Sore itu kami asik bermain. Fabian begitu gembira bisa merangkai gambar mobil-mobilan berwarna biru. Di otak-atik setiap kepingan puzzle agar dapat bersambung. Meski keliru, tak patah arang dicocokkan. Bulan ini menginjak 4,5 tahun, sepertinya tahun depan waktunya sekolah.
"Bu ... anak-anak yang masuk ke TK ini, semua harus sudah mengenal angka dan huruf," ungkap sang kepala sekolah saat berkunjung ke sana.
Kata-kata itu terus berputar di kepala. Bagaimana bisa? Fabian seperti alergi bila diajari huruf apalagi menyangkut kata.
Dia lebih senang mengutak-atik barang serta bermain di alam terbuka. Memang dia suka mendengarkan dongeng bahkan sebelum tidur menjadi ritual membacakan cerita. Fabian juga bukan anak yang gampang fokus. Pernah aku mengajari huruf-huruf, dia malah berlari menuju ayahnya yang membetulkan sepeda.
"Ibu..." panggilan itu menyentakku dari lamunan.
Ditunjukkan puzzle mobil-mobilan, spontan aku memuji dan dia tersipu malu. Tiba-tiba terlintas ide di pikiran. Kali ini aku mengajaknya bermain bola basket. Kami berlomba memasukkan tiga bola ke dalam keranjang.
Awalnya Fabian belum memasukkan bola sama sekali, hingga memasukkan bola lebih dari tiga. Terdengar suara di bibirnya, satu ... dua ... tiga, ketika bola itu masuk. Tak kusangka ternyata selama ini Fabian menyerap pembelajaran angka, walaupun kelihatan cuek.
Senang tak terperi hati ini, jawaban dari kegalauan selama ini. Akulah sang ibu dari Fabian, Nanik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H