Ketika matahari masih tertidur, aku dan Maya bersiap melakukan perjalanan menuju ke sebuah air terjun. Ke sebuah desa yang jauh dari rumah, kira-kira menempuh waktu dua jam untuk sampai ke sana.
Dingin udara tak menjadi rintangan. Motor matic biru menemani perjalanan kami. Walaupun hanya berdua dan para cewek, namun tak mematahkan semangat kami untuk menikmati air terjun. Kami bergantian membonceng.
Ketika memasuki kawasan kabupaten, kami disuguhkan pemandangan yang begitu menawan. Tampak hentangan sawah dengan padi yang menguning. Pohon-pohon kelapa juga rapi berjajar. Dari kejauhan nampak gunung yang menjulang tinggi. Suara kicauan burung menambah semarak suasana.
Aku membayangkan seperti pemandangan alam yang tergambar sewaktu sekolah dulu. Sungguh luar biasa, anugerah Sang Pencipta. Kata-kata tak dapat mewakili kekagumanku, hanya ucapan syukur yang dapat kupanjatkan.
Selain pemandangan alam, kami juga disuguhi oleh pemandangan rumah penduduk yang sangat sederhana. Nampak suasana adem ayem serta bahagia, serasa pulang ke rumah nenek.
Terlihat rumah yang didirikan dari bambu, ada juga yang dari kayu dan hanya sedikit yang dari batu bata. Terlihat halaman yang begitu luas, ditumbuhi tanaman serta sayur mayur disamping dan depan rumah.
Ada juga yang memiliki ternak seperti sapi dengan kandang di sebelahnya. Namun kebanyakan ayam berkeliaran di depan halaman rumah mereka.
Jalanan membuat kami terjaga, kadang naik dan turun dengan belokan yang cukup curam. Rasanya seperti menaiki roller coaster, hanya bedanya kami mempunyai kendali untuk mengatur kecepatannya.
Saat aku yang dibonceng, wajahku cukup tegang disertai tangan dan kaki yang kaku. Aku tak membayangkan bagaimana dengan perasaan Maya yang mengendarai, pastinya lebih campur aduk. Apalagi aspal jalanan banyak yang berlubang sehingga harus memilih.
Kami berhasil melewati itu semua, sampai tiba di jalanan yang belum beraspal. Terlihat hanya batu karang dengan sedikit tanah diatasnya. Maya mencoba mencari jalan yang batunya tak curam. Cukup membuat kami terpental-pental, hingga membuat motor kami terpeleset dan hampir jatuh. Untunglah kakiku dan kaki Maya sigap menopang.
Kemudian aku turun, agar tak menambah beban motor itu. Aku berjalan, sedangkan Maya membawa motor kami. Yang tak kami harapkan terjadi, Maya terpeleset lagi dan kali ini benar-benar membuatnya jatuh.
Aku mencoba menolongnya dengan mengangkat motor karena kaki Maya terjepit badan motor. Memang jalanan sangat licin, terlihat ada genangan air, sepertinya hujan kemarin.
"Gpp mb?" tanya bapak-bapak sambil membantuku mengangkat motor.
Maya menggeleng sambil terdiam. "Gpp pak. Terimakasih."
"Ada yang terluka mbak?" tanya bapak itu kembali sambil meminggirkan sepeda.
Aku pun memberikan Maya minum dan menemani duduk di pinggir. Diatas sebuah kayu yang tergeletak.
"Enggak ada pak, hanya kaget saja," sahut Maya menjawab pertanyaan bapak yang mengenakan topi.
"Pak, air terjun apa masih jauh dari sini?" tanyaku penasaran.
"Ohh ... mbaknya mau ke air terjun. Tinggal sedikit lagi sampai. Tapi memang jalannya menurun cukup curam. Saya sarankan untuk motornya di parkir di atas saja. Tapi bila mbaknya tak kesulitan, dibawah juga ada parkiran," kata bapak itu sambil menunjuk ke bawah.
"Iya pak, terimakasih," kata kami sambil mengangguk. Setelah kami tenang, bapak itu pamit menuju ke sawah.
Kami mempertimbangkan medan selanjutnya, akhirnya memutuskan untuk memarkir motor di atas. Aku menyuruh agar Maya menunggu, biar aku yang membawa motor itu di parkiran atas.
Dengan penuh kehati-hatian, kufokuskan perhatian pada jalan bebatuan, agar tak membuatku terpeleset seperti Maya. Akhirnya aku bertemu lagi dengan mas yang tadi menawari parkir. Tadi, memang tak menghiraukan beliau. Aku tersenyum sambil menitipkan motor. Di sana tampak tiga motor berjajar karena memang masih pagi.
Aku menuruni jalan, tampak Maya masih duduk dan ternyata tangannya cedera, namun sudah diberi plester. Ketika berdiri, Maya baru terasa bila kakinya cukup sakit akibat terjepit motor.
Dia mencoba berjalan dengan pelan walaupun terhuyung-huyung. Aku pun mencari sebuah kayu yang cukup kokoh untuk dijadikan tongkat oleh Maya, sambil tangannya berpegangan dengan pundakku. Aku pun menuntunnya, tak masalah kami berjalan cukup pelan, asalkan sampai dengan selamat.
Ketika kami sampai di jalanan turun, benar kata bapak tadi, terlihat turunan tajam dengan bebatuan.
"Tepat keputusan kami tadi, " pikirku. Beruntung kami tak membawa motor sampai sini. Untuk berjalan saja, kami harus memilih jalan yang bebas dari air, yang tak licin. Setelah turunan kedua kami lalui, akhirnya sampailah di kawasan air terjun.
Terlihat tempat parkir, beberapa penjual dan toilet. Kemudian kami melangkah menuju pintu masuk, setelah membayar ticket. Saat kami melangkahkan kaki, terlihat suguhan bunga warna-warni di taman, beberapa spot foto dan juga pemandangan alam yang begitu indah. Udara yang begitu sejuk, suara burung dan gemericik air.
Mata kami menangkap karya Sang Maha Pencipta yang begitu cantik, banyak pepohonan, aliran sungai yang nampak segar dan air terjun yang sangat indah.
Kami berfoto-foto di beberapa spot dengan angle yang cantik. Lalu kami bermain ayunan kayu sambil menyantap roti yang kami bawa, sebelum menyusuri hutan dan sungai untuk menikmati air terjun dari bawah.
Sungguh pengorbanan yang tak terbayar, dapat menikmati karya ciptaan Tuhan. Bersyukur bisa sampai di sini, inilah ceritaku, gadis yang suka menikmati alam, Fira.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI