Demokrasi telah banyak digunakan pada abad ke-5 sebelum masehi di Yunani sebagai sistem politik. Demokrasi bermakna sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Singkatnya adalah setiap keputusan berada pada setiap orang/rakyat. Namun bukan berarti tidak ada pimpinan karena sifatnya bersama-sama, namun tetap ada pimpinan sebagai kepala negara dan simbol kebijakan.
Jika ditilik dari arti demokrasi, setiap orang dalam suatu negara maupun daerah memiliki keputusan mutlak dalam menetapkan setiap kebijakan bahkan nasibnya. Jika suatu rakyat ingin memilih 'ya', maka jadilah 'ya', begitu sebaliknya. Maka dari itu, di Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia memiliki wakil rakyat.Â
Wakil rakyat tersebut masing-masing membawa suara perwakilan dari setiap daerah atau golongan. Sebut saja DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) untuk tingkat kota/kabupaten serta provinsi dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tingkat nasional.
Semenjak Indonesia merdeka, kekuatan massa (people power)Â sangat marak terjadi. Pemimpin awal kemerdekaan adalah bagian dari rakyat sehingga benar-benar mewakili lidah rakyat pada masa itu. Rakyat menentukan nasibnya, pemimpin mengerjakannya. Tetapi tidak luput juga bahwa pemimpin memiliki keputusan sendiri.Â
Tetap saja keputusan pimpinan tak semudah itu, harus dengan persetujuan rakyat. Aksi gugat menggugat sudah biasa sejak dahulu dialami bangsa Indonesia dari aksi unjuk rasa/demonstrasi, pidato, kampanye, pentas seni, hingga aksi teater dan film untuk kritik secara satire.
Demonstrasi di Indonesia kerap dilakukan untuk menyampaikan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan terhadap suatu kebijakan yang dicanangkan pemerintah. Seperti yang lumrah terjadi yakni perihal kenaikan bahan bakar minyak, kenaikan harga sembako, kesejahteraan pekerja, penolakan impor, hentikan aksi terorisme, dan lain sebagainya. Hal ini tentu positif dan berdampak sangat baik jika dilihat dari kebutuhan dan tujuannya.
Di era modern seperti sekarang ini, sering dikatakan era digital 4.0. Era yang mengkhususkan diri lain dari pada era-era yang lain. Menjadi sebuah era yang berdiri sendiri karena perbedaan pola dan kulturnya. Masyarakat serba digital dan digital tidak serta merta mempermudah pekerjaan, namun menjadi sebuah industri yang mampu menjadi sebuah profesi.
Aksi demonstrasi adalah hal wajar, bahkan biasa bagi sebuah negara yang memiliki paham demokrasi. Namun tidak semudah itu jika ingin melakukan aksi demonstrasi tersebut. Selain menggugat karena kebijakan yang dianggap tidak tepat, demonstran (orang yang melakukan aksi demonstrasi) harus memiliki solusi. Tidak serta merta menyalahkan, menghakimi ini dan itu salah tanpa solusi yang tepat, tidak sekadar menyalahkan jawaban tanpa memberikan jawaban yang benar.
Dalam aksi demonstrasi, memang tujuannya menyampaikan aspirasi masyarakat. Menyampaikan aspirasi rakyat tidak mudah, karena di DPR sudah menjadi wakil rakyat. Terus, apa fungsinya? Nah, oleh sebab itu, dalam DPR mau pun DPRD terbagi-bagi atas banyak jenis fraksi, sehingga seringkali dominasinya tidak selalu sesuai ingin rakyat, sarat akan kepentingan 'oknum', tetapi tidak selalu dan tidak semua.
Selain itu, aksi yang ingin didengar harus mencuri perhatian publik dan pemangku kekuasaan. Ya jelas, agar terlihat seberapa penting dan kuatnya tekanan yang dialami pemerintah atau pemangku kekuasaan tersebut. Tidak heran jika aksi demonstrasi dihadiri ribuan bahkan juataan demonstran. Kemudian ada aksi-aksi heroik seperti bernyanyi, yel-yel kreatif, dan aksi teatrikal para demonstran.Â
Yang salah dan dikhawatirkan adalah aksi pengrusakan (vandalism)Â dan kekerasan (anarkisme). Memang di lapangan sering kali yang melakukan aksi 'terlarang' itu mengungkapkan kekesalannya terjadi karena merasa diacuhkan oleh pemangku kekuasaan.Â
Tidak ada urung rembuk, tidak ada sambutan, tidak ada jawaban, bahkan terjadi penolakan begitu saja sehingga terpancing untuk melakukan aksi terlarang tersebut agar lebih dilihat 'keseriusannya' di aksi demonstrasi tersebut.
Agar diketahui, massa yang turun di jalan hanyalah simbol keseriusan dan besarnya atau pentingnya sebuah aksi demonstrasi. Namun di balik itu semua, ada yang tidak tersorot oleh kebanyakan orang, yakni ada sekelompok demonstran yang tidak ikut turun ke jalan. Tetapi mereka bermain di balik layar, yaitu mencoba mengomunikasikan kepada pemangku kekuasaan langsung.Â
Jika itu di DPR, maka yang dituju adalah anggota DPR, humas, wakil, atau ketua DPR. Siapakah yang bertemu? Bukan, bukan demonstran yang berada di jalan, namun kordinator, ketua, atau wakil dari demonstran tersebut.
Tanpa disadari, sebenarnya organisasi dalam demonstrasi ini sangat terstruktur, tidak bisa lepas begitu saja dan jalan masing-masing. Tidak. Maka jika anda sekadar turun ke jalan karena anda bagian dari suatu golongan atau kelompok, itu dirasa mustahil. Karena dapat menimbulkan perpecahan kordinasi, aksi vandalism, dan anarkisme. Sedangkan yang terstruktur sebenarnya sudah membubarkan diri, tersisa orang yang sekadar ikut-ikutan.
Sering kali terjadi aksi demonstrasi terjadi tanpa ada solusi yang tepat, bahkan demonstran memberi solusi yang tidak kredibel sama sekali. Anda juga harus bijak dalam berlaku, karena pemangku kekuasaan tidaklah orang-orang bodoh tanpa adanya riset ilmiah. Contohnya kenaikan harga BBM yang sering terjadi sejak zaman dahulu hingga saat ini.Â
Mengapa harus naik? Apakah pemerintah tidak berpikir rakyat masih banyak yang miskin? Kemudian akan disusul kenaikan sembako hingga meningkatnya biaya hidup lainnya?Â
Tentu pemerintah sudah punya pertimbangan kebijakan serta beberapa alternatifnya. Divisi litbang (peneliti dan pengembangan) bahkan riset ada di setiap elemen pemerintah. Bisa dikatakan hampir jarang litbang dan riset salah karena berpacu pada pengalaman dan data serta fakta.
Kemudian untuk apa demonstrasi? Tidak perlu? Tentu masih diperlukan. Karena setiap saran dan masukan adalah penting untuk bisa dikaji. Karena segala hal yang diriset secara terencana pun belum tentu aktual karena banyak faktor. Indikasi KKN dan kepentingan golongan masih saja ditemui sehingga bersifat manipulatif.
Selain demonstrasi adalah wajar dan normal, tidak bisa juga semudah itu. Maka dari itu kajian, penelitian, serta pengembangan itu wajib disiapkan terlebih dahulu, karena itulah senjata yang benar. Bukan sekadar terima informasi tidak valid kemudian anda menggugat sesuatu yang tidak valid. Hal ini terjadi pada suatu aksi demonstrasi Omnibus Law yang berkembang isu HOAX tentang pembayaran gaji perjam, tidak ada cuti hamil, dan pemangkasan gaji yang condong ke kapitalis.
Pernah juga terjadi aksi demonstrasi oleh lembaga besar perwakilan mahasiswa, yang menggugat Menteri Pendidikan, karena kasus mahasiswa dikeluarkan karena tidak mampu membayar UKT (Uang Kuliha Tunggal). Nyatanya Mendikbud masa itu dengan enteng menjawab "Kamu sudah laporkan kepada disdik (dinas pendidikan) daerah?"Â
Ternyata sekumpulan mahasiswa tersebut menjawab "belum". Sontak Menteri menjawab, "Laporkan ke saya jika yang di bawah saya tidak bertindak sesuai aturan dan keadilan yang semestinya".
Jangan jadi generasi atau bagian dari ASBUN (Asal Bunyi) yang hanya bersuara tanpa solusi. Jangan sampai timbul spekulasi istilah cari muka, cari nama, atau pansos (panjat sosial). Jadilah demonstran yang cerdas dengan semangat dalam diri untuk memajukan bangsa dan negaranya, bukan tong kosong nyaring bunyinya. Hanya sekadar ingin melampiaskan kekesalan, ingin merusak fasilitas negara. Tidak bisa seperti itu.
Jangan mau diadu domba karena intelektual yang rendah, dibayar, dan dijanjimaniskan. Belajar dari kejadian terdahulu yang merusak suatu rezim karena ketidakadilan dan kotornya para pemangku kekuasaan dan segelintir golongan.
 Lawan segala ketidakadilan yang benar-benar tidak adil, berdirilah di atas kebenaran. Abaikan segala hasutan, kuasai segala hal yang ingin kau kerjakan, dan diamlah ketika anda ragu atau tidak yakin, itu lebih baik dari pada akhirnya melakukan hal yang sia-sia.
Mari bersama-sama mencintai dan memperjuangkan bangsa ini dengan cara yang benar. Jangan sia-siakan waktu dan perjuanganmu hanya karena kebodohan dan kesalahan yang memalukan. Setiap aksi demonstrasi, ada ratusan juta rakyat Indonesia yang berada di belakang anda, ada ratusan juta doa berada di pundak anda.Â
Jangan sampai anda merusak nama jutaan rakyat Indonesia karena kepalsuan dan pesanan suatu golongan, pengalihan isu, salah sangka, miss communication, bayaran, atau malah tidak bisa beri solusi sama sekali.
Berkacalah dari negeri lain yang berlomba-lomba memajukan bangsanya dengan berbagai cara. Mulai dari berlomba gagasan, teknologi, ilmu pengetahuan, budaya, dan terobosan-terobosan lainnya. Sudah waktunya kita bangkit dan tunjukkan pada dunia bahwa kita tidak sekadar kaya sumber daya alam, namun kaya akan sumber daya manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H