Mohon tunggu...
Kristiyanto
Kristiyanto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pamulang Prodi Akuntansi

Seorang yang Sedang mencari jati diri dan jodoh sejati, dan sedang mencoba untuk belajar menulis sebuah artikel , hobinya makan dan mencari inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Roman

Lentera di Bawah Awan (Chapter 4-6)

15 September 2024   12:41 Diperbarui: 15 September 2024   12:45 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku juga selalu merasa seperti itu,” gumam Alana. “Bahwa aku harus menjaga semuanya sendiri, terutama setelah orang-orang yang kucintai pergi. Rasanya seperti… tidak ada gunanya membagi perasaanku dengan siapa pun lagi.”

Arga tersenyum, lalu memainkan beberapa nada lembut di gitarnya. “Setiap melodi yang kita simpan dalam hati akan lebih bermakna jika didengar oleh orang lain. Tidak ada yang salah dengan kesendirian, tapi kadang, dalam kesendirian itu kita bisa tersesat. Musik, seperti cinta, diciptakan untuk dibagi.”

Alana merasakan getaran aneh di dadanya mendengar kata-kata itu. Cinta—sesuatu yang dulu ia percaya telah hilang dari hidupnya—kini terasa kembali mengalir dalam bentuk yang berbeda. Bukan lagi cinta yang penuh dengan harapan dan rasa takut akan kehilangan, melainkan cinta yang tenang, yang datang dari penerimaan bahwa hidup adalah rangkaian melodi, beberapa indah, beberapa penuh luka. Namun, semuanya adalah bagian dari simfoni yang lebih besar.

“Kau benar,” jawab Alana akhirnya, suaranya terdengar lebih kuat daripada yang ia rasakan. “Mungkin selama ini aku terlalu takut untuk berbagi. Takut kehilangan lagi, takut terluka.”

Arga menundukkan kepala, memainkan nada yang lebih pelan, penuh perasaan. “Takut terluka itu wajar. Tapi kau tahu apa yang paling menyakitkan? Kehidupan tanpa musik. Tanpa cinta. Itu bukan luka yang bisa sembuh dengan waktu, melainkan kehampaan yang menggerogoti jiwa.”

Alana menghela napas, merasa kata-kata Arga menyentuh sisi terdalam dirinya. Selama ini ia mengira bahwa dengan menutup dirinya, ia bisa melindungi hatinya dari rasa sakit yang lebih dalam. Tapi nyatanya, rasa sepi yang ia ciptakan justru menambah luka yang lebih besar—luka yang tidak tampak dari luar, namun menghancurkan dirinya dari dalam.

Malam itu, di bawah sinar bintang yang mulai muncul satu per satu, Alana dan Arga duduk dalam keheningan yang nyaman. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi, karena mereka tahu, saat ini mereka sedang bermain di dalam harmoni yang sama. Simfoni yang tidak sempurna, namun indah karena kejujurannya.

Dan saat malam semakin larut, Alana merasa bahwa mungkin inilah yang ia cari selama ini—bukan hanya melodi yang hilang, tapi keberanian untuk membiarkan orang lain mendengarkan musik hatinya. Di samping Arga, ia menemukan bahwa hidup, meskipun penuh dengan luka dan kehilangan, adalah sebuah simfoni yang selalu bisa dimainkan ulang.

"Musik, seperti cinta, diciptakan untuk dibagi."

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun