Mohon tunggu...
Kristo
Kristo Mohon Tunggu... -

A Journalist, Performance Management Consultant, Mind Diver, Universalist & A Less Travelled Road Taker...

Selanjutnya

Tutup

Money

Meninggalkan Payung, Merutuki Hujan: Cara Orang Indonesia Sikapi Krisis

24 Agustus 2015   22:31 Diperbarui: 24 Agustus 2015   22:31 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Dulu jaman masih suka naik gunung, sering banget "gagal muncak" alias tidak berhasil mencapai puncak gunung. Biasanya penyebabnya adalah: Respon terhadap cuaca buruk. Aku bilang "respon", karena cuaca buruk bukanlah penyebab "gagal muncak". Keputusan untuk tidak melanjutkan pendakian-lah yang menjadi penyebab utamanya. Keputusan itu diambil sebagai respon atas cuaca buruk, entah karena kekuatiran akan keselamatan atau semata-mata karena demotivasi; badan dah capek, eh.. hujan badai pula!

Belum lagi jika di gunung, cuaca bisa berubah drastis hampir sekejap dari panas terik menjadi hujan badai. Itu juga merupakan "Sudden Shift" seperti yang disebutkan Profesor Rhenald Kasali dalam artikelnya: Hati-hati "Sudden Shift", Fenomena Perubahan Abad ke-21

Oleh karena terbiasa dengan "Sudden Shift", aku selalu membawa mantel hujan setiap kali naik gunung meski di musim kemarau yang paling kering sekalipun. Tapi kalau sudah "turun gunung" di kehidupan sehar-hari, mantel seringkali hanya dibawa saat musim penghujan.

Di sinilah masalah timbul. "Kebiasaan" seringkali menjadikan kita lalai dan lengah serta lupa bahwa cuaca adalah faktor eksternal. Sebagaimana faktor eksternal yang datang dari luar diri kita, mereka tidak pernah sungguh-sungguh bisa kita kendalikan.

Kita hanya bisa berharap "Musim kemarau nih, cuaca juga panas terik, kayaknya engga bakal turun hujan". Faktanya hujan pun turun di musim kemarau yang paling kering sekalipun. Kita saja yang tidak terbiasa. Akhirnya yang sering terjadi sebagai respon kita adalah "Kok hujan sih? Mana engga bawa mantel pula!" Memangnya kita ini majikannya cuaca dimana cuaca harus terus mengikuti kehendak kita?

Faktor eksternal hanya bisa diharapkan, namun tidak pernah dipastikan. Ketidakpastian sesungguhnyalah satu hal yang bisa dipastikan dari faktor eksternal.

Sama dengan kondisi saat ini. Semua orang tentunya tidak pernah berharap situasi yang tidak menguntungkan seperti saat ini terjadi. Tapi, mestinya dari dulu orang juga menyadari, situasi seperti ini bisa saja terjadi, dan memang akhirnya terjadi.

Lalu apa respon kita? Kebanyakan dari kita akan merutuki hujan ketimbang menyadari kelalaian kita membawa mantel hujan dan atau selanjutnya mencari mantel atau payung.

Sama dengan saat ini, sangat mudah menjumpai orang yang mengeluhkan pemerintah sebagai penyebab situasi yang terjadi saat ini. Sebagian orang mempertanyakan, "Manaa?? Dulu katanya Jokowi kalau jadi Presiden, Rupiah bakal menguat??" Itukan harapan kita saja, bukan sebuah kepastian. 

Pada akhirnya, keberhasilan kita untuk melewati dan mengatasi situasi tertentu, akan sangat bergantung pada respon kita, bukan pada faktor eksternal. Jokowi, dan sikap serta kebijakan pemerintah selalu akan menjadi faktor eksternal yang tidak bisa sepenuhnya kita kendalikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun