Dua tahun sudah, Jessie tak mendengar kabar Peter. Sosok yang selalu buatnya tertawa serta melakukan banyak hal bersama. Seperti kakak sendiri.
Ketika nongki bareng, tak ada Peter pasti tak ada Jessie, bak roti dengan mentega. Membuka albun SMA, mengingatkan pada sosok sahabatnya. Jessie berharap sahabatnya baik-baik saja di negeri tetangga.
Dering telepon membuyarkan lamunan, muncul nomer tak dikenal. Diabaikannya dering telepon itu sampai tiga kali. Dalam pikiran Jessie terekam, pasti marketing undian. Kemudian tangannya melanjutkan menata buku-buku.
Setelah dua jam, kamar itu terlihat lebih rapi dan bersih. Jessie masih sibuk membongkar lemari pakaian.
Tiba-tiba terdengar suara sang mama, "Jess, ada yang mencarimu."
Sontak hatinya bertanya-tanya, "siapa gerangan?" karena tak ada janji hari ini.
Tangannya belum berhenti memilah baju-baju karena sebenarnya malas bertemu orang. Sampai cukup lama, kakinya diinjakkan ke lantai dasar ruang tamu.
Sosok misterius dengan kacamata hitam, rambut umbrey cokelat serta jeans biru.
"Maaf dengan siapa?" tanyanya sinis.
Dibukanya kacamata itu sambil berkata, "sombong, teleponku diabaikan."
Spontan Jessica merangkul sahabatnya, sambil mengungkapkan kejengkelannya. Seorang yang dulu terkenal culun, sekarang gaul habis.
Mereka asik bercengkrama , hingga bulan memancarkan cahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H