Duduk di bangku SMP sudah menjadi titik awal menjadi remaja, usia yang sudah menginjak 12-13 tahun sudah bukan lagi dikatakan anak kecil. Tetapi sikap memang harus terus berkembang, karena semakin dewasa maka mental harus semakin tahan banting terhadap tantangan dan masalah.
Menjadi minoritas pun menjadi bahan perundungan. Ejekan kafir, Batak makan babi, orang Kristen ga boleh masuk rumah gue, hingga yang namanya tidak memiliki teman selain senasib juga saya alami. Jadi jangan heran di beberapa tempat, komunitas, atau perkumpulan minoritas seolah eksklusif memisahkan diri dan bergabung dengan kaumnya.
Ketika SMP juga saya alami namanya difitnah oleh teman dan senior. Saya dituduh mengejek teman lainnya hingga mendapat tamparan dari orang yang merasa saya ejek. Kemudian saya juga difitnah mengambil gambar ciuman bibir teman sekelas saya dengan kakak kelas yang padahal saya tidak melakukannya.
Ada juga satu kasus yang hampir satu genk alias komplotan ingin menghajar saya karena saya diduga mengadu kepada guru piket bahwa genk tersebut merokok di loteng sekolahan, memanjat tembok sekolah, bahkan pacaran dan sembunyi di ruang kelas yang kosong ketika solat Jumat.Â
Saya pun dikerubungi satu genk dan hampir dihajar ramai-ramai, namun saya selamat karena bel sudah berbunyi. Akibat hal tersebut saya pulang sekolah berusaha paling akhir dan melalui jalan lain agar tidak bertemu komplotan tersebut.
Tiba di suatu bulan Ramadan yang merupakan bulan suci dan umat Islam berpuasa. Namun namanya anak-anak, ada saja segelintir orang yang 'batal puasa' alias tidak berpuasa. Saya yang memang merasa individualis merasa cuek dengan sekitar karena merasa orang tidak ada yang peduli dengan saya.Â
Saya makan bekal di kantin, tetapi sikap saya tersebut membuat naik pitam orang lain. Saya yang sedang makan dihampiri 2 orang yang bilang "lo diajak ribut sama si AA". Karena kesal diganggu sedang makan, saya jawab "bodo amat". Ternyata hal tersebut membuat mereka tertawa dan berlari menuju orang yang katanya mengajak saya baku hantam.
Singkat cerita pulang sekolah saya dikerubungi 4 orang dan diiring menuju tempat tongkrongan mereka di dekat sekolah. Di sana saya dipertemukan dengan orang yang katanya mengajak saya berkelahi. Ternyata tidak ada yang mengajak, kami diadu bak pertunjukan gulat. Ketika baku hantam, kami dibubarkan salah satu orang tua murid yang sedang menjemput anaknya dengan cara ditarik dan ditampar satu per satu, saya yang terlanjur emosi, malu, dan dendam merasa ingin tuntaskan perkelahian sampai mati. Saya pun mencarinya hingga saya membuatnya bonyok dan malu.
Menang? Hah! Itu bukan sebuah kebanggaan bagi saya, nyatanya tidak sampai di situ saja perundungan terjadi. Ketika menjadi jagoan pun saya dipuja-puja dengan tantangan baru. Saya diajak tawuran dengan sekolah tetangga. Saya pun merasa tersanjung mau saja.
Singkat cerita pulang sekolah saya diajak ke jalanan, ternyata sudah berkumpul dari sekolah lawan. Saya bersama 2 orang teman saya berada di paling depan  menjadi umpan. Aksi kejar-kejaran terjadi hingga akhirnya saya memilih ikutan lari ke sebuah warung. Saya disuruh menjemput jagoan dari sekolah lain, puji syukur saya selamat dari aksi tawuran tersebut karena ternyata ketika saya sedang menjemput, jagoan sekolah saya terkena gerigi tepat di kepalanya dan akhirnya koma dilarikan ke rumah sakit.
Keesokan harinya kami bertiga (saya bersama 2 teman saya) dipanggil guru BK untuk dimintai keterangan dan bertanggung jawab. Kami pun diantar ke sekolah lawan dan diminta menandatangani surat damai serta wajib menjamin tidak terjadi lagi keributan, tentu dengan ancama kami akan dikeluarkan jika kembali terjadi.