[caption id="attachment_376075" align="aligncenter" width="592" caption="mobil tunggu di jalur 5 di Pelabuhan Gedser, Denmark (dok pribadi)"][/caption]
Salah satu target pengalihan dana penghematan subsidi BBM pak Jokowi sebesar 100 triliun rupiah adalah pembangunan 24 pelabuhan termasuk pelabuhan dalam di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Rencana ini tampaknya berkaitan dengan dihentikannya oleh Jokowi proyek ambisius pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), yang tadinya digadang-gadang SBY menjadi mega proyek Indonesia sebelum beliau lengser.
Luarbiasanya nilai proyek JSS terasa menjadi tak berimbang bila mengingat kurangnya juga pelabuhan dan dermaga di Indonesia bagian Timur. Walaupun tentu, apalagi bagi yang pernah naik ferry dari Merak - Bakauheni pp, pastilah sangat menyadari bahwa perbaikan manajemen dan infrastruktur di sana sifatnya sudah sangat genting. Wah ... kalau perusahaan-perusahaan Indonesia menerapkan manajemen just in time sudah bangkrut semua deh, karena delivery time barang gak bisa diprediksi dan macet entah di pelabuhan atau di jalan.
Dari beberapa pengalaman saya melalui pelabuhan-pelabuhan di Eropa, yang lancar, cepat dan waktu tunggu bisa diprediksi, saya sangat sadari tentu saja Indonesia butuh pelabuhan tambahan dan perbaikan manajemen dan infrastruktur pelabuhan yang ada untuk kelancaran perdagangan dalam negeri.
[caption id="attachment_376076" align="aligncenter" width="594" caption="truk dan bus di jalur 7, 8 dan 9 di Gedser (dok pribadi)"]
Beberapa Wajah Pelabuhan Ferry Eropa
Menyebrang dari Jerman di Utara ke negara-negara Skandinavia dapat melalui 5 pelabuhan, dari Kiel, dari Puttgarden, dari Travemünde, dari Rostock dan dari Sassnitz. Yang kami lalui arah sebaliknya dari Gedser di Denmark ke Rostock. Penyebrangan dari Gedser ke Rostock ini ada 9 - 10 kali penyebrangan per hari.
Ketika kami sampai di Gedser, tempat tunggu mobil masih lengang tapi kemudian lambat laun terisi juga oleh bus-bus, truk-truk dan mobil pribadi. Petugas lapangan yang bekerja hanya 2 orang saja, tapi semua berjalan rapi dan tertata.
Mobil pribadi di jalur 1-6, jalur 7-10 untuk truk dan bus-bus besar. Truk-truk ini mengangkut beragam komoditi dan produk Denmark atau Jerman. Terlihat di sini bahwa pelabuhan sangat membantu kelancaran perekonomian kedua negara.
Karena kami tiba di Gedser lebih awal dari perkiraan, maka ferry yang siap berangkat bukan ferry yang kami reservasi. Awalnya kami sempat ragu apa kami bisa berangkat dengan menggunakan ferry itu. Namun ternyata birokrasinya tidak berbelit-belit dan petugas loket tidak mempermasalahkannya, haaaa ... leganya, kami pun bisa ikut terangkut.
Ferry yang kami tumpangi dari Gedser adalah ferry besar dengan kapasitas angkut 977 penumpang, 210 mobil dan 42 truk. Dibutuhkan kurang lebih 15 menit mulai kami masuk ke kapal sampai berangkat. Dermaga yang mereka miliki sepenglihatan saya hanya ada 2 saja, yang berangkat dan masuk.
Namun, menurut berita, karena pelabuhan trayek ini intensitasnya bertambah, pemerintah Denmark telah mengoptimalkan lagi manajemen pelabuhan dengan menambah jalur supaya tidak ada kemacetan dan 2 ferry dengan kapasitas dua kali lipat, dari yang sudah ada. Investasinya kurang lebih 300 juta Krone Denmark (kurang lebih 0,6 Triliun Rupiah).
Pengalaman lainnya, adalah pelabuhan di dalam Jerman dan di dalam Denmark. Yang di Jerman, kapasitas ferrynya tidak sebesar dari Gedser ke Rostock, hanya 700 penumpang, 50 mobil dan 9 truk. Dermaga pelabuhan juga hanya dua yang pergi dan yang masuk.
Arus keberangkatan hampir setiap 20 menit dan sangat lancar. Di salah satu pelabuhan ferry di Jerman ini, petugas lapangan ada 3 orang di luar dan 2 orang di dalam kapal. Tidak akan deh kebingungan karena petunjuk dan informasi waktu keberangkatan juga terpampang jelas dan besar. Kondisi pelabuhan di dalam Denmark juga tidak jauh dari Jerman, jelas, lancar dan waktu tunggu tidak lama.
[caption id="attachment_376077" align="aligncenter" width="594" caption="Mulai merapat ke Pelabuhan Rostock (dok pribadi)"]
[caption id="attachment_376063" align="aligncenter" width="630" caption="Ferry Shubuh mulai meninggalkan dermaga di pelabuhan Jerman (dok pribadi)"]
Tol Laut Indonesia
Manajemen pelabuhan di Indonesia sebaliknya masih butuh optimasi di sana sini contoh pelabuhan ferry tersibuk di Indonesia, dari Pulau Jawa ke Sumatra dan sebaliknya. Yang pernah saya alami pada tahun 2011 saat liburan sekolah anak-anak (bukan lebaran), sangat tidak menyenangkan, sungguh tidak terbayangkan kondisinya saat lebaran.
Tahun 2011 saat penyebrangan dari Pulau Jawa ke Sumatra itu, kami menunggu sampai mobil masuk ke perut kapal ferry saja hampir 5 jam. Padahal penyebrangannya sendiri dari Merak-Bakauheninya bersih hanya memakan waktu kurang lebih 2 jam, lalu untuk merapat ke dermaga pun kapal ferry yang kami tumpangi harus menunggu lagi hampir 1 jam karena antri.
Menurut ini, dermaga yang ada di Pelabuhan Merak ada 5 dan per harinya mengoperasikan 28-29 ferry dengan kapasitas kapal ferrynya 1000 penumpang, 309 mobil, dan 62 truk. Per hari itu, penumpang yang diangkut dalam kondisi normal (bukan liburan sekolah atau lebaran) rata-rata 3500 penumpang, 1.600 mobil, 230 bus, 2700 truk dan 650 motor. Saat libur sekolah kenaikan jumlah penumpang dan kendaraan bisa sampai 5% dan saat lebaran tentu lebih lagi.
Pemerintah SBY tadinya mempertimbangkan alternatif lain untuk menyebrangkan penumpang dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra pp ini dengan membangun Jembatan Selat Sunda, gagasan ini bahkan sudah dicetuskan sejak tahun 1960 hampir 55 tahun y.l. oleh seorang guru besar ITB, Prof Sedyatmo. Waktu pembangunan jembatan ini 10 tahun lamanya dengan biaya 225 triliun rupiah.
Konon bila pembangunan jembatan ini terwujud dapat menjadi ikon kebanggaan Indonesia karena jembatan ini akan merupakan jembatan terpanjang di dunia. Tapi untunglah, pembangunan ini dihentikan oleh Jokowi karena tidak cocok dengan konsep kemaritiman yang dicanangkan beliau.
Kenapa menurut saya untung, coba simak, bila kita membangun dermaga baru lalu membeli kapal ferry baru atau pun bekas waktu penyelesaian kemacetan di pelabuhan ini lebih cepat dan murah. Harga kapal buatan dalam negeri Rp 300-400 miliar per unit, sedangkan kalau beli bekas dari luar negeri, kisaran harganya 10-20 miliar rupiah, bayangkan dengan 225 triliun rupiah (di Denmark saja butuh 0,6 triliun rupiah investasi untuk menambah 2 kapal baru modern dan penambahan jalan di pelabuhan), berapa dermaga dan berapa ferry di seluruh Indonesia bisa terbangun dan terbeli.
Prioritas kerja pak Jokowi dan kabinetnya memang adalah pengembangan infrastruktur laut, konsep 'tol laut' Jokowi bukanlah membangun jalan tol di atas laut, melainkan penyediaan sistem distribusi logistik menggunakan kapal besar yang menghubungkan pelabuhan di jalur utama Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Surabaya, Nusa Tenggara, Maluku, sampai Papua. 'Tol laut' ini diharapkan dapat mempercepat pemerataan ekonomi Indonesia dan membantu pengiriman barang melalui jalan darat yang semakin macet, sehingga biaya logistik bisa lebih murah.
Jadi melihat wajah pelabuhan Eropa ini dan rencana pak Jokowi dengan dinaikkannya harga BBM, saya mengangguk kencang, tentu saja Indonesia butuh pelabuhan. Dengan banyak pelabuhan Indonesia sebagai negara maritimtidak hanya perekonomian dalam negeri menjadi menggairahkan tapi siapa tahu ... urbanisasi, migrasi dan kemacetan lalu lintas pun dengan begitu juga bisa diatasi, ya kan. (ACJP)
[caption id="attachment_376081" align="aligncenter" width="594" caption="Pelabuhan Rostock (Warnemuende) dari ferry (dok pribadi9"]
[caption id="attachment_376082" align="aligncenter" width="594" caption="Kembali berlayar dari Rostock (dok pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H