Di rumah berdinding kayu, menyimpan sebuah kisah yang tak lapuk di makan zaman.
"Kamu selalu begitu," lelaki berambut keriting itu membentak perempuan bertubuh kurus.
Balasan makian, kata-kata tajam meluncur bak air. Ini bukan kali pertama, sejak kecil aku terbiasa mendengarnya.
Ticket keberangkatan ke luar kota sudah di tangan. Akhirnya aku diterima di perusahaan ternama dengan gaji besar. Hal yang lebih menggembirakan, aku bebas dari keributan rumah.
Bulan demi bulan berlalu, Aku menemukan lingkungan yang mendukung dengan teman-teman seperti saudara.
"Owhh seperti ini rasanya surga," ungkapku dalam hati.
Siang itu aku diajak beribadah oleh Dirli, sahabat terbaikku. Tiba-tiba ada bagian kotbah yang mengingatkan akan suasana rumah. Hatiku bergejolak tak karuan, entah sedih, marah, rindu atau apa. Aku memutuskan untuk pulang dan tidur.
Aku seperti berada di sebuah kapal besar yang kokoh. Angin ribut di lautan pasti sanggup dilalui. Kemudian aku melihat, ada perahu kecil dari kayu yang rapuh. Hempasan angin memporak-porandakan kapal itu.
Lama aku terdiam melihat kejadian itu, lalu aku menurunkan skoci pada penumpang di perahu itu. Hal itu disambut baik oleh dua orang di sana. Skoci itu bernama "pengampunan". Aku terbangun dari mimpiku seraya berdoa.
Sejak saat itu aku sering berkomunikasi dengan orangtuaku. Bila ada cuti aku pulang ke rumah.