rekreasi bersama ke Benteng Lapis Tujuh di kawasan padang hijau Fulan Fehan dekat Gunung Lakaan-Kabupaten Belu.Â
Panitia wisuda yang terdiri dari dosen, tenaga pendidik dan mahasiswa STP  Santo Petrus Keuskupan Atambua mengadakanRekreasi bersama ini melibatkan beberapa anggota keluarga dari wilayah ini agar dapat menjadi guide bagi para mahasiswa. Peristiwa ini berlangsung pada hari Sabtu (29/01/2022).
travel dan 1 Pic up untuk mengangkut anggota panitia. Sebelum berangkat seluruh anggota panitia mendapat arahan dari Ketua STP, Dr Theodorus Asa Siri, Pr di depan pelataran kampus. Kepada seluruh anggota panitia yang hendak mengadakan rekreasi bersama, beliau mengatakan, "Selamat menikmati pemandangan di puncak Fulan Fehan".
Lembaga menyiapkan empat busPanitia dari pihak mahasiswa berjumlah berjumlah 123 orang yang terdiri dari mahasiswa Semester ll, lV dan VI. Jumlah ini belum termasuk dosen dan tenaga pendidik.Â
wisata ini.Â
Rombongan menikmati perjalanan dengan sangat gembira hingga pada tempat tujuan. Pemandangan alam yang indah didukung dengan hamparan padang hijau yang luas membentang semakin memanjakan mata setiap penikmat termasuk rombonganSelain berpose dengan beragam gaya, peserta diajak rombongan diajak juga untuk belajar tentang sejarah dari wilayah indah ini termasuk Benteng Lapis Tujuh oleh Ketua STP Dr Theodorus Asa Siri, S.Ag yang merupakan putra asli dari wilayah ini.Â
benteng, dilakukan doa permohonan atau ijin kepada para leluhur oleh salah satu anggota keluarga sekaligus menjadi guide yakni Agus Koli Mali, yang merupakan tokoh adat dari wilayah ini.Â
Rombongan diajak menuju Benteng Lapis Tujuh. Sebelum memasuki areaSetelah itu, beliau menceritakan sejarah benteng tersebut dengan menggunakan bahasa Marae (Bahasa asli wilayah ini) yang diterjemahkan oleh Dr Theodorus Asa Siri, S.Ag kepada rombongan.
 Dikisahkan, sebelum  Belanda dan Portugis datang ke Indonesia, benteng ini sudah dibangun lebih dahulu oleh dua orang kakak-beradik yang bernama Bei Koi dan Bei Mali.Â
Benteng ini merupakan warisan dari Kerajaan Dirun. Mereka mengambil orang dari tempat lain untuk jadi raja pertama di tempat ini. Ini adalah kampung pertama di mana saat peperangan mereka berlindung di sini untuk bertahan sekaligus siap menyerang musuh yang datang dari Timur.Â
Karena tempat ini dianggap memiliki kekuatan magis dan angker dan berada di tempat tinggi dan strategis maka didirikan Benteng Lapis Tujuh untuk memandang ke arah Timur memandang bangsa Portugis yang saat itu menguasai wilayah Timor Leste dan ke arah Barat untuk memantau bangsa Belanda yang sedang menjajah  wilayah Timor Barat yang termasuk wilayah Indonesia. Pada tahun 1700-an, saat Belanda tiba, benteng ini sudah dibangun. Ini hanya sebagai warisan. Di dalamnya ada meriam, peninggalan Belanda dan Portugis.
Di dalam benteng ini terdapat sebuah lingkaran yang disusun rapi dengan batu plat. Di tengahnya terletak sebuah batu. Batu ini sejak pertempuran biasanya digunakan sebagai tempat untuk mengubur kepala manusia.Â
Saat menang dalam peperangan, kepala manusia akan diarak dan dibawa ke sini kemudian dirayakan dengan mengadakan pesta keliling batu ini. Katanya, ratusan orang dapat masuk ke tempat ini saat merayakan pesta pada saat itu.Â
Selain itu, sda juga kuburan-kuburan yang di tempatkan di sini berdasarkan status sosial dalam hidup bermasyarakat kala itu. Ada kuburan tertentu yang tidak boleh dibelakangi karena ini adalah kuburan sang raja.Â
Letak kuburan raja berada di tempat paling tinggi dan  kuburan permaisuri terletak di belakang makam raja. Semua tata letak ini mencerminkan struktur sosial masyarakat Dirun.Â
Setiap batu yang ada, dimiliki oleh sukunya masing-masing di dalam lingkaran ini. Benteng Tujuh Lapis ini disebut juga dengan nama Benteng Makes. Tempat ini dianggap keramat dan memiliki sekian banyak pantangan yang harus ditaati oleh setiap pengunjung termasuk para rombongan wisata ini. Ketika masuk ke tempat ini, tidak boleh merusak tumbuhan.Â
Di tempat ini terdapat juga sebuah lingkaran yang terbuat dari batu sebagai sadang atau mot di mana semua orang berkumpul bisa berkumpul di dalamnya pada zaman itu. Ada juga tiga batu yang dilambangkan sebagai tiga nenek moyang. Merekalah yang berhak mengambil keputusan dan memberi informasi kepada raja termasuk saat memenggal kepala manusia.Â
Rombongan wisata sangat bahagia setelah meninggalkan Benteng Lapis Tujuh ini. Rombongan akhirnya menikmati suguhan indah padang sabana ini, kemudian makan bersama pada siang harinya. Menjelang sore, ketika hujan rintik disertai angin kencang dan selimut kabut, rombongan akhirnya perlahan-lahan meninggalkan tempat penuh pesona ini menuju kampus. (LN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H