Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ridwan Kamil Perlu Melihat Pengalaman Risma Mengelola Sampah Kota

26 Februari 2014   12:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_324761" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Bandung dan rumitnya penyelesaian masalah sampah belum juga beringsut ke arah positif. Bahkan seorang asing yang pernah tinggal di Bandung bulan Januari yang lalu telah menulis Bandung, the city of pigs, membuat saya sebagai mantan urang Bandung, malu membaca keluhannya.

Jumlah sampah dan jumlah manusia berjalan proporsional. Bandung sebagai salah satu kota besar di pulau Jawa adalah salah satu kota tujuan, baik untuk sekolah ataupun untuk hidup. Jumlah penduduk yang bertambah dari tahun ke tahun sayangnya tidak mempercepat penyelesaian pengelolaan sampah sehingga tumpukan sampah pun semakin tinggi dan semakin banyak.

Sudah berlaku umum sebetulnya di masyarakat juga bahwa membakar sampah di halaman atau di pinggir jalan sebagai proses reduksi jumlah sampah. Tidak hanya di desa-desa, di kota-kota pun para pembantu rumah tangga atau pemilik rumah sering terlihat membakar sampah-sampahnya. Padahal, pembakaran sampah liar dan terbuka ini memberikan dampak lingkungan yang tidak kecil, tapi sayangnya hal ini tidak disadari oleh banyak orang.

Sedangkan proses pembakaran sampah yang tertutup, difilter dan bahkan bisa menghasilkan listrik seperti di  PLTSa Gedebage yang sudah direncanakan delapan tahun sampai saat ini tidak bisa juga diwujudkan oleh pemerintah kota Bandung. Alasan tidak terwujudnya ini menurut tautan yang sama karena 57,15% warga kec Gedebage menolak pendirian PLTSa disebabkan oleh dekatnya lokasi PLTSa ke pemukiman, khawatir dampak negatifnya, teknologi incinerator dianggap berbahaya, dan krisis kepercayaan terhadap manajemen dan alat incineratornya.

Ruwetnya menyelesaikan masalah kota, seperti yang sering disebutkan oleh Jokowi Ahok letaknya pada keberanian mengeksekusi dan tetap konsekuen, program kota baik pun tidak sering terbentur tidak hanya pada niat baik pemerintah kota, tapi juga niat baik masyarakatnya. Tidak heran, akhirnya karena mengurusi orang banyak birokrasi dan pelaksanaanya ruwet, alih-alih terus amanah dan mencari solusi yang baik untuk semua pihak, tidak sedikit pemerintah kota akhirnya mengeksekusi kebutuhannya sendiri dan golongannya saja, karena lebih mudah.

Kebetulan saya masih menyimpan catatan dari Suara Pembaruan yang saya baca tanggal 25 Juli 2008 mengenai pembangunan PLTSa di Bandung. Isinya sbb:

Akan dibangun PLTSa dengan model Waste to Energy/WTE atau PLTSa seperti ini, ada beberapa manfaat yang didapatkan di antaranya bisa memperkecil volume sampah dan teknik yang ramah lingkungan. Rencana pembangunan PLTSa ini telah melalui proses studi kelayakan, termasuk di dalamnya Amdal yang melibatkan berbagai pihak, termasuk LSM dan perguruan tinggi.

Menurut salah seorang anggota Tim studi kelayakan (feasibility study/FS), Mujiyanto dalam penjelasan yang disampaikan kepada SP melalui milis wartawan peduli Sanitasi dan Lingkungan di Jakarta, beberapa waktu lalu, beberapa pertimbangan yang mendasari dibangunnya PLTSa di Bandung tersebut.

Pertama, PLTSa berfungsi sebagai pabrik pemusnahan sampah daripada pembangkit listrik. Listrik yang dihasilkan dan dijual ke PLN hanya untuk menutupi sebagian biaya operasi," ujarnya.

Kedua, di seluruh kota di dunia pabrik pengolahan sampah yang dikelola swasta memungut biaya dari pihak yang sampahnya ingin diolah/dimusnahkan. Besarnya biaya pengolahan bergantung pada teknologi yang digunakan, semakin tinggi teknologi yang digunakan semakin mahal biaya pengelolaan sampah.

Ketiga, biaya pengelolaan PLTSa diharapkan lebih murah daripada di PLTSa luar negeri.

Keempat, ketentuan mengenai kepemilikan pembangkit listrik dan listrik yang dihasilkan diatur dalam UU 15/1985, PP 10/1989, dan Permen ESDM 1 dan 2/2006, yang pada intinya menyatakan pihak swasta boleh memiliki pembangkit listrik dan listrik dari PLTSa wajib dibeli oleh PLN, karena dapat dianggap sebagai pembangkit listrik energi terbarukan di bawah 10 MW.

Perjanjian kerja sama dengan PLN yang berisi hal-hal tersebut di atas sedang berlangsung, dan beberapa pertemuan dengan pihak terkait telah dilakukan.

Kelima, Pemerintah Kota bersama pengembang akan sangat berhati-hati dalam melakukan pemilihan jenis teknologi, manufaktur, dan kualitas produk.

Dengan nilai investasi ratusan miliar dan masa pengembalian yang lambat, tentunya kita tidak menginginkan terjadinya pencemaran yang mengancam penduduk Bandung.

Keenam, untuk menjamin kualitas pabrik yang dibangun, sebelum kontrak berakhir pihak vendor berkewajiban untuk mengoperasikan selama satu sampai dua tahun, dan melakukan pengujian yang diperlukan untuk memastikan pabrik beroperasi dengan baik dan emisi yang dihasilkan di bawah baku mutu yang disepakati.

Dr Ari Darmawan Pasek dalam presentasinya tentang hasil studi kelayakan beberapa waktu lalu mengakui, ide untuk membangun PLTSa di Kota Bandung datang dari pemerintah Kota Bandung sendiri. Sebab, kota ini dihadapkan pada permasalahan berupa tidak tersedianya lagi ruang di kota tersebut untuk membuang sampah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA).

Untuk itu, salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan mereduksi volume sampah yang dihasilkan oleh penduduk Bandung setiap harinya, yang jumlahnya mencapai 2.785 m3 per hari. Reduksi itu dapat dilakukan dengan cara mengubah sampah itu, menjadi abu dengan membakarnya.

Untuk melihat apakah PLTSa layak dibangun di wilayah Bandung sebagai bentuk solusi terhadap permasalahan sampah Kota Bandung, dijalankan sebuah studi kelayakan. Dan berdasarkan hasil studi kelayakan tersebut, dari sekitar 2.785 m3 sampah yang dihasilkan penduduk Bandung setiap harinya, di antaranya sekitar 25,22 persen adalah sampah yang masih bisa didaur ulang, sedangkan 74,78 persen sisanya adalah sampah yang dapat digunakan sebagai sumber energi, karena sebagian besar komposisi sampah di Bandung adalah sampah organik (42 persen berat atau 58 persen volume).

Sekarang, 6 tahun sudah berlalu, walikota pun sudah berganti tapi masalah sampah masih juga sama dan Ridwan Kamil sebagai walikota baru Bandung walaupun batas akhir penandatanganan pembangunan PLTSa sudah menjelang, tampaknya masih juga belum tahu kelanjutan PLTSa ini. Padahal, perkembangan PLTSa di Jerman sudah menunjukkan bahwa teknologi PLTSa semakin baik dan semakin ramah lingkungan. Apakah sebagian masyarakat ini sulit mengerti atau tidak mau mengerti ???

Risma dan PLTSa vs Camorra di Napoli

Risma telah berhasil menambah RTH kota Surabaya dan mengurangi jumlah sampah kota Surabaya dengan meningkatkan usaha daur ulang dan PLTSa saya kira patut dibaca tidak hanya oleh para eksekutor kebijakan lingkungan pemerintah kota Bandung tapi juga oleh masyarakat yang menolak PLTSa.

Tidak diragukan lagi, diantara kepelikan penyelesaian masalah sampah Bandung ini ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan tapi bukankah sudah ada studi kelayakan, lalu volume sampah yang membludak juga butuh solusi dan keindahan kota akan terjamin bila sampah bisa ditangani. Apa lagi yang perlu dipikirkan apakah ada yang mengambil untung dari kepelikan ini ???

Saya jadi ingat kasus di Napoli, Italia. Pernah mendengar tentang camorra ?? Camorra adalah organisasi kriminal seperti mafia di Napoli Italia. Naaaahhh …. Cerita camorra ini serumit intrik dalam film The Godfather. Napoli terletak di kaki gunung Vesuv, dekat kota Pompeji yang penuh sejarah, adalah kota nomor tiga terbesar di Itali setelah Roma dan Milano. Di dalam kotanya saja hidup 1 juta orang, ditambah penduduk sekitarnya menjadi 4,5 jutaan orang. Angka pengangguran di sana luarbiasa tinggi, berfluktuasi antara 20 sampai 30%. Tidak mudah mencari data akurat perekonomian di sana, karena sebagian kegiatan perekonomian dikuasai oleh para camorra, yang bergerak di perdagangan terselubung seperti perdagangan ilegal, penyelundupan, prostitusi dan narkoba. Hal ini membuat para camorra secara tidak resmi menjadi pembuat lahan pekerjaan terbesar Napoli.

Nah, apa hubungan camorra dan sampah ? Ternyata … urusan sampah ujung-ujungnya, uang juga dan menjadi mainan para camorra juga. Khusus soal sampah ini mendatangkan uang per tahunnya sebesar 1,5 milyar Euro bagi para camorra, begitu menurut Legambiente, biro Lingkungan di sana. Maklumlah, mereka melakukannya tidak sesuai prosedur dan ilegal, mereka membuka perusahaan pengelolaan limbah berbahaya di Itali Utara, tapi limbah beracun ini alih-alih mereka kelola sesuai prosedur, mereka kirimkan saja ke negara ketiga atau menimbunnya di region (propinsi red.) Kampari di mana Napoli terletak. Bahkan daerah penimbunan ini, di atasnya ada yang mereka jadikan perumahan.

Tahun 1994 sebetulnya telah disepakati untuk membuat undang-undang pengelolaan sampah dengan baik di Napoli, meliputi pemilahan dan daur ulang juga fasilitas pembakaran sampah. Namun apa … sampai saat ini, setelah 20 tahun berlalu dan milyaran Euro dikeluarkan, tidak ada satupun fasilitas pembakaran sampah berdiri dan tidak satu pun TPA legal dibuat. Bahkan, para camorra, yang juga menangani sampah kota Napoli ini pun sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan, mereka menyalahgunakan situasi darurat, karena mereka tahu betul situasi darurat membuat uang lebih lancar dicairkan dan peraturan tidak terlalu ketat ditaati. Apalagi penduduk setempat sangat tergantung pada para camorra sebagai pemberi lahan kerja terbesar di sana.

Begitulah situasi di Napoli, saya sangat berharap di Bandung tidak ada camorra dan tentu saja juga saya sangat berharap Ridwan Kamil tidak terperdaya oleh usaha-usaha terselebung yang menjauhkan Bandung menjadi bebas sampah. Mengaca pada usaha Risma, bila di Surabaya pengelolaan sampah bisa tanpa masalah, naha ari di Bandung mani hararese ?? Ahh ... aya-aya wae ... BEBASKAN BANDUNG DARI SAMPAH !! (ACJP)


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun