Seperti biasa, Eyang memperkenalkan dirinya dan menceritakan sepak terjang beliau selama praktik. Beliau melayani jasa Pilkada dengan mandi kembang (sama seperti Bunda), mencari harta, kebahagiaan (rumah tangga, prestasi, pemikat, dsb), tapi tidak untuk santet. Banyak tokoh politik yang datang ke beliau, banyak juga pengusaha datang ke beliau, bahkan yang hampir cerai dan ingin pasangannya kembali ada. Beliau sangat ramah dan taat agama, mengaku ilmu yang diberikan bukan ilmu hitam, namun ilmu putih. Mendengar hal itu saya cukup lega, namun tetap was-was.
Bicara perihal menjelang Idul Adha dahulu, beliau katanya pernah dapat sapi dari petir. Ada petugas kurban datang, beliau hanya mengangguk dan ada petir ke arah sebuah kebun, petugas kurban diminta ke arah petir tersebut. Wah, petugas kaget dan heran katanya, menemukan sebuah sapi gemuk putih mulus dari sumber petir tersebut.
Selain itu Eyang juga menunjukkan sebuah batu cincin Merah Delima asli, ia temukan dari sebuah lubang di goa, beliau merogoh karena diberikan petunjuk di tempat itu, maka batu itulah yang hingga kini beliau pakai.
Setelah banyak berbincang dan konsultasi, karena ini perihal harta, kami diminta ke Pantai Utara dan melemparkan semua uang ke laut, tentu dengan doa-doa yang harus dibacakan. Namun sebelumnya kami harus menyiapkan sebuah kendi dengan macam-macam mantra dan hal yang aneh-aneh di sekitar kendi tersebut. Katanya semua uang itu akan melipat ganda di dalam kendi tersebut, maksudnya uang tidak akan pernah habis dari kendi tersebut.
Saya berpikir miring soal ini, jangan-jangan ini akal-akalan saja, nanti di bawah laut atau ketika kami pergi, ada pihak yang mengambil uangnya. Bos saya sepertinya sepemikiran dengan saya, maka bos saya lagi-lagi membatalkan hal itu. Namun bukan karena tidak logis, tapi karena syaratnya yang harus kehilangan salah satu orang yang disayang, bos saya hanya memiliki satu orang anak dan satu orang istri. Tentu hal ini sangat berat untuk beliau.
Pak Sonny tampak kecewa, namun beliau tidak mau terlihat malu ke Eyang, mungkin pak Sonny paham perasaan kami. Pak Sonny bilang, “Eyang, bensin kami habis, SPBU terdekat ada tidak?” “Tadi hujan tidak ya?” kata Eyang. “Tadi sore hujan Eyang”, kata anak buahnya. “Berikan pada mereka”, kata Eyang. Maksudnya apa? Masa bertanya SPBU di kasih air tiga ember.
Eyang masuk ke rumahnya dan anak buah Eyang membantu saya untuk mengisi air hujan ke tangki bensin mobil saya. Aduh saya pasrah saja, mau bagaimana lagi, isi tidak isi sih mati juga.
Kamipun pulang, saya ketar-ketir di jalan, tapi kok sepertinya mobil saya jalan terus. Indikator bahan bakar memang hampir penuh, saya hanya terdiam sambil beberapa kali geber mobil saya takut rusak. Nyatanya kami semua selamat sampai rumah, saya terheran-heran mobil saya tidak rusak, padahal memang benar itu air hujan. Sampai saat tulisan ini saya buat, mobil saya masih berjalan dan tidak pernah ada masalah. Ini nyata, namun ajaib.
Belajar dari hal itu, saya sampai saat ini tidak pernah percaya selain kepada Tuhan. Namun kejadian ini saya menjadi bingung, percaya dan tidak percaya, apakah Eyang seperti Nabi yang diberikan mujizat? Saya tidak pernah mempermasalahkan itu dan saya hanya anggap hal itu menjadi sebuah cerita dalam pengalaman saya meskipun saya sudah mengalaminya langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H