel per hari di tahun 2012. Pada saat bersamaan, cadangan minyak terbukti menurun lebih dari 1,9 miliar barel sejak 1992, yang merupakan penurunan paling tajam di Asia. [1]

Menurut [2] PT Pertamina (Persero) tahun 2015 akan mengimpor 300 juta barel minyak mentah dan produk bahan bakar minyak (BBM). Impor tersebut terdiri dari produk kilang pertamax, premium, avtur dan solar 200 juta barel, sedangkan minyak mentah sekitar 100 juta barel. Jelas terlihat di sini menuju mandiri energi, yang saya maknai surplus energi tidak lagi impor energi, jalannya masih terjal dan panjang.

Sedangkan untuk 'Indonesia Mendunia', saya lebih memiliki harapan. Slogan 'Ayo Indonesia Mendunia' ini sebetulnya sudah diusung oleh Pertamina sejak ulang tahun Pertamina sebagai persero yang ke-10 tahun 2013. Hal ini tidak lain untuk mewujudkan aspirasi 2025 untuk menjadi Asian Energy Champion, menjadi perusahaan migas nomor 1 di Asia.

Langkah awal menuju ke sana setidaknya telah dimulai Pertamina tahun 2013, menjadi BUMN juga perusahaan Indonesia pertama dan satu-satunya tahun itu, yang masuk Majalah Fortune 500 edisi bulan Juli 2013 di peringkat 122 sebagai Top Company dunia. Kriteria Top Company ini berdasarkan total pendapatan perusahaan per tahun fiskal yang berakhir pada atau sebelum bulan Maret. Kemudian total pendapatan tersebut akan dibandingkan dengan pendapatan tahun sebelumnya. Sayangnya, tahun 2014 Pertamina turun ke peringkat ke-123 dan tahun 2015 karena ada penurunan profit, harus berbahagia dan tetap bangga di peringkat ke-130 perusahaan dunia [3]. Selain itu, Pertamina untuk pertama kalinya melakukan akusisi blok minyak yang sudah berproduksi di luar negeri yaitu di Aljazair dan Iraq.

Sehingga bagi saya saat ini slogan "Indonesia Mendunia untuk Mandiri Energi" lebih realistis.

Mengupas Wewenang Pertamina mewujudkan Mandiri Energi

Bagaimana mewujudkan dan mengawinkan wewenang Pertamina dengan kondisi lapangan untuk mencapai mandiri energi ? Saya sengaja memisahkan mandiri energi dari Indonesia mendunia karena menurut saya penekanan strateginya berbeda walaupun bisa jadi pada akhirnya akan bersinergi.

PT Pertamina (Persero) merupakan perusahaan milik negara yang bergerak di bidang penyedia sumber energi primer meliputi minyak bumi, gas serta energi baru dan terbarukan. Dari energi primer ini akan dihasilkan energi akhir berupa bensin, solar, minyak tanah, listrik, panas atau dingin dll.

Sangat perlu untuk mengenal dan membedakan antara energi primer dan energi akhir karena bisa jadi wujud energi akhir berbeda tapi bersumber dari energi primer sama, seperti minyak tanah dan bensin, dua energi akhir berbeda tapi berasal dari sumber energi primer yang sama, minyak bumi. Demikian juga energi akhir sama tapi bersumber dari energi primer berbeda, seperti listrik yang bisa berasal dari minyak bumi, gas atau matahari.

Sekilas menengok sejarah, perusahaan-perusahaan energi dunia seperti Shell berdiri tahun 1907, Total tahun 1924, Chevron tahun 1879, maka bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan ini Pertamina, yang juga bergerak dalam dunia yang sama, relatif belia. Didirikan tanggal 10 Desember 1957, lalu tahun 1960 PT PERMINA direstrukturisasi menjadi PN PERMINA. Melalui satu Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan Presiden pada 20 Agustus 1968, PN PERMINA yang bergerak di bidang produksi digabung dengan PN PERTAMIN yang bergerak di bidang pemasaran guna menyatukan tenaga, modal dan sumber daya yang kala itu sangat terbatas menjadi PERTAMINA. Kemudian pada 17 September 2003 Pertamina berubah bentuk menjadi PT Pertamina (Persero) berdasarkan PP No. 31/2003. 

Nah ... bagaimana mencapai mandiri energi primer untuk menjadi mandiri di energi akhir ?? Mandiri energi bagi saya berarti mampu memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, efisien serta efektif dalam pemenuhannya, serta mampu menjaga ketahanan sumber energi untuk masa depan. Untuk mencapai itu, banyak sekali tantangan saat ini yang harus dihadapi namun saya menyaring 3 tantangan utama berikut ini, yakni : 

1- Tingginya ketergantungan Indonesia pada sumber energi primer fosil, seperti batubara, minyak bumi dan gas

Tingginya ketergantungan akan sumber energi fosil, baik itu konsumsi energi primer maupun konsumsi listrik terlihat dalam sebaran konsumsi energi Indonesia di bawah ini. Konsumsi energi primer Indonesia tahun 2013 78%-nya berasal dari sumber energi fosil, batubara, minyak bumi dan gas.

Demikian juga konsumsi listrik Indonesia tahun 2013 87%-nya berasal dari 3 energi primer fosil yang sama.  

[caption caption="dok https://www.eia.gov/beta/international/analysis.cfm?iso=IDN"]

[/caption]Tingginya ketergantungan Indonesia akan sumber energi fosil ini memaksa Pertamina untuk mencari sumber-sumber energi fosil seperti negara-negara lain, sehingga persaingan menuju ke sana menjadi sangat berat. Namun, seberapa jauh investasi di bidang penelitian untuk peningkatan efisiensi kinerja kilang dan usaha yang ada serta investasi untuk sedikit demi sedikit melepas ketergantungan ini sudah diusahakan ?? Misalnya :

a- peremajaan kilang yang ada dan peningkatan efisiensi baik itu sdm maupun fasilitas ??

b- bekerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian untuk peningkatan efisiensi ??

c- bekerja sama dengan BUMN, pemda atau pun swasta untuk mengurangi ketergantungan ??

2- Peningkatan kebutuhan dan sekaligus pemborosan konsumsi energi

Kebutuhan akan energi di Indonesia terutama yang bersumber dari minyak bumi meningkat terus padahal produksi menurun, bisa dilihat dalam grafik di bawah ini.

[caption caption="dok https://www.eia.gov/beta/international/analysis.cfm?iso=IDN"]

[/caption]

Energi akhir dari pengolahan minyak bumi ini, tahun 2012 dihabiskan paling banyak di sektor transportasi sampai mencapai 65%, pembangkit listrik 16%, industri 10%, rumah tangga 2%, komersial 1%, dan sektor lainnya 6%, dari total kebutuhan BBM pada tahun 2011 yang mencapai 70,89 juta KL. Dibandingkan tahun 2010, jumlah tersebut mengalami peningkatan 4,04% dari sebelumnya 68,14 juta KL, seperti terlihat di grafik di bawah ini.

[caption caption="dok http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Hasil%20Kajian/ESDM%20SDE.pdf"]

[/caption]

Dengan lambatnya antisipasi kemacetan kota, infrastruktur transportasi kota yang buruk, tidak terkendalinya urbanisasi dan pertambahan jumlah penduduk maka tuntutan kenaikan produksi minyak bumi Indonesia sukar dikendalikan.

Sektor transportasi terutama dengan kemacetan di banyak kota besar Indonesia memicu pemborosan BBM juga polusi udara. Bila saja CSR Pertamina lebih diarahkan pada pembenahan tata kota, pengendalian urbanisasi maka konsumsi minyak bumi bisa dialihkan untuk sektor-sektor produktif, karena sekarang ini konsumsi energi primer Indonesia didominasi oleh sektor rumah tangga.

3- Meningkatkan Potensi Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Menjamin Pasokan dan distribusi ke seluruh pelosok Indonesia

Tantangan 1 dan 3 ini mirip-mirip, tapi langkah yang diambil berbeda karena di tantangan 3 ini lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur pengolahan sumber energi baru dan terbarukan.

Lebih dari 40% potensi panas bumi dunia ada di Indonesia namun hanya kurang dari 4% saja dari keseluruhan potensi 27 GW yang baru dieksploitasi [4]. PT Pertamina (Persero) memang telah menggenjot pertumbuhan kapasitas pembangkit listrik panas bumi menjadi 1.026 megawatt (MW) hingga 2019, dengan investasi sekitar US$2,5 miliar, untuk mendorong pemanfaatan panas bumi nasional, yang saat ini masih berada di kisaran 5 persen dari total sumber daya yang dimiliki [5].

Namun, bagaimana dengan sumber energi baru dan terbarukan lainnya, misalnya : air, biomassa, matahari dan angin?? Potensinya seperti tercantum dalam tabel berikut cukup berpotensi.

[caption caption="dok BPPT - Outlook Energi Indonesia 2014 hal 31 "]

[/caption]

3 PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) on grid sudah terbangun dan baru saja diresmikan. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Karangasem 1 MWp On-Grid, PLTS Bangli 1 MWp On-Grid dan minggu lalu 5 MW peak diresmikan di Kupang. Dalam waktu dekat juga beberapa PLTS akan difungsikan.

Tantangan sulit ini mungkin terwujud dengan sinergi baik semua institusi terkait. Memang bukan jalan mudah tapi bisa mungkin bila semua pihak memiliki kesepahaman yang sama.

Mengupas Wewenang Pertamina mewujudkan Indonesia Mendunia

Seperti sudah tertuang di awal tulisan ini 'Indonesia Mendunia' sudah dimulai Pertamina, tahun ini 2015 Pertamina berada di peringkat ke-130 perusahaan dunia dan sudah melakukan akusisi blok minyak yang sudah berproduksi di luar negeri yaitu di Aljazair dan Iraq. Namun bila membandingkan dengan kontribusinya secara nasional belum mencapai 40%. Jadi terlihat kontradiktif sebagai National Oil Company (NOC) atau BUMN belum berkuasa di negeri sendiri sedangkan sebagai pembanding kontribusi Petronas, yang juga NOCnya Malaysia di negaranya mencapai 50% [7].

Padahal lagi nih, perdagangan minyak dunia sekarang ini tidak lagi dikuasai perusahaan migas internasional (seperti Exxon, BP, Chevron dll), 50% perdagangan minyak dunia sekarang NOC mulai mengambil peran. Hasil penelitian Ian Bremmer dan Juan Pujadas pada artikel berjudul State Capitalism Makes A Comeback yang dimuat di Harvard Business Review (2009) memperkuat peran NOC, di mana sembilan dari 15 perusahaan migas terbesar di dunia saat itu (berdasarkan cadangan, produksi, kapasitas kilang, dan volume penjualan) adalah NOC [6].

Jadi tidak heran banyak NOC-NOC asing atau BUMN-BUMN migas asing yang melebarkan sayapnya juga ke luar negeri untuk menguatkan ketahanan pasokan sumber energi negaranya masing-masing. Karena bagaimana pun, ketahanan energi adalah faktor penentu keber­langsungan bangsa.

Pemerintah dan Pertamina saat ini perlu membuat regulasi yang meringankan gerak Pertamina terutama dalam hal akuisisi blok-blok yang habis kontraknya serta terus meningkatkan SDM dan bersinergi untuk peningkatan efisiensi dan efektiivitas kerja.  

Mendunia demi kemandirian energi, bisa jadi sekarang ini masih utopia, tapi tidak ada batas dari sebuah mimpi. Saya yakin orang Indonesia juga mampu bila kita semua mau. (ACJP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun