Mohon tunggu...
Kristupa Saragih
Kristupa Saragih Mohon Tunggu... -

Mulai menulis sejak 1991 dan mulai memotret sejak 1992. Menimba ilmu di SMA Kolese De Britto Yogyakarta dan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. Mantan koresponden Majalah Hai, tahun 1992-2000. Mengabdikan ilmu dengan bekerja sebagai field engineer Schlumberger, sebuah perusahaan multinasional di bidang jasa perminyakan, dan ditempatkan di Vietnam dan Mesir. Sekarang berprofesi sebagai fotografer profesional. Mendirikan dan menjalankan situs komunitas fotografi Fotografer.net, yang terbesar di Asia Tenggara.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

HUT Dewi Kwan Im di Kelenteng Dewi Kwan Im 10 Ulu Palembang

5 Mei 2010   00:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:24 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_133408" align="aligncenter" width="500" caption="Devoted - Photo by: Kristupa Saragih"][/caption] Matahari beringsut ke cakrawala, langit biru tua. Sepelemparan batu dari Jembatan Ampera, yang kondang itu, lampion-lampion merah dinyalakan. Halaman Kelenteng Dewi Kwan Im, 10 Ulu, Palembang padat pengunjung. [caption id="attachment_133406" align="alignright" width="190" caption="Vertical Message - Photo by: Kristupa Saragih"][/caption] Bersama beberapa rekan fotografer Palembang, saya menyaksikan umat tiga agama, Tri Dharma: Buddha, Tao dan Kong Hu Cu beribadah, Sabtu (3/4). Kelenteng yang dinamai Chandra Nadi ini sebenarnya bernama asli, dalam bahasa Mandarin, Soei Goeat Kiong. Dan umat Tri Dharma hari itu merayakan hari ulang tahun (HUT) Dewi Kwan Im. Kelenteng berusia lebih dari 200 tahun ini saksi sejarah Palembang. Berdiri tahun 1733, di tepi Sungai Musi, banyak peristiwa rasialis yang pernah menerpa. Tahun 1966, sebagian lahan kelenteng direbut paksa penduduk dan sekarang jadi Pasar 10 Ulu. Tahun 1998, tempat ibadah ini pernah hampir dibakar massa. Entah kenapa agama dikaitkan dengan ras, dan ras tertentu selalu digeneralisasi dengan agama tertentu. Padahal masyarakat kita tergolong majemuk. Persis di sebelah kelenteng ini berdiri mesjid. Tempat parkir kelenteng luas dan gratis dijaga penduduk yang bukan beragama Tri Dharma. Setelah matahari bersembunyi di ufuk barat, musik mulai mengalun, menghibur umat yang usai sembahyang. Trompet dan simbal ala tanjidor bersahut-sahutan. Tak terbayangkan jika musik yang mengalun hanya terompet saja atau simbal melulu, alangkah monotonnya. Justru di kemajemukan kita menemukan peran masing-masing. Silih berganti kita bertugas dan bersama-sama memainkan lantunan musik yang harmonis nan sedap didengar. [caption id="attachment_133410" align="aligncenter" width="500" caption="Dynamic Devotion - Photo by: Kristupa Saragih"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun