Mohon tunggu...
Kristina Tobing
Kristina Tobing Mohon Tunggu... -

Merindukan kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bagaimana Kita Dapat Bermimpi Ketika Lapar? - Screen Below The Wind Festival

18 November 2012   04:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:08 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya saya menduga film berjudul "Agrarian Utopia" yang diputar pada Screen Below The Wind Festival ini adalah film tentang Indonesia. Tapi ternyata bukan, film dokumenter berdurasi 122 menit ini adalah film Thailand dan membahas situasi yang dialami oleh para petani di Negeri Gajah Putih.

Sama seperti di Indonesia, bekerja sebagai petani di negara besar yang makanan pokok penduduknya adalah beras tidak menjamin mereka bisa hidup berkecukupan. Sebuah ironi yang sering kali terlewat begitu saja dari pengamatan kita.

Tokoh sentral dalam film "Agrarian Utopia" adalah petani-petani sederhana dengan segala permasalahannya. Tanah mereka disita, 2 keluarga bertemu dan bertani bersama, berharap dapat melalui musim panen berikutnya seperti setiap tahunnya. Namun, tak peduli berapa kali bumi telah berputar, seberapa maju negara melalui perubahan ekonomi, politik dan sosial, mereka masih tidak dapat memahami arti kebahagiaan.

Pada akhirnya, film ini berujung pada sebuah pertanyaan yang bisa dilontarkan kepada para pemimpin negara kita: Bagaimana kita dapat bermimpi ketika lapar?

Fokus persoalan politik di Thailand coba diangkat juga pada Screen Below The Wind Festival lewat film dokumenter kedua yang berjudul "A Brief History of Memory". Film karya sutradara Chulayarnnon Siriphol ini berdurasi lebih singkat namun tetap mampu menyajikan pesan yang kuat dalam setiap frame gambarnya. Film ini didedikasikan kepada korban yang meninggal selama krisis politik di Thailand. Efek dari krisis itu sendiri keluar dari suara seorang ibu yang kehilangan anak laki-lakinya di bulan April 2009, dan dibungkus dengan gambar bergerak dari komunitas Nang-Lerng dimana dia dan keluarganya tinggal.

Festival Layar di Bawah Angin

Festival Layar di Bawah Angin (Screen Below The Wind Festival) adalah ruang pertukaran budaya dan sejarah Asia Tenggara, melalui film dan foto dokumenter. Festival ini tidak hanya untuk peminat dan pelaku film dan foto dokumenter, tapi juga untuk siapapun yang ingin lebih emahami peristiwa yang terjadi di berbagai negara di Asia Tenggara.

Festival ini juga mempertemukan berbagai rekan yang selama ini saling mempengaruhi, yaitu pembuat film & foto dokumenter, publik, pelaku media mainstream dan bisnis melalui  berbagai kegiatan seperti Workshop Film dan Foto Dokumenter, Berbagi Bersama Dokumentarian, Sarasehan Dokumenter Asean.

Festival Layar di Bawah Angin (Screen Below The Wind Festival) menyambut kedatangan rekan semua, untuk duduk bersama, saling berbagi untuk memahami realita dengan lebih utuh di dalam suasana yang hangat dan sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun