Sang suami mengungkapkan apa yang menjadi jeritan hatinya. Bima masih ingin mengejar cita-cita dan impiannya, namun apa daya impian itu dihancurkan oleh kedua orangtuanya. Sama seperti Ayu, tak punya pilihan selain patuh dan meneruskan garis keturunan. Mereka berdua menangis dan mengeluarkan emosi yang selama ini terpendam.
Lewati kejadian itu, Bima sadar, dirinya bukan satu-satunya korban. Istrinya juga mengalami hal yang sama. Dia berusaha untuk menerima semua itu dan belajar mencintai sang istri. Bila terapi sang suami mulai mau menemani serta ikut ngobrol bersama sang psikiater. Perlahan-lahan sikapnya mulai berubah, meskipun kata makian dan kasar kadang keluar dari bibirnya. Namun tak pernah lagi, tubuh Ayu mengalami kekerasan fisik. Bima juga mulai pulang tak larut malam lagi, serta kebiasaan berkumpul bersama teman-temannya mulai berkurang.
Meskipun rumahtangga mereka seperti diambang kehancuran, namun Bima dan Ayu berupaya memperbaikinya dengan belajar untuk saling menerima dan memahami. Seperti pesan orangtua mereka saat prosesi sungkem, "terus berjuang membangun cinta apapun rintangannya". Mungkin kata-kata itu yang menjadi bekal untuk menapaki kehidupan berumahtangga saat ini.
Pikiran itu menyadarkan Ayu, dihirupnya udara berbau tanah yang terkena siraman air. Sambil tersenyum menatap hujan dijendela, hatinya berkata "Setiap orangtua ingin yang terbaik buat anaknya. Mereka selalu menyayangiku dan aku juga sayang dengan mereka, seperti menyayangi diriku sendiri. Begitu juga aku akan menyayangimu, Bima." Matanya terus menatap butiran hujan yang jatuh, hingga dirinya dikejutkan oleh secangkir teh yang dibawa oleh sang suami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H