Pada tahun 2009, Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah diatur alokasi sebesar 50 persen dari hasil Pajak Rokok unutk mendanai fasilitas pelayanan kesehatan dan penegakan umum. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok oleh pemerintah. Latar belakang diberlakukannya diadakannya pajak rokok ini salah satunya adalah untuk pengendalian dampak negatif rokok. Pemanfaatan pajak dari rokok dan bea cukai untuk penambahan pembiayaan kesehatan adalah sebuah kebijakan yang cukup banyak mengundang kontroversi dari berbagai pihak. Ada pihak yang menyebutkan bahwa ini adalah keputusan yang baik karena bisa mennutup defisit dari kebijakan BPJS, namun ada juga orang yang menanggap dengan adanya kebijakan ini perokok menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, dan ada juga sebagian yang menyebutkan bahwa sebaiknya alokasi pemanfaatan pajak rokok dan bea cukai ini lebih baik digunakan untuk hal lain.Â
Pajak rokok dan bea cukai ini bersifat pajak ganda, yang berarti baik pajak maupun cukai yang didapatkan dari rokok adalah kewenangan pungutan bagi pemerintah pusat. Dalam Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018, disebutkan bahwa pemerintah daerah turut didorong untuk menyelenggarakan progam jaminan kesehatan, yang dananya juga didapatkan dari pajak rokok dan bea cukai.Â
Kebijakan ini tentu memiliki kontroversinya tersendiri, salah satu contoh dari ketidaksetujuan rakyat adalah dari YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Dikutip dari hukumonline.com "Tulus menambahkan, bila pemerintah tergiring pada pemikiran sesat untuk meningkatkan produksi rokok, ia menilai sama saja pemerintah berharap angka kesakitan masyarakat akibat dampak negatif rokok semakin tinggi. Oleh karena itu, alih-alih meningkatkan produksi rokok, pemerintah justru harus menekan produksi rokok, terutama dari industri skala besar. Pemerintah harus berani melakukan moratorium produksi rokok." Tulus menyatakan bahwa kebijakan pemanfaatan pajak dan bea cukai ini masih sangat "abu-abu", baik bagi pemerintah maupun masyarakat.Â
Dalam hal pemanfaatan pajak rokok dan bea cukai untuk penambahan biaya kesehatan, kebijakan ini bisa menjadi "pedang bermata dua", karena jika dibiarkan beigtu saja, sama saja pemerintah memperbolehkan masyarakat Indonesia untuk merokok, dilansir dari jurnal.bppk.kemekeu, kematian rakyat Indonesia akibat rokok per tahunnya mencapai angka 225.700 jiwa, angka yang tinggi. Jumlah kematian akibat perokok juga tidak hanya sampai disana, perokok aktif juga mengakibatkan orang orang yang disekitarnya menjadi perokok pasif, hal tersebut juga membahayakan bagi kesehatan manusia, bahkan bayi juga bisa menjadi perokok pasif.Â
Penambahan pembiayaan kesehatan melalui pajak rokok dan bea cukai juga menimbulkan suatu pandangan di masyarakat Indonesia, yang mana mereka berpandangan, bahwa dengan merokok, mereka sudah membantu perokonomian Indonesia, membantun pemerintah Indonesia, dan bisa juga kebijakan tersebut dipergunakan untuk promosi atau kampanye rokok. Kebijakan tersebut juga menjadi hal yang bisa membahayakan, apabila jumlah perokok terus menambah, maka jumlah orang yang sakit akibat dampak dari rokok tentu akan terus menambah, maka dari itu hal ini tidak berdampak besar, jika berdampak pun hanya dalam jangka pendek saja.
Pada kesimpulannya, kebijakan pemerintah terkait penambahan dana kesehatan yang diambil dari pajak rokok dan bea cukai sebenranya merupakan sebuah langkah yang kurang efektif karena bisa disalahgunakan untuk mempromosikan rokok dan menjadikan perokok sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Selain itu rokok sendiri seharusnya dikurangi produksinya, bukan justru dipergunakan oleh pemerintah. Akan lebih baik apabila pemerintah bisa menurunkan produksi rokok dan mengubah kebijakan ini.
#Amerta2023 #KsatriaAirlangga #UnairHebat
#AngkatanMudaKsatriaAirlangga #BanggaUNAIR #BaktiKamiAbadiUntukNegeri #Ksatria4_Garuda5 #ResonansiKsatriaAirlangga #ManifestasiSpasial #GuratanTintaMenggerakkanBangsa
Sumber :Â