Mohon tunggu...
Kristupa Saragih
Kristupa Saragih Mohon Tunggu... -

Mulai menulis sejak 1991 dan mulai memotret sejak 1992. Menimba ilmu di SMA Kolese De Britto Yogyakarta dan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. Mantan koresponden Majalah Hai, tahun 1992-2000. Mengabdikan ilmu dengan bekerja sebagai field engineer Schlumberger, sebuah perusahaan multinasional di bidang jasa perminyakan, dan ditempatkan di Vietnam dan Mesir. Sekarang berprofesi sebagai fotografer profesional. Mendirikan dan menjalankan situs komunitas fotografi Fotografer.net, yang terbesar di Asia Tenggara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Longsor di Silalahi Pertanda Kerusakan Lingkungan Danau Toba

21 Desember 2009   12:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 8518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu matahari terbit di sela-sela berkas awan tebal sisa hujan semalam, di sisi utara Danau Toba, Sumatra Utara. Tak berapa lama, langit di hari Minggu, 20 Desember 2009 membuka cerah dengan warna biru nan indahnya. Sungguh menggelorakan semangat untuk memotret bersama rekan-rekan penyuka fotografi dari Medan. Kami sudah menginap di Tongging malam itu. Sengaja, agar pagi hari tak terlalu jauh mengejar matahari terbit di Silalahi, Kec Silahisabungan, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Hal yang istimewa di Silalahi untuk difoto adalah garis tepi danau yang meliuk-liuk indah, dua pulau nan fotogenik dan kehidupan masyarakat yang khas Batak. Usai memperoleh gambar-gambar indah dalam perjalanan dari Tongging ke Silalahi, kami menjumpai pemandangan yang mengenaskan. Persis di sebelah makam Raja Silalahi, hanya berjarak sekitar 50 meter saja, di sebuah alur sungai yang bermuara ke Danau Toba terserak berbagai material reruntuhan. Batu-batu besar berdiameter hingga 2 meter, batang-batang pohon berdiameter hingga 50 cm yang tercerabut dari akarnya dan reruntuhan-reruntuhan lain dalam berbagai jenis, bentuk dan ukuran. [caption id="attachment_41172" align="aligncenter" width="500" caption="Reruntuhan batu, batang kayu berukuran besar menjadi bukti kedahsyatan kerusakan lingkungan di sekitar Danau Toba. Foto oleh: Kristupa Saragih"][/caption] Seorang rekan dari Medan lantas mengingatkan perihal berita di koran yang belum lama berselang perihal bencana banjir di Silalahi. Saya spontan mendokumentasikan kerusakan alam itu. Sungguh tragis, mengabadikan kerusakan alam dengan latar belakang alam yang masih murni dan dipayungi langit biru nan indah dan cerah. Henri Silalahi, penduduk lokal yang kebetulan sedang berada di lokasi kami mintai konfirmasi. Penduduk asli Desa Silalahi ini menuturkan musibah yang terjadi 22 November 2009 itu. "Belum lama, besok baru genap sebulan," kata Henri membuka pembicaraan. [caption id="attachment_41167" align="aligncenter" width="500" caption="Henri Silalahi menunjukkan lokasi banjir dan longsor di Desa Silalahi, 22 November 2009. Foto oleh: Kristupa Saragih"][/caption] Lelaki berkulit gelap ini bertutur, hujan hari itu dimulai sejak siang. "Baru sore sekitar jam 5 banjir besar itu terjadi," ungkapnya. "Batu-batu besar ini dari atas semua. Dibawa oleh banjir kemari," tutur Henri sembari menunjuk bongkah-bongkah bebatuan berdiameter hingga 2 meter. "Batang-batang kayu ini juga dari atas sana. Sudah menyumbat sungai ini sejak lama, sedikit demi sedikit," imbuhnya. [caption id="attachment_41173" align="aligncenter" width="500" caption="Banjir 22 November 2009 merusak jembatan, rumah tinggal, kebun bawang dan menelan 2 korban jiwa di Desa Silalahi, Silahisabungan, Dairi, Sumatra Utara. Foto oleh: Kristupa Saragih"][/caption] Banjir petang hari itu merusak jembatan di dekat makam Raja Silalahi, yang menghubungkan Tongging dan Silalahi, dan Kabupaten Karo dan Dairi. Selain merusak jembatan, banjir juga merusak ludes kebun bawang milik Henri. Tak hanya itu, banjir juga menelan 2 korban jiwa, Rosmauli Silalahi (45 tahun) dan anak laki-lakinya berusia 14 tahun. Kebetulan Rosmauli masih berkerabat dekat dengan Henri dan bermarga sama-sama Silalahi. Dua kerabat Henri itu sedang berada di rumah kontrakan di tepi sungai yang tengah dilanda banjir. "Untung banjir terjadi sore hari. Kalau malam hari terjadi ketika semua orang sudah tidur, pasti lebih banyak korban," papar Henri dengan tegar. Pembicaraan kami tutup karena sudah cukup dapat banyak foto dan banyak keterangan. Saya dan rekan-rekan fotografer Medan melanjutkan perjalanan d bawah langit biru dan terik matahari pagi di hari Minggu nan ceran dan indah. Saya lantas teringat sejumlah rekan yang pernah beberapa kali mengumandakan gerakan "Save Toba Lake". Baru kali ini saya tersentuh dan berharap foto-foto yang saya pasang di sini bisa mengetuk pintu hati berbagai pihak. [caption id="attachment_41175" align="aligncenter" width="500" caption="Kerusakan lingkungan parah di sekitar Danau Toba, banjir dan longsor pada 22 November 2009, Desa Silalahi, Silahisabungan, Dairi, Sumatra Utara. Foto oleh: Kristupa Saragih"][/caption] Apakah musti menunggu ada anggota keluarga otoritas setempat yang tewas karena kerusakan alam Danau Toba? Ataukah musti menunggu pula ada anggota keluarga pemilik industri perusak lingkungan Danau Toba yang mati dan jadi korban kebiadaban keluarga mereka sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun