Mohon tunggu...
Kritikus ulung
Kritikus ulung Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bupati Serang dengan Larangan Warteg dan Ahok dengan Larangan Jilbab

13 Juni 2016   16:19 Diperbarui: 13 Juni 2016   16:24 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dalam sepekan ini, Media diramaikan dengan informasi seorang ibu setengah baya pemilik warteg di Serang yang bernama Ibu Saeni. Warteg Ibu Eni tersebut disita oleh Satpol PP, kerena berjualan di siang bolong saat bulan puasa. Razia oleh Pol PP tersebut bukanlah tanpa alasan, para Satpol PP tidak serta merta merazia warteg yang berceceran di Serang begitu saja, akan tetapi landasan hukumnya ada, karena aturan larangan membuka warteg di siang hari saat bulan Ramadhan itu sudah menjadi Perda. Dan aturan tersebut sudah diedarkan ke masyarakat Serang sejak tahun 2010.

Namun, dari kejadian ini, Bu Saeni sontak menjadi selebriti mendadak. Masyarakat banyak yang prihatin terhadapnya, bahkan dahsyatnya, masyarakat beramai-ramai melalui media sosial mengadakan penggalangan dana untuk membantu keprihatinan bu Saeni akibat wartegnya yang dirazia oleh Satpol PP. Kabarnya, Donasi yang sudah terkumpul untuk membantu ibu-ibu yang biasa disapai bu Eni tersebut sudah mencapai ratusan juta Rupiah.

Dari fenomena tersebut, masyarakat berteriak atas nama toleransi. Mereka bersuara dengan lantang menyalahkan Satpol PP yang semena-mena melakukan razia terhadap warteg bu Saeni. Mereka membusungkan dada dengan berdalih “orang yang berpuasa, harus menghormati orang yang tidak berpuasa”. Inikah makna Toleransi yang mereka maksud? Termasuk oleh mereka yang meluangkan sebagian uangnya untuk berdonasi kepada bu Saeni?

Sekarang coba kita sejenak mengingat kejadian yang juga ramai dibincangkan media sebelum tragedi bu Saeni. Tak lama sebelum tragedi bu Saeni, publik juga sempat diramaikan dengan berita larangan Ahok menggunakan Jilbab kepada siswi sekolah Negeri di Jakarta. Tak hanya melarang jilbab bagi siswi sekolah Negeri di Jakarta, Ahok juga melecehkan pakaian muslimah dengan menyamakan Jilbab dengan Serbet.

Namun, apa yang terjadi setelah publik khususnya umat muslim setelah mendengar larangan Ahok ini?. Umat muslim hanya diam, suara atas nama Toleransi bungkam tak diteriakkan. Mereka bungkam tanpa aksara dan kata-kata.

Merupakan hal yang sangat wajar jika orang tua menyuruh anaknya untuk memakai jilbab ke sekolahnya. Hal itu dilakukan tidak lain adalah usaha orang tua untuk mendidik dan melindungi anaknya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Karena Jilbab merupakan pakaian untuk menutup aurat dari seorang perempuan muslimah.

Perintah memakai jilbab bagi umat muslimah tidak diatur dalam Undang-undang atau Perda seperti larangan buka warteg saat bulan Ramadhan seperti aturan yang dikeluarkan oleh  Bupati Serang tadi. Tapi, aturan memakai Jilbab bagi seorang muslimah langsung tertuang dan termaktub dalam Kitab suci umat Islam langsung yaitu al-Qur’an.

Dari penjelasan di atas, Saya pribadi jadi heran dengan pola fikir umat muslim saat ini. Mereka lebih prihatin kepada bu Saeni yang merupakan korban dikriminasi Perda Banten. Tapi mereka tidak peduli sama sekali dengan Ahok yang sudah menentang  ajaran al-Qur’an sendiri. Bukan, umat muslim diam bukan hanya ketika melihat Ahok melanggar ajaran dalam al-Qur’an, Tapi mereka juga diam ketika Ahok melecehkan Jilbab dengan menyamakannya dengan Serbet.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun