Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bangsa Indonesia, Bangsa Poliglot ??

18 September 2014   22:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:18 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1411029324991742478

[caption id="attachment_359893" align="aligncenter" width="626" caption="dok pribadi"][/caption]

Saya pernah berbeda pendapat dengan seorang teman mengenai bilingualitas orang Indonesia. Menurut saya, orang Indonesia adalah bangsa bilingual alami karena rata-rata orang Indonesia mampu bertutur aktif bahasa daerah selain berbahasa Indonesia. Sedangkan teman saya ini berpendapat, bilingual artinya selain mampu berbahasa Indonesia juga mampu bertutur dalam bahasa asing, sedangkan mampu berbahasa daerah tidak masuk hitungan.

Saya tentu saja berbeda pendapat, kenapa tidak ?? Bahasa daerah di Indonesia adalah bahasa mandiri, bahkan usianya lebih tua dari bahasa Indonesia yang kita gunakan. Keadaan terbaru, dengan semakin berkurangnya generasi muda yang mampu juga berbahasa daerah, sebuah privileg bukan ... bila generasi muda selain berbahasa Indonesia mampu pula dengan fasih berbahasa daerah karena bahasa daerah adalah bahasa ibunya. Maka bila ditambah bahasa Inggris atau bahasa lainnya, orang Indonesia dengan mudah masuk kategori bangsa poliglot, bangsa dengan kemampuan berbahasa banyak.

Keuntungan Bangsa Poliglot

Secara gampang, keuntungan bangsa poliglot adalah bangsa yang mudah dan cepat diajak berkomunikasi. Sebagai turis, saya cukup sering mengalami kemudahan bila berkomunikasi dengan bangsa poliglot ini. Pengalaman teranyar saat saya di Denmark dan Swedia, sungguh mengejutkan karena sampai penjual kios pun di Swedia, mereka berbicara bahasa Inggris tanpa aksen, artinya bahasa Swedia mereka yang mirip bahasa Jerman tidak terdengar, setidaknya itu yang saya simpulkan dalam percapakan beberapa menit kami. Berbeda bila bicara bahasa Inggris dengan orang Jerman, saya bisa langsung mendengar dan mengenali aksen Jerman dalam bahasa Inggris mereka.

Sedangkan pengalaman saya memesan air putih di restoran di Tarifa, di ujung Selatan Spanyol, sangat melelahkan. Ketika saya ingin memesan air putih, saya harus mengerahkan kemampuan berbahasa asing saya mulai dari menyebutkan water, Wasser, air, sampai akhirnya saat Aqua saya ucapkan, barulah anggukan lega terlihat dari penyaji restoran. Haaaaahhhh .... repot sekali memesan air putih saja, mentok-mentok tadinya saya akan pesan Coca-Cola saja, pasti merek ini lebih terkenal dari water.

Kembali ke kepiawaian berbahasa Inggris orang Skandinavia yang juga menjadi pembicaraan kami semalam dalam pertemuan komunitas penyuka bahasa Inggris. Ternyata menurut banyak orang, kepiawaian berbahasa Inggris ini dimulai sangat dini di tingkat pendidikan dasar di Skandinavia ditambah tivi mereka dibiarkan dalam bahasa Inggris tidak didubbing seperti di Jerman, maka tidak heran bahasa Inggris masyarakat Skandinavia rata-rata bebas dari segala aksen bahasa asli mereka.

Sulit Mempertahankan Multibahasa dan Bebas Aksen

Saya di rumah berusaha mempertahankan bahasa Indonesia dengan anak-anak. Saya lihat dari keluarga di lingkungan yang saya kenal di Jerman, baik itu yang campuran ataupun yang murni ibu bapaknya orang Indonesia, seringkali anak-anaknya tidak mampu lagi berbahasa Indonesia terutama yang anak-anaknya sudah dewasa. Hanya sedikit sekali, yang konsekuen bertutur dalam bahasa Indonesia dengan anak-anaknya di rumah.

Memang sulit sih harus saya akui menjaga dengan konsekuen dalam rumah berbahasa Indonesia dengan anak-anak. Saya kira karena kemampuan berbahasa anak kan terus meningkat, sementara kalau di rumah bahasa Indonesia tidak dipelihara dengan konsekuen, maka bahasa Indonesia anak-anakpun semakin tergilas dan akhirnya terhapus. Saya sendiri yang besar di Indonesia, bila tidak rajin menulis di Kompasiana, semakin sulit mencari kata yang tepat dalam bahasa Indonesia karena derasnya pengaruh lingkungan Jerman di sekitar saya. Jadi memang harus dicari cara menjaganya.

Sayang saja menurut saya, bila anak-anak saya atau anak dari keluarga campuran atau asli Indonesia tapi tinggal di Jerman kehilangan kemampuan berbahasa Indonesia mereka, lah ... bahasa ibu mereka bahasa Indonesia dan katanya kan turunan Indonesia koq, masa tidak bisa. Berbeda halnya dengan orang Turki di Jerman, yang biasanya karena ibunya tidak bicara dan tidak bergaul bahkan dengan orang Jerman, anak-anak mereka yang besar di Jerman pasti lancar bahasa Turki dan bahasa Jermannya. Memang sih, kalau aksen sih sulit ... anak-anak saya untungnya masih lancar berbahasa Indonesia, namun mempertahankan aksen ... hmmm tidak mudah ternyata, terutama putra saya aksennya agak lain (dari saya yang cukup menyolok aksen Sundanya) bila bicara bahasa Indonesia, tapi saya tidak kecewa, saya anggap pengayaan aksen bahasa Indonesia saja, apalagi bila putra saya masih sangat lancar berbicara bahasa Indonesia dengan neneknya di Indonesia lewat telpon atau bila teman Indonesia saya mengajaknya berbahasa Indonesia.

Saya lihat kemarin di utube, ada seorang remaja Timothy Doner di New York, yang disebut sebagai hyper polyglot karena mampu bertutur dalam 20 bahasa di usia mudanya ck ck ck ... termasuk bahasa Indonesia lho, canggih ya .... Bisa dilihat di sini.

Menjaga Multilingual, Pentingkah ?

Saya percaya bahasa hanyalah cara dan metoda, jadi tidaklah segalanya. Nyatanya kan orang Jepang yang selalu membutuhkan penerjemah dalam bisnis mereka, berhasil menggerilya di pasar dunia. Demikian juga orang Jerman, jangan pernah menyepelekan kemampuan teknis para teknisi Jerman, yang tidak bisa bicara bahasa Inggris, mereka piawai lho di bidang mereka. Tidak mampu berbahasa Inggris bukan artinya terus mereka tidak bisa berpikir. Untuk itu, basis kemampuan berpikir adalah utama, barulah kemampuan berbahasa lain menjadi bonus.

Namun sekarang ini dalam perkembangan dunia yang semakin mengglobal, nampaknya memang berbahasa asing selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah semakin menjadi kebutuhan karena memang memudahkan dalam banyak hal walaupun mungkin tidak menjadi syarat mutlak melihat kemampuan ekspansi orang Jepang walaupun yang saya lihat orang utamanya seringkali butuh penerjemah. Indonesia sebagai bangsa yang secara alami bilingual, menurut saya, sudah memiliki basis dan bakat alami untuk mudah menjaring dan menyerap bahasa lain.

Tapi untuk menjadi bangsa poliglot tampaknya perlu dicari metoda tepat terutama dalam sistem pendidikan bahasa Inggris, mengingat buruknya pengalaman kami dulu dengan guru bahasa Inggris di SMP putri saya di Indonesia. Hal ini harus menjadi peer dan konsentrasi Kementrian Pendidikan Dasar (bila seperti gosipnya akan dipecah) yad.

Bila Indonesia menjadi bangsa poliglot tentulah akan menjadi lebih mudah lagi untuk berekspansi ekonomi di pasar dunia. Tapi artinya bukan bahasa Indonesia dilupakan, kan.... bila di rumah, untuk saya keluarga Indonesia di luar Indonesia, bahasa Indonesia semakin tidak terdengar, ya sangat disayangkan. Bagaimanapun bagi saya bahasa Indonesia harus dipertahankan sebagai bahasa ibu, walaupun "hanya" berangkat dari melankoli ikatan darah dan mungkin kecintaan pada tanah air. (ACJP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun