Mohon tunggu...
Jojo Simatupang
Jojo Simatupang Mohon Tunggu... Guru - Sarjana Pendidikan | Guru | Penulis

Menjadi manfaat bagi banyak orang dan menjadi lebih baik setiap harinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Si Anak Angkat

1 Juni 2016   03:36 Diperbarui: 1 Juni 2016   03:45 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua orang anak yang membutuhkan adopsi oleh sebuah keluarga. Sumber: gbi-bethel.or.id

Aku terlahir dari orang tua yang tidak aku ketahui. Aku lahir dan diserahkan kepada pasangan yang tidak dapat mempunyai anak. Ya, mungkin saja aku diadopsi oleh mereka. Mereka kini adalah orang tuaku, ya orang tua angkatku yang hingga kinipun aku tidak diberitahukan siapakah diriku ini. Mungkin maksud mereka tidak ingin kehilangan cinta dan harapan mereka terhadapku. Tetapi aku sudah beranjak 21 tahun, apa ini bukan waktu yang tepat? Padahal aku ini sudah berusia dewasa yang sudah mampu menerima kenyataan pahit ini. Aku tahu hal ini, beberapa kali aku disindir oleh orang-orang di sekitarku bahwa aku anak pungut. Sedih memang, tapi kala itu aku masih sangat kecil sekali, namun aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu.

Beranjak remaja aku mulai menghiraukan omongan-omongan orang soal statusku. Aku juga mulai berpikir bahwa aku adalah anak kandung asli dari orang tuaku saat ini. Lihat saja, aku diberikan kasih sayang sepenuhnya dan aku diberikan banyak hal, aku tampak begitu spesial dibandingkan dengan anak-anak lain seusiaku. Dari album fotoku terlihat jelas orang tuaku begitu mencintaiku, banyak perjalanan yang membawaku ke tempat-tempat hiburan yang tidak didapati oleh anak-anak lain di usia kecil tersebut, Tidak juga ada wajah kesal dan benci terpancar dari wajah orang tuaku, justru wajah bahagia dan suka cita yang terpancar dari wajah mereka. Lihatlah, aku dapat merasakan kebahagiaan mereka dapat memiliki diriku ini, yang ternyata memiliki bukan dari dalam rahim ibuku sekarang. Dengan upacara adat dan seserahan babi 100 kg aku dipindahtangankan begitu saja, namun jangan kira, aku pernah menemukan sepucuk surat tentang penyerahan diriku dari orang tua kandungku kepada orang tua angkatku. Tapi, lagi-lagi itu ketika aku masih kecil, aku berpikir bahwa aku terlahir di dukun beranak yang harus menjalankan proses penyerahan tersebut dari dukun beranak kepada orang tuaku. Naas memang, aku tidak menemukan surat itu kembali saat ini. Mungkin sudah dibuangnya atau disimpannya ke tempat paling aman agar aku tidak mengetahuinya.

Kecurigaanku berlanjut ketika aku menjalani sebuah operasi, ketika ditanya perihal golongan darah, ayahku menjawab A. Sejak saat itulah aku menjawab A jika aku ditanya orang-orang. Tetapi ternyata itu salah, golongan darahku adalah O, bukan A seperti yang ayahku katakan. Baiklah tidak masalah, ternyata ibuku bergolongan darah O, sama sepertiku. Survey juga mengatakan sebagian besar golongan darah seorang anak, akan mengikuti golongan darah ibunya. Nah, aku mulai hilang rasa curigaku.

Beranjak dewasa, aku mulai mencari tahu akan hal statusku, jelas saja aku tidak pernah merasakan cinta dalam keluarga seperti keluarga harmonis lainnya. Apakah aku ini tidak punya hubungan batin dengan orang tuaku? Aneh sekali. Dari wajah juga sudah terlihat jelas, ayahku tampan dan ibuku cantik, sedangkan aku? Tidak masuk dalam kedua kategori tersebut. Tingkah lakukupun berbeda dengan kedua orang tuaku, aku yang pemalas dan doyan bersosial bertolak belakang dengan kedua orang tuaku yang pendiam dan sosok sangat dewasa. Aku merasa terus seperti anak kecil, sifatku yang sangat terbuka dan bersosialisasi membuatku harus mengalami konflik dengan orang tuaku. Aku mulai merasa tidak nyambung dengan mereka, pahamku berbeda dengan paham mereka.

Aku sebenarnya beruntung, terlahir di keluarga yang saat itu sejahtera, sebuah rumah yang dapat dikatakan besar pada masanya, sebuah kendaraan roda empat yang kala itu merupakan barang mewah, dan kehormatan sebagai seorang anak perwira dari institusi pertahanan dan ketahanan. Tetapi kebanggan tersebut menjadi bumerang bagiku sendiri, aku merasa tidak cocok. Pakaian mahal dan segala kemewahan aku rasa tidak pernah pas, aku tetap terlihat buruk ketika menggunakan barang ini dan itu. Ya memang bukan gayaku dan aku tidak terlahir di keluarga yang sejahtera pastinya, makanya aku tidak akan pernah cocok dengan hal tersebut.

Aku terus beranjak besar, aku merasakan keanehan-keanehan lainnya. Sekolahku memang dituntut agar masuk dalam sekolah-sekolah bonafit, tapi apa yang aku alami selalu tidak pas. Otakku mampu meraihnya, tetapi semangatku dan hati kecilku tidak mengarahkan diriku menuju ke sana. Entah apa yang terjadi hanya mampu membuatku kebingungan. Ketika meranjak SMA, aku dihadapkan pilihan yang berat, aku memilih jurusan IPA atau IPS saat itu, memandang keluargaku yang IPA, aku seharusnya di IPA. Tetapi lagi-lagi bakatku memang tidak disana, jadi IPA bukan tempatku sedangkan IPS adalah tempatku, Lanjut lagi perihal bawaan lahir, kedua orang tuaku sangat mahir bernyanyi dan ayahku jago dalam memainkan alat musik. Ibuku bahkan menjadi penyanyi rohani solo dan koor yang disegani di kota Bandung. Semua tahu ibuku, bahkan tidak sedikit laki-laki yang menginginkan ibuku.

Mencari jati diri memang pekerjaan yang sangat sulit, tapi aku butuh itu agar segala ketidakcocokan itu mampu aku atasi, aku sampai saat ini belum mampu menentukan arah kehidupanku. Jelas saja, latar belakangku semuanya palsu, bukan kenyataan. Aku menentukan jalanku sendiri dengan penuh usaha murni tanpa embel-embel KKN. Meskipun ayahku memiliki jabatan yang tinggi, aku tidak pernah memanfaatkannya. Memang aku sempat menjadi orang yang arogan, tapi berhubung bertambahnya usia, aku paham apa yang harus aku lakukan. Kesederhanaan aku rasa lebih cocok pada diriku, aku lebih nyaman seperti ini, itulah sebabnya aku harus meninggalkan kampus UI, Unpad, STEKPI (sekarang Trilogi), dan APP (Akademi Pimpinan Perusahaan). Aku mencari sebuah kenyamanan yang terdapat dalam jati diriku. Bahkan aku berkesempatan untuk berkuliah di Jerman dengan kampus yang nantinya dapat aku pilih setelah menempuh pendidikan bahasa Jerman di negara tersebut. Aku sudah dapatkan sponsor untuk melakukan hal itu, tapi lagi lagi itu bukan gayaku.

Aku tahu hal ini begitu berat dalam diriku, aku seringkali mengalihkan hal ini kepada wanita-wanita, baik pacar maupun bukan pacarku. Aku tidak peduli merusak kehidupanku dan kehidupan orang lain. Tetapi jangan salah, yang aku rusak hanyalah wanita yang awalnya sudah rusak, yang masih baik tetap aku jadikan wanita yang baik. Aku merasa senang dan bahagia, dapat merasakan kasih sayang dari wanita-wanita yang aku inginkan. Dengan bermodalkan status dan gaya aku dapatkan semua. Tetapi ingat, gayaku tidak cocok dan aku tidak nyaman. Itulah menjadi faktor utama yang membuatku harus sering alami putus cinta. Ibarat sebuah mobil Ferrari namun pengemudinya berwajah Sule. Bukan perihal Sule jelek, tetapi Sule adalah sosok sederhana, bapak, dan humoris. Sule bukan tipe orang yang bermewah-mewahan dengan gelimang harta.

Aku mulai berpikir, aku buruk sekali. Ada perumpamaan "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Apakah ayahku sedemikian rupa sepertiku? Ah tidak mungkin, ia orang yang hebat dan begitu taat pada ajaran agama. Ibuku juga bukan, ia sosok hebat yang begitu penurut orang tua dan sangat dijaga oleh keluarga besarnya.

 Aku memang bukan anak mereka, aku telah mendengar langsung dari mulut ibuku ketika aku sedang tidur. Pembicaraan soalku telah ku dengan langsung dari telingaku, aku tersentak dan harus meneteskan air mata. Sedihnya sangat mendalam, aku hanya mampu berdoa agar orang tua kandungku tetap hidup dan diberkati Tuhan. Aku menyampaikan pesan lewat doaku bahwa aku mencintai orang tua kandungku. Mungkin saja aku diserahkan atas dasar tidak mampu, bisa saja karena demi kebaikan mereka dan diriku. Kini aku merasa hidupku penuh tanda tanya, masalah-masalahku sudah terlampau penuh. Aku kehilangan semangatku, aku terus dirahasiakan.

 Tuhan yang baik, bantu aku mengetahui segala hal, kuatkan aku dan sampaikan cintaku kepada keempat orang tuaku tersebut. Setidaknya buat aku menjadi bahagia mereka meskipun aku bukan bagian mereka. Puluhan tahun aku dihidupi dengan kasih sayang, dengan pengorbanan, dan dengan harapan besar. Aku akan jalani ini hingga aku mampu membahagiakan mereka, kelak aku akan temui orang tua kandungku, karena orang tua kandung dan anaknya takkan mampu dipisahkan, meskipun maut yang memisahkan, karena kami adalah satu darah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun