Mohon tunggu...
Jojo Simatupang
Jojo Simatupang Mohon Tunggu... Guru - Sarjana Pendidikan | Guru | Penulis

Menjadi manfaat bagi banyak orang dan menjadi lebih baik setiap harinya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mustahil PKI Bangkit, Orba yang Bangkit

11 Mei 2016   00:50 Diperbarui: 13 Mei 2016   03:40 8736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Orde Baru, Rezim Presiden Soeharto. Sumber: www.pendidikanmu.com"][/caption]

Orde baru tentu merupakan rezim lampau yang pernah menguasai negeri ini selama 32 tahun. Sebuah rezim yang dipimpin oleh Jenderal Besar Soeharto, jelas saja karena beliau adalah seorang tentara dengan bintang lima di pundaknya. Jika kita lihat, beliau setara dan sederajat dengan Panglima Soedirman yang sama-sama memiliki bintang lima di pundaknya. Tapi, tunggu dulu, Soedirman di angkat dan ditahbiskan sebagai Jenderal Besar oleh Panglima Perang Tertinggi saat itu, yaitu Presiden Soekarno. Berbeda dengan Presiden Soeharto yang mengangkat sendiri dirinya menjadi Jenderal Besar, tentu tidak jarang dan sangat mudah ditemukan Soeharto menggunakan pakaian kebesaran TNI dengan bintang lima di pundaknya, tetapi kondisi tubuhnya sudah uzur. Lihat saja, rambutnya memutih, kulitnya keriput dari wajah hingga leher, bahkan ketika sikap hormat, tangannya begitu keriput. Tapi sudahlah, pemerintah kala itu adalah penguasa.

Bicara sastra di saat itu, sastrawan merasa ketar-ketir ketika harus mengkritik pemerintah. Tidak mudah bukan, lihat saja, sahabat kita yaitu Wiji Tukhul yang mengkritik pemerintah lewat media sastra, hilang begitu saja. Tapi itulah orde baru, double Jenderal berkuasa, tiada satupun yang menentang bapak satu itu. Asal Bapak senang, isih penak toh jamanku toh. He he he.

Wiji Tukhul menjadi salah satu contoh suara-suara terbungkam yang mencuri simpatik negeri dan bangsa ini, kenapa tidak? PBB saja hingga menurunkan utusannya untuk mengunjungi keluarga Wiji Tukhul untuk melakukan klarifikasi akan pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di negeri ini.

Mengenal sosok Wiji Tukhul, seorang pria berkeluarga yang hidup kurang tercukupi, betapa miris ketika itu harus hilang begitu saja tanpa pamit kepada keluaganya yang amat ia cintai. Tetapi, saya bukan mau bahas Wiji Tukhul dan memfitnah rezim makmur ini.

Sastra sebagai bentuk menyalurkan ide atau pikiran menjadi bagian seni yang menjadi kontroversi sendiri, karena sastra sendiri mengungkapkan tanpa di saring, jelas sastra itu karya mentah dari pikiran atau ide. Tapi bisa saja di kemas sebaik mungkin agar mencari aman.

Selain itu, banyak tokoh-tokoh atau pelaku-pelaku sastra mencoba lagi mengungkapkan ide atau pikirannya dengan sastra lain. Lihat saja Teater Koma, sebuah teater besutan Sutradara kelas atas, Nano Riantiarno. Beberapa kali mementaskan naskah-naskah yang berbau politik, ya intinya sih mengkritik juga penerintahan, selalu saja dihalang-halangi bahkan beberapa kali batal pentas. Anda bisa lihat langsung di halaman resmi Teater Koma, dijelaskan perjalanan mereka mementaskan naskah-naskah drama mereka, berhasil dan batalpun mereka tulis secara detil dengan alasannya. Tapi saya tidak mau bicara soal Teater Koma, apalagi Nano Riantiarno. Saya tidak hidup di masa itu, saya hanya menumpang di rezim itu, ya tahun 1994 dan 4 tahun saja rezim itu bubar.

Selanjutnya mengenai Belok Kiri Fest, ini saya baru benar-benar alami. Masa-masa ini, tahun 2016 adalah rezim bapak Presiden Joko Widodo yang Mulia. Beliau berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau bekennya PDI-P. Ketua Umumnya adalah yang mulia ibunda Megawati Soekarnoputeri, seorang anak kandung dari bapak pendiri negeri ini, Ir. Soekarno. Nah, tentu tidak ada hubungannya dengan rezim orde baru toh, tapi bapak Presiden kita seorang penguasa negeri ini sekarang. Secara ideologi partai dan pribadinya, bapak Presiden kita tidak ada hubungannya dengan rezim bapak Presiden kedua kita, almarhum Jenderal Besar (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto. Nah, kali ini saya mau bicara soal ini, coba baca lagi kalau agak-agak kurang paham.

Orde baru sudah selesai, bapak sudah lama tiada, meninggalkan kita untuk menghadap sang Khalik, hanya kebesaran nama dan jasanya yang masih tercatat dalam sejarah. Eh, tetapi bukan! Masih ada lagi, saya hampir lupa bapak masih punya anak-anak dan cucu-cucunya yang banyak dan juga masih hidup hingga sekarang ini. Ya, maklum saya lahir di era baru-baru ini, saya ini masih bau kencur kalau kata orang dulu.

Ya lewati sajalah, saya mau seikit berargumen. Dari pandangan dan paparan di atas jelas sekali toh, orba sudah selesai, penguasa kita bukan bagian dari mereka. Nah disini saya bingung. Sebentar, saya mau ilustrasikan sedikit. Ada ruko di Mangga Dua disewakan oleh pihak manajemen, penyewa pertama membuka restoran khas Jawa. Tak lama kios tutup karena penyewa pindah. Kemudian ada penyewa selanjutnya dan membuka restoran khas Cina. Laku keras, sedangkan penyewa sebelumnya ya ala kadarnya. Tetapi lagi-lagi bukan itu yang saya sorot, tapi begini. Ada tidak hubungan di antara keduanya (penyewa pertama dengan penyewa kedua)? Mereka tidak saling kenal, mungkin sekadar tahu dari cerita tentang asal usul kios sewa mereka itu. Nah, sudah mulai paham?

Sekarang kita pikirkan, bapak Presiden kita sekarang Joko Widodo dengan bapak Presiden kedua kita Soeharto, mereka sama-sama memimpin negeri ini namun di waktu yang berlainan. Apa mereka kenal? Ya bisa saja, kan tertulis dalam sejarah bangsa ini, tapi, pasti mereka berbeda dan tidak ada hubungannya. Betul?

Belok Kiri Fest waktu itu hendak memutar sebuah film dokumenter tentang pulau Buru, pulau itu memiliki pandangan buruk di masa lalu, entah ada sebuah sejarah lisan yang tidak diceritakan hingga selesai. Pulau itu merupakan tempat anu, sudah itu saja. Tapi, sekarang jadi apa? Butuh penjelasan dong, nah itu dia ada yang memfilmkan pulau tersebut, cantik! Tetapi naas, pemutarannya di anggap kontroversi dan memacu kerusuhan. Hmmm... memangnya dia (penolak) sudah nonton, kok tampaknya begitu gentar dengan pemutaran itu? Ada apa ya? Saya curiga. Pemutaran yang direncanakan hari itu di Goethe Institut batal dengan alasan keamanan. Lah, piye iki? Tapi saya tidak mau bahas selanjutnya, capek saya ceritanya, tidak ada habisnya. Intinya ya pindah-pindah, entah berhasil atau tidak diputar film dokumenter tersebut. Mungkin jadi tetapi bungkam, atau memang bungkam dan batal. Entahlah.

Ada juga salah satu sastrawan wanita dengan aliran feminis, lahir di rezim orba, siapa lagi yang tidak lain tidak bukan, Ayu Utami. Sosok cerdas dan luar biasa ini pandai merangkai kata-kata dalam karyanya. Novel Saman yang beberapa kali orang pikir porno, sebenarnya ada maksud memaparkan pikiran dan idenya di masa itu. Basi memang, tapi perlu dikemukakan. Coba tengok, wanita ini mengeluarkan karyanya di masa runtuhnya bapak kita, isinya memang dapat dikatakan bahaya untuk rezim saat itu. Kemasannya tepat untuk mengungkap di masa runtuh dan membuka mata-mata yang tetutup saat itu. Esainya juga begitu menyindir pemerintahan Soeharto masa itu, otonomi daerah yang lagi-lagi dicanangkan oleh Presiden B.J. Habibie, bukan Presiden Soeharto. Pembangunan yang tidak merata membuat Ayu Utami geram, pusat sebagai induk dari segalanya begitu makmur dan daerah hanya jadi nilai rendah.

Saya baru baca esai-esainya, ya tepatnya baru saja diberikan dosen saya, wah ternyata esainya cerita hal kesenjangan kota dan desa, pemerintah memisahkan secara tajam antara pusat dan daerah (sentralistik). Teori mobilitas sosial juga terlihat sangat mustahil masa itu jika anda bukan ABRI, pengusaha kelas kakap (termasuk pedagang). Miskin ya miskin, menengah tentu sulit, tidak berkutik. Tetapi, ada bagusnya saat itu, pemerintah rezim itu membangun banyak sekolah Inpres di seluruh Nusantara yang sangat membantu, tetapi sekali lagi hal itu meninggalkan hutang, sampai saat ini belum lunas. Nah Ayu Utami saya katakan keren, coba ia bersuara di rezim itu, bisa habislah ia, di cap PKI atau mungkin Gerwani.

Kembali ke sastra di rezim orde baru, saya begitu angkat topi ke salah satu maestro negeri ini. Namanya Warung Kopi atau jelasnya WARKOP DKI, sebuah grup lawak yang dibintangi oleh trio kawakan Dono, Kasino, dan Indro. Memang mereka hanyalah aktor dalam acara-acara lawak, tetapi sangat jarang orang menyadari lawakan mereka kerap menyindir rezim orba. Coba lihat beberapa kali ada kalimat yang menyentil seperti "asal bapak senang", "mentang-mentang ABRI", juga banyak lagi, sebaiknya anda tonton dan cermati sendiri, karena sesuatu yang diberitahu gamblang akan terasa basi. Saya angkat topi karena mereka menjadi salah satu orang-orang yang aman saat itu. Coba baca lagi ke atas, sindir saja bisa jadi masalah, apa lagi kritik keras. Masa itu pemikir cerdas dan kritis bisa di anggap PKI, jika wanita di anggap Gerwani. Bahkan pria berambut gondrong bisa menjadi masalah dan fitnah.

Selain itu adalah Iwan Fals yang secara frontal mengemukakan kegelisahannya kepada negeri ini, tetapi beliau selamat.  Karya-karyanya menjadi pioneer pergerakan rakyat masa itu, tetapi saya katakan lagi, dia aman. Rakyat dengan bangga menyanyikan lagu-lagunya dan menjadikannya lagu kesukaan. Malah, punya fans yaitu OI, keren ya.

Saya intinya ingin bicara, orang-orang yang berhasil di bungkam dahulu, rasanya kesal pastinya ingin sekali mulutnya berucap keluh kesahnya, maaf, maksud saya pengalamannya. Ya seperti sebuah cinta, siapa bilang cinta tidak harus memiliki, cinta itu harus memiliki. Caranya apa? Ya ungkapkan dahulu, susah memang, bungkam, tetapi bisa juga sih tanpa memiliki, asal isi hatinya terpuaskan. Tapi pada kodratnya ya memiliki, cuma saja mustahil cinta satu arah itu. Ah, sudahlah, kok jadi bicara cinta. Mungkin masa lalu perlu dikemukakan, rasa-rasa terpendam masa ini mulai terangkat lagi, tidak ada kata basi dong, mereka ingin lampiaskan, ya sekaligus kita butuh update terkini soal sejarah. Lucu ya, update sejarah.

Tapi kan susah, larangan di mana-mana, padahal rezim berbeda. Ada isu PKI pula sekarang, tapi siapa yang bangkit? PKI mana mungkin bangkit, siapa yang bangkit? Siapa yang bangkit? Siapa yang bangkit? Siapa yang bangkit? Tuh, empat kali supaya sial PKI itu, kan menurut Tionghoa empat itu sial bahkan mati. PKI sudah mati, yang dikhawatirkan justru orba yang bangkit. Orba masih sangat bisa bangkit, kenapa? Baca saja lagi dari awal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun