3. Dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.
Banyak hal yang dikaitkan dengan kata "membunuh" dalam konotasi, bukan membunuh secara perlakuan fisik/langsung, melainkan tidak langsung. Contohnya adalah membunuh karir dan membunuh politik. Dalam contoh tersebut terungkap bahwa membunuh bukan saja sekadar menghilangkan nyawa secara roh, tetapi menghilangkan nyawa dalam hal tertentu (contoh: karir dan politik).
Rasanya tidak aneh jika intelektual 'membunuh', karena intelektual sering kali bergesekan untuk mempertahankan hasil analisisnya terhadap musuh intelektualnya. Tentu mereka akan saling 'membunuh', tidak diketahui siapa 'pembunuh' dan 'terbunuh' sebelum terjadi 'pembunuhan'. Tetapi itu hal yang lumrah dalam sebuah persaingan, jangankan intelektual, seorang atlet juga akan saling 'membunuh' untuk menjadi pemenang.
Intelektual pembunuh yang saya maksud adalah "fair", jika sang intelektual menyerang dalam merebut kemenangan. Tetapi bagaimana jadinua jika seorang intelek salah menempatkan ilmunya? Ia menyerang kaum atlet, menyerang calon intelek, atau mungkin menyerang kaum agamis. Tentu menjadi hal yang tidak sepantasnya dan tidak benar, tidak pada tempatnya. Masing-masing kaum akan mempertahankan pandangannya, begitu pun intelek.
Tetapi, bagaimana jika sang intelek 'membunuh' atlet dalam ranahnya? Apakah ia menang? Apakah atlet kalah? Ya, tentu saja, ini adalah kemahirannya. Tetapi, apakah atlet diam saja? Sayang sekali tidak cenderung ya, bukan ranahnya dan ia akan mati.
Lalu, apa yang terjadi di masa-masa kini? Adakah kasus-kasus tersebut terungkap dan terjadi? Ya, tentu saja ada dan banyak jumlahnya. Tetapi bukan intelek yang menjadi pelaku, namun ia adalah salah satunya. Di negeri ini Politikuslah yang demikian kontras saling 'membunuh' lawannya, sedangkan intelektual cukup ditakuti politikus.
Ini bukan sebuah tulisan untuk membunuh intelektual, tetapi memberikan sebuah contoh yang dialami kaum rendah yang diinjak salah satu sosok Yang Mulia Intelektual. Beliau demikian sadis mengejar ilmu dan sedang mengisi volume otaknya, tidak ingin beliau memberikan sedikit saja ruang kosong dalam otaknya. Beliau sebagai intelektual terus mengasah pisau, kemudian digunakan untuk membentuk segala macam yang tidak indah, bahkan tidak benar.
Sayangnya, Yang Mulia Intelektual kini sudah memiliki pisau yang sangat tajam namun ukurannya kecil, beliau membentuk kayu, membentuk styrofoam, membentuk makanan, dan segala macamnya. Sayang, pisau itu juga melukai tangan-tangan penggunanya. Tangan-tangan yang terluka mengalir darah, tetapi tak mati.
Suatu ketika pisau itu ditinggalkan pemiliknya pergi, seseorang melihat tajamnya pisau itu. Nyatanya pisau itu adalah pisau Komando tentara perang yang sangat tajam, kecil, dan digunakan apa saja. Orang itu rupanya rakyat yang dibelanya, pemilik lupa membawanya karena musuh menyerang cepat, sigap namun ceroboh. Rakyat yang terbelenggu atas negeri yang porak-poranda serta di ambang kekalahan kini berputus asa. Pisau yang baik itu digoreskan pada nadinya. Digoreskan dengan sangat dalam dan sangat cepat, dengan tujuan tidak terasa begitu sakit. Ah, ia terkulai lemas dan mati lenyap dalam hitungan menit.
Pemilik datang dan dapati salah seorang rakyatny mati karena pisaunya. Ia terharu, tetapi ia tidak kenal. Apa yang ia lihat? Entah pisaunya, entah orangnya. Apa yang lebih berharga baginya? Entah pisaunya, entah orangnya. Kita lihat saja, anda boleh jawab sendiri sesuai pikiran atau fantasi anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H