Mohon tunggu...
Jojo Simatupang
Jojo Simatupang Mohon Tunggu... Guru - Sarjana Pendidikan | Guru | Penulis

Menjadi manfaat bagi banyak orang dan menjadi lebih baik setiap harinya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Full Day School: Kebijakan yang Bijaksana, Bukan Bijaksini

10 Agustus 2016   20:18 Diperbarui: 10 Agustus 2016   20:31 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Muhadjir Effendi menjadi pembicaraan hangat. Menteri yang baru saja dilantik dalam Kabinet Gotong Royong sejak 27 Juli 2016, di Istana Merdeka menuai kontroversi publik. Kebijakannya untuk menerapkan full day school, dinilai menyiksa anak-anak dan memenjarakan kebebasan anak.

Sedangkan menurut ilmu psikologi, seorang anak dalam usia SD hingga SMP (7-16 tahun) masih memiliki jiwa untuk bermain. Kebijakan ini dinilai tidak berkeprikemanusiaan.

Kebijakan ini mencuat lantaran Menteri Muhadjir baru saja dilantik 2 Minggu yang lalu. Sebelumnya, mantan Menteri Anies Baswedan baru saja menerapkan kebijakan untuk mengganti kurikulum. Kurikulum 2013 atau K-13 yang lalu telah diubah menjadi Kurikulum 2013 revisi atau K-13 revisi.

Perubahannya belum begitu terasa, karena baru saja diterapkan pada tahun ajaran baru di tahun ini (2016), baru kelas 1 di setiap tingkat pendidikan yang merasakan K-13 revisi tersebut. Untuk tingkat diatasnya (selain kelas 1 tiap tingkat), masih menggunakan K-13 lama atau masih ada yang menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) atau biasa disebut Kurikulum 2006.

Muhadjir menilai, bahwa kebijakannya selaras dengan kondisi sosial remaja saat ini. Kedua orang tua mereka sibuk bekerja, sehingga anak berpotensi meluangkan waktu untuk hal tidak benar.

Jauh dari kontrol orang tua menjadi alasan agar anak-anak tidak terjerumus pada hal yang tidak diinginkan. Tidak lama terdengar, seorang anak SMP dan SD merokok dan nongkrong-nongkrong sepulang sekolah. Belum lagi kasus video porno yang melibatkan anak-anak. Hal-hal tersebut hanya segelintir saja, namun menjadi alasan agar anak tidak lepas kontrol orang tua.

Baru satu hari mencuat berita tersebut, Menteri Muhadjir dibanjiri komentar dan cacian pedas. Komentar dan cacian tersebut jelas terlihat dari netizen yang terdiri dari orang tua, serta orang dewasa yang pernah mengalami pendidikan di masa lampau.

Pendidikan masa lampau terkenal keras dan disiplin tinggi, bahkan jauh dari isu-isu miring. Hal ini juga membuat pelajar ikut angkat suara, terlihat di setiap postingan artikel hal ini dan Meme Comic tentang hal ini, selalu muncul pelajar yang mewakili suara mereka secara umum. Kejenuhan dan rasa lelah diutarakan oleh netizen yang masih pelajar.

Dilansir dari sebuah artikel merdeka.com yang dimuat dalam Facebook, banyak juga yang pro terhadap kebijakan Mendikdasmen tersebut. Berikut contohnya:

Dan
Sistem full day school bukan hal baru, di beberapa sekolah swasta, bahkan yang berbasis asrama tergolong efektif. Buktinya, peminat sekolah tersebut masih ada dan dikatakan sukses.

Tetapi jika kita lihat lagi, hal tersebut dikarenakan kematangan dan kesiapan sekolah serta pelajar. Ditambah, fasilitas yang memadai sehingga rasa nyaman tercipta bagi seluruh warga sekolah. Bukan hanya fasilitas, namun kemampuan sekolah dalam merancang kegiatan di sekolah harus sesuai. Rasa nyaman dan bermanfaat harus tertanam untuk setiap pelajar di sekolahnya.

Alasan yang tepat adalah pemerataan pendidikan. Jikalau kebijakan tersebut diterapkan untuk kota Jakarta, mungkin saja cocok. Karena alasan-alasan yang diutarakan cukup sesuai. Sedangkan bagaimana dengan kondisi di luar daerah? Sepertinya tidak mungkin, karena dari segi transportasi, sosial, dan keamanan tentu berbeda.

Jika anda pernah tahu, di daerah masih ada anak-anak yang menempuh pejalanan hingga berkilo-kilo meter untuk menuju sekolah dari rumahnya. Apakah hal ini sesuai untuk mereka? Belum lagi anak-anak yatim yang masih harus membantu pekerjaan rumah, atau mungkin ikut mencari nafkah. Menurutmu, bagaimana? Setujukah? Atau tidak setuju?

Kebijakan bapak Menteri Pendidikan memang bijak'sana', karena sesuai inginnya beliau, tetapi tidak bijak'sini' yang merasa dirugikan. Siapa? Peserta didik (murid), orang tua, dan pendidik (guru).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun