Mari kita pergi ke utara pulau Bali, tepatnya di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Terdapat sebuah desa istimewa dihuni oleh masyarakat kolok dengan rasio yang cukup tinggi di Indonesia, bahkan berada di posisi ke-4 dunia. Sebelum kita berbicara tentang desa ini lebih lanjut, perlu kita ketahui bahwa masyarakat kolok adalah masyarakat yang mengalami tuli dan bisu sejak mereka dilahirkan.
Berlokasi sekitar 100 kilometer dari kota Denpasar, perlu waktu sekitar 3 jam untuk mencapai desa unik yang sudah ada sejak 22 Juli 1181 atau tahun 1103 menurut kalender Saka. Kita akan disambut dengan gapura selamat datang dan jalan yang semakin lama semakin sempit serta berbatu untuk dilewati dengan kendaraan roda empat jika memasuki wilayah. Jika dilihat dari jauh, tampak bahwa desa ini seperti desa normal lainnya, terdapat banyak warga yang bekerja sebagai pedagang, guru, petani, peternak dan profesi-profesi lainnya sementara anak-anak diberikan pendidikan selayaknya anak-anak umum seusia mereka.Â
Seringkali kita melihat bahwa di beberapa wilayah yang terdapat masyarakat dengan keadaan berbeda, malah dimarjinalkan, bahkan kita menemukan perilaku yang tidak sepantasnya  diberikan kepada mereka, akibatnya banyak orang memiliki disabilitas merasa rendah diri dan tidak berani tampil didepan umum, namun keadaan di desa ini berbeda, masyarakat beraktivitas seperti orang biasa, yang membedakan hanya bahasa yang digunakan adalah bahasa tubuh yang sudah ada sejak dahulu kala, dimana bahasa ini  hanya dimengerti oleh kebanyakan masyarakat lokal yang sudah berdomisili disana.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa kebanyakan masyarakat Kolok adalah masyarakat dengan kemampuan berkomunikasi sudah seperti orang normal lainnya, bahkan animo bekerja masyarakat dapat dikatakan tinggi, namun hal tersebut belum sebanding dengan pendapatan yang mereka terima, dimana desa ini memiliki rata-rata pendapatan dibawah 500 ribu saja menurut laporan tahun 2018. Tidak jarang untuk menambah pendapatan, para ibu rumah tangga ikut bekerja sebagai penjual souvenir kepada pengunjung yang berkunjung ke Desa Bengkala.
Terdapat beberapa versi mitos mengapa Desa Bengkala tercipta, pertama dikarenakan mitos bahwa Desa ini dikutuk oleh peziarah yang datang dari tanah Jawa, selain daripada itu ada juga yang mengatakan bahwa Desa ini muncul karena datang dari imigran India kuno berasal dari keturunan Brahma yang tidak ingin membagikan ilmunya dengan tidak mau berbicara dan mendengar dan masih banyak lagoo mitos-mitos lainnya tentang awal munculnya Desa Bengkala. Tidak ada yang mengetahui persis mengapa desa ini bisa melahirkan masyarakat kolok, ada beberapa pasangan yang tidak bisu dan tidak tuli, ketika anak mereka lahir tiba-tiba kondisinya sudah positif bisu dan tuli. Bahkan banyak peneliti dari berbagai belahan dunia yang meneliti sebab akibat kenapa masyarakat di desa ini rata-rata memiliki keadaan yang tidak biasa tersebut.
Di Bali, terdapat 3 Golongan kesenian yang bereksistensi, yaitu seni Wali, Bebali dan Balih-Balihan. Seni Wali adalah seni yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widi di Pura, sedangkan Seni Bebali adalah seni yang ditampilkan pada upacara keagamaan khusus, dan seni Balih-Balihan adalah Seni yang bertujuan untuk menghibur masyarakat. Tari Janger adalah tarian yang masuk kedalam kategori seni Balih-Balihan, tarian ini adalah tarian dari harmonisasi antara tari kecak dan gender wayang. Asal mula munculnya tarian Janger Kolok bermula pada tahun 1969 hingga 1970-an, pencetusnya adalah seorang asli Desa Bengkala yang bernama Alm. Wayan Nedeng, seorang pedagang yang mengenal  potensi dari warga Desa Bengkala. Tarian ini memperkenalkan keindahan dari kacamata yang berbeda kepada setiap pengunjungnya.
Janger Kolok, tarian ini dari luar terlihat sama dengan tarian Janger pada umumnya namun jika diperhatikan secara seksama, penari tidaklah mengikuti alunan musik, namun alunan musik lah yang mengikuti ritme penari. Hal ini dikarenakan oleh keadaan penari yang tidak dapat mendengar dan hanya mengandalkan lirikan pada tabuhan gendang yang digunakan oleh pengiring. Penari yang hendak mempelajari tarian hanya mengandalkan kode gerakan tertentu oleh pengajar menggunakan gadget mereka masing-masing.
Desa Bengkala adalah desa yang sangat terdampak dikala pandemi melanda, dimulai dari peseni yang kehilangan pentas dan panggung, masyarakat yang biasanya membuat dan menjual produk olahan dan souvenir tidak tersentuh sama sekali karena sepi, bahkan tidak ada yang datang.
Selain karena terhibur oleh tarian dan aneka souvenir, berkunjung ke Desa Bengkala juga membuat kita bersama-sama belajar tentang bersyukur serta menghargai pemberian dari Yang Maha Kuasa, kita juga akan belajar tentang menghargai dan mengasihi orang-orang yang memiliki fisik yang  berbeda dengan kita, karena pada dasarnya Yang Maha Kuasa memberikan dengan pasti kelebihan dan kekurangan pada setiap manusia. Melalui artikel ini, diharapkan bahwa para pembaca bisa mengenal tentang desa yang jauh dari hingar bingar namun sarat akan budaya dan nilai-nilai luhur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H