Sekolah Minggu Paroki St. Bernardus Naekake resmi dibuka. Kala itu aku juga salah satu saksi umat yang menyaksikan pengumuman dari Pastor Paroki RD Gabriel Bouk, atas ide dan inisiatif dari seorang abdi negara kemungkinan bertugas sebagai penjaga batas di wilayah kami yang juga menganut agama Katolik, Wilianto Yoni namanya. Seorang laki-laki berbadan kekar, berkulit putih, berkaca mata dan memiliki senyuman yang selalu dirindukan anak-anak desa ketika mengingat sosok kebapakannya.
Minggu, 25 Oktober 2021 adalah hari di manaHal yang sering dilakukan oleh pria berkaca mata ini adalah berbicara dengan suara yang lembut. Hal yang tidak pernah kami lupakan adalah pengertian dan perhatian layaknya seorang bapak yang selalu mengerti dengan perasaan dan kebutuhan dari  anak-anaknya. "Bila suatu saat nanti ketika tugasku sudah selesai dan aku harus meninggalkan tempat serta tanggung jawab ini, saya harap kalian semua yang telah bersedia untuk melayani dan memberi apa yang seharusnya diberikan kepada anak-anak, lakukan. Yang terpenting jangan menyerah, bila ada kesulitan jangan segan-segan bertanya pada orang yang dianggap cukup mempunyai pengalaman soal ini. Percayalah bahwa yang kita lakukan saat ini adalah rencana dan kehendak Tuhan sendiri". Begitulah ungkapan serta pesan dari pria berkaca mata pada suatu ketika, yang sudah tahu bahwa masa tugasnya sebentar lagi berakhir, maka inilah pesan yang disampaikan.Â
Pria berkaca mata ini juga yang telah memberi banyak perubahan di kala ia diangkat menjadi Ketua Pembina Sekolah Minggu. Perhatiannya kepada rekan-rekan kerja termasuk aku sendiri yang telah mengabdikan diri sebulan sesudah sekolah minggu dibuka. Hal pertama yang saya dapatkan dari pria berkaca mata ini adalah cara mengajar dan mendekati anak-anak yang rewel dan nakal dengan mudah.
Sekolah Minggu ini pertama dibuka dengan berbagai macam kesulitan yang dihadapi oleh para pembina, mulai dari dana, sarana dan prasarana lainnya yang menjadi kebutuhan bagi anak-anak desa yang selalu bersedia untuk diajar dan dididik. Pada awal mula berdirinya sekolah ini banyak hal yang kami lakukan di luar sepengetahuan Pastor Paroki, yang dengan jelas bahwa kami masih banyak membutuhkan bantuan dan juga ide-ide dari orang-orang  yang sudah berpengalaman.
Namun, tidak menjadi soal bagi kami para pembina yang sudah siap menghadapi apa yang akan terjadi. Waktu terus berjalan dan kini berakhirnya masa jabatan untuk para tamu yang datang mengabdi di daerah perbatasan sambil melayani dan membagikan pengalaman dan juga pelajaran kepada masyarakat sekitar.
Sekolah Minggu berjalan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan bersama para Tim yang diketuai oleh pria berkacamata berpakaian loreng. Terkadang beliau muncul berpakaian loreng dan memberi kesan menakutkan bagi anak-anak desa, namun ketika didekati, rasanya tak mau untuk mengindar darinya. Ku akui bahwa pria asing berkacamata mata ini melayani dengan tulus, mengikuti jejak dan ajaran Yesus Kristus sendiri yang tanpa membeda-bedakan siapa orang-orang yang dijumpainya.
Ada hal-hal baru yang ditanamkan kepada anak-anak desa penerus bangsa untuk 50 tahun mendatang. Awal sebuah pelayanan dengan bermodalkan uang Rp 500.000 yang didapatkan di kala sekolah minggu berlangsung atas pemberian dari seorang anak perempuan mungil dan cantik. Lucunya Rp 1.500 digunakan untuk jajan dan sisanya untuk Tuhan. Namun, tidak menjadi soal bila semuanya itu harus terjadi, sebab sekolah ini berdiri kokoh di atas sumbangan dan harapan yang berawal dari sumbangan uang ini. Masyarakat sekitar melihat perjuangan dari para pembina yang selalu berkorban dengan cara mereka sendiri, tanpa upah serta bayaran apapun. Semua yang diberikan adalah sukarela dan juga gratis untuk anak-anak yang mau belajar.
Kekuatan yang mereka miliki dan semangat yang tidak pernah pudar adalah ketika merasa lelah, cape dan hampir putus asa, yang menjadi sumber kekuatan dan mendorong mereka untuk terus maju adalah wajah-wajah mungil dari anak-anak yang selalu menginginkan sesuatu yang berguna untuk mereka.
Kini saatnya, sang pendiri dan pemberi insiatif harus meninggalkan apa yang sudah ia tanamkan karena atas dasar masa tugasnya sudah selesai. Anak-anak menangis meratapi kepergiaanya demi tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan. Air mata menetes membasahi tanah wilayah ini sebagai siraman bagi benih yang sudah ditaburi dengan maksud agar benih-benih itu kemudian mengasilkan buah yang baik dan bermanfaat bagi orang lain terutama dirinya sendiri.
Satu hal yang menjadi catatan sekaligus tugas bagi pembina adalah berusaha untuk bisa dan mampu membekali anak-anak dengan berbagai macam hal agar kelak apa yang diharapkan bersama bisa terwujud. Itulah pesan dari beliau sang pendiri dan perintis. Waktu terus berjalan, sekolah ini, kini menjadi salah satu panutan bagi masyarakat Naekake. Berdiri kokoh dibawa sang pelindung St. Bernardus. Kelima pejuang saat itu adalah Wilianto Yoni, Trivonia Roswita Lake, Meliana Konanin, Simson Kehi, dan Desiderima Marsela Ceunfin.
Sosok-sosok inilah yang telah memperjuangkan Sekolah Minggu berdiri kokoh sampai saat ini. Inilah jawaban Tuhan atas usaha dan harapan bagi para pembina terkhususnya masyarakat Naekake seluruhnya. Â (DC)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H