Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pro Kontra Kurikulum: Absurditas Kembali ke Kurikulum KTSP 2006

10 Desember 2014   00:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:40 2458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


  • Isi Materi terlalu dipaksakan. Saya ingat paling mengesalkan ketika membantu putra saya di kelas 2 SD untuk mengerti tentang perbedaan akta, kartu, dokumen. Saya tidak tahu maksud dan kebutuhan pembuat kurikulum atau penulis buku atau guru untuk menerangkan ini ke anak kelas 2 !!!!??? Saya cukup yakin, orang dewasa pun sampai sekarang tidak tahu secara pasti perbedaan penggunaan kata akta, kartu dan dokumen, lalu kenapa harus terburu-buru dijejalkan di kepala anak 7-8 tahun. Umur 7-8 tahun adalah waktu di mana rasa ingin tahu anak tinggi, jadi waktunya mulai mengenalkan mereka hal yang lebih terlihat, dekat dan jelas diantaranya lingkungan, jalannya kehidupan di sekitar mereka dan membangun sensitifitas sekeliling bukan mengajarkan arti kata yang kaku dan sulit dibayangkan.


  • Buku pelajarannya pun sangat garing, tidak menarik dan terlalu banyak teks untuk kelas 2 SD. Saya saja bosan membacanya apalagi putra saya atau anak umur 7-8 lainnya.


  • Suasana kelas tidak menyenangkan, tidak ada hiasan di dinding, tidak ada apresiasi hasil karya anak terpajang di kelas. Sementara di Jerman, suasana kelas di SD sangat menyenangkan, setiap kelas dihias dengan pernak-pernik dan banyak hal yang menarik atau merupakan pameran hasil karya anak sehingga membuat anak menjadi lebih percaya diri.


  • Metoda pengajaran untuk SD di Indonesia tempat anak-anak saya dulu bersekolah, menurut saya terlalu berjarak dan kaku. Ditambah karena SD Negeri jadi satu kelas ada 42 orang, guru hanya berdiri di depan dan bicara sendiri. Anak-anak tidak pernah didengarkan pendapatnya, buah pikiran anak-anak ditelan begitu saja, jadi bisa dimengerti bila banyak anak-anak Indonesia tidak memiliki pendapat dan tidak kritis. Sedangkan suasana di SD anak-anak saya di Jerman sangat berbeda, karena suasana kelas lebih dekat, tidak berjarak dan kekeluargaan sehingga anak-anak tidak memiliki keraguan untuk menyatakan pendapat dan guru selalu memiliki waktu untuk menanyakan pendapat dan buah pikiran siswa.


  • Materi pelajaran terlalu banyak. Ada 11 mata pelajaran yang harus ditelan oleh anak-anak saya, padahal sebelumnya di Jerman mereka hanya 7 - 8 pelajaran saja (pelajaran sains, ips, biologi dalam satu kesatuan, yakni pelajaran Sachkunde). Anak-anak saya di SDN ini terpaksa menjadi penghafal cepat dan kemudian lupa, karena bahannya banyak dan harus ditelan cepat untuk ulangan, UTS dan UAS. Penekanan mengerti dan mencerna baik tidak pernah ada waktu. Saya bandingkan dengan sebelumnya ketika di Jerman, anak-anak saya lebih bisa mengungkapkan apa yang mereka pelajari di sekolah karena mereka memang diajarkan bukan untuk menghafal sebanyak-banyak tapi mengerti dengan baik.


  • Terlalu direpotkan dengan ulangan, UTS dan UAS. Saya sangat kaget ketika saya tahu bahwa di SDN Indonesia tempat anak-anak saya sekolah dulu tidak hanya ulangan saja tapi juga ada UTS dan UAS. Di Jerman tidak ada itu yang namanya UTS atau UAS, yang ada hanya ulangan. Itu pun tidak banyak, dan tidak semua mata pelajaran ada ulangannya, seperti olahraga, mereka ya hanya mengolah raga, aturan permainan diterangkan saat akan main. Tidak perlu mereka tahu luas lapangan, berat bola atau tinggi gawang di SD (ulangan olahraga baru ada di kelas 11).


  • Waktu belajar di Indonesia terlalu banyak sehingga anak-anak tidak memiliki waktu untuk mengenal atau mengembangkan potensi diri. Menurut saya, tidak perlu semua orang tahu semua hal, tapi yang penting adalah memiliki orang-orang yang berkualitas di bidangnya. Demikianlan yang saya lihat di Jerman, waktu belajar anak-anak di sekolah dibandingkan di Indonesia jauh lebih pendek tapi soal hasil, silakan lihat hasil studi PISA, ditunjukkan hasil pendidikan Jerman (urutan ke-16) lebih baik dari Indonesia (urutan ke-65). Padahal waktu libur sekolah siswa di Jerman sangat banyak, dalam setahun yang terdiri dari 52 minggu, siswa  libur 13 minggu-an. Di sini ditunjukkan bahwa banyaknya materi dan kuantitas jam belajar tidak selalu artinya baik.


  • Kualitas guru SDN perlu perbaikan, apalagi anak-anak sekarang sangat dekat dengan komputer dan teknologi informasi bila guru SD tidak mampu mengimbangi maka akan timpang. Saya tidak tahu kualitas guru SD di tempat lain namun tapi ketika anak-anak kami bersekolah di SDN itu, dari kurang lebih 20 guru yang ada hanya 2 atau 3 guru saja yang bisa mengoperasikan program Excel dan familiar dengan komputer, sehingga kami dulu orangtua karena prihatin dan melihat kebutuhan para guru ketika itu mengadakan training dalam bidang EDV untuk membantu para guru memudahkan tugas mereka di sekolah. Walaupun tentu saja itu bukan tugas orangtua memberikan training tambahan untuk guru di sekolah anak-anaknya.

Untuk itu, saya cukup khawatir dengan nasib sekolah yang kembali ke kurikulum KTSP 2006. Bila memang kualitas guru tidak sesuai dengan pengaplikasian kurikulum 2013 ini, maka saya berharap bukan kembali ke kurikulum 2006 untuk seterusnya tapi hanya sementara, sampai ada kurikulum pengganti, apakah itu perbaikan kurikulum 2006 atau perbaikan kurikulum 2013. Terpenting adalah sebuah kurikulum yang bisa membawa perbaikan untuk bangsa dan tentu saja hasil studi PISA Indonesia yang akan datang tidak lagi paling bawah. Semoga. (ACJP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun