Mohon tunggu...
Kristiyanto
Kristiyanto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pamulang Prodi Akuntansi

Seorang yang Sedang mencari jati diri dan jodoh sejati, dan sedang mencoba untuk belajar menulis sebuah artikel , hobinya makan dan mencari inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengapa Indonesia Belom Siap Menghadapi Deindustrialisasi dan Era Gig Ekonomi

12 September 2024   18:11 Diperbarui: 12 September 2024   18:17 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi yang besar dan sumber daya alam yang melimpah, masih sangat bergantung pada sektor industri manufaktur sebagai pendorong utama ekonomi. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul kekhawatiran bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur, yaitu penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB sebelum mencapai tingkat kemakmuran yang signifikan. Pada saat yang sama, fenomena gig economy berkembang pesat, menciptakan tantangan dan peluang baru di pasar tenaga kerja.

Deindustrialisasi Prematur di Indonesia

Deindustrialisasi tradisional biasanya terjadi pada negara maju yang telah mencapai tingkat kemakmuran ekonomi tertentu, di mana sektor jasa menggantikan sektor manufaktur sebagai kontributor utama PDB. Namun, Indonesia menunjukkan tanda-tanda deindustrialisasi prematur, di mana kontribusi sektor industri terhadap PDB mulai menurun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan signifikan dari 29,05% pada tahun 2001 menjadi 19,25% pada 2023. Ini menunjukkan bahwa peran sektor manufaktur dalam perekonomian menurun lebih cepat dibandingkan pertumbuhan sektor-sektor lainnya, meskipun Indonesia masih berada dalam tahap pembangunan.

Ada beberapa alasan yang menjelaskan mengapa Indonesia belum siap untuk menghadapi deindustrialisasi: Ketergantungan pada 

  • Manufaktur untuk Penciptaan Lapangan Kerja

Sektor manufaktur masih menjadi salah satu sumber utama lapangan kerja di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023, sekitar 14,42% dari total tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor industri. Meskipun ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sektor ini tetap penting, terutama di kawasan-kawasan industri seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten, yang berperan sebagai pusat manufaktur nasional.

  • Sumbangan Ekonomi yang Masih Signifikan

Meskipun proporsinya terhadap PDB menurun, sektor manufaktur tetap menjadi kontributor utama dalam menghasilkan pendapatan ekspor Indonesia. Pada tahun 2022, ekspor produk manufaktur berkontribusi sebesar 74,47% dari total ekspor nasional. Ini menunjukkan bahwa meskipun sektor ini menurun dalam persentase PDB, sektor industri manufaktur masih memegang peran vital dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui perdagangan internasional.

  •  Kurangnya Infrastruktur untuk Transisi ke Sektor Lain

    Transisi dari ekonomi berbasis manufaktur ke ekonomi berbasis jasa atau teknologi memerlukan investasi besar dalam infrastruktur, pendidikan, dan pelatihan tenaga kerja. Namun, investasi di sektor ini belum memadai. Data dari BPS menunjukkan bahwa investasi dalam infrastruktur teknologi dan pendidikan masih berada di bawah 4% dari PDB pada tahun 2022, menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang kompetitif untuk bersaing di sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi seperti teknologi informasi dan inovasi.

Keterkaitan dengan Fenomena Gig Economy

Seiring dengan penurunan kontribusi sektor manufaktur, gig economy berkembang pesat di Indonesia, terutama didorong oleh platform digital seperti Gojek, Grab, dan Shopee. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2022, sekitar 13,3 juta orang bekerja di sektor informal yang didominasi oleh model gig economy. Fenomena ini menghadirkan lapangan kerja baru, terutama bagi pekerja yang kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap di sektor formal

Namun, ada beberapa isu yang membuat gig economy tidak bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menggantikan sektor manufaktur:

Ketidakpastian Pendapatan dan Kesejahteraan

Sebagian besar pekerja di gig economy tidak mendapatkan jaminan sosial yang memadai. Berdasarkan survei BPS pada tahun 2021, hanya 16,6% pekerja informal yang memiliki akses terhadap jaminan kesehatan dan pensiun. Pekerjaan di gig economy cenderung tidak memberikan perlindungan sosial yang cukup, sehingga pekerja menghadapi risiko ekonomi yang lebih besar jika terjadi krisis atau ketidakstabilan.

Produktivitas Rendah

Pekerjaan di gig economy seperti ojek online, pengiriman barang, atau jasa lepas cenderung berorientasi pada layanan yang bersifat lokal dan berpendapatan rendah. Meskipun menawarkan fleksibilitas, kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi makro lebih terbatas dibandingkan dengan sektor manufaktur, yang mampu menciptakan produk dengan nilai tambah tinggi dan daya saing global. Sektor manufaktur masih mendominasi dalam hal produktivitas, dengan kontribusi signifikan terhadap nilai ekspor dan investasi.

Pergeseran ke Sektor Informal

Perluasan gig economy justru memperkuat sektor informal. Menurut BPS, pada tahun 2022 sekitar 58% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal. Sektor ini kurang dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan, sehingga pekerja tidak mendapatkan hak-hak dasar seperti cuti berbayar, upah minimum, atau perlindungan kesehatan yang dijamin oleh undang-undang. Deindustrialisasi yang tidak terkelola dengan baik dapat memaksa lebih banyak tenaga kerja beralih ke sektor informal atau gig economy yang kurang stabil.

Kesimpulan

Indonesia belum siap untuk menghadapi deindustrialisasi prematur, terutama karena pentingnya sektor manufaktur dalam menciptakan lapangan kerja, ekspor, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Di sisi lain, gig economy menawarkan alternatif lapangan kerja yang menarik bagi sebagian kalangan, terutama anak muda dan pekerja informal, namun tidak mampu sepenuhnya menggantikan peran sektor manufaktur. Pekerjaan di gig economy sering kali tidak memiliki keamanan sosial yang memadai, serta produktivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan sektor manufaktur yang berorientasi pada ekspor dan industri berat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun