Mohon tunggu...
H K
H K Mohon Tunggu... profesional -

penikmat alam - pembaca - penggila futsal - sedang belajar menulis - penggemar bahasa prancis ..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Itu Emakku...

18 November 2013   10:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Haaii, kamu mau apa?,
Makan yah sama minum?,
Dibikinin yah?,
Tunggu, tunggu, dibungkusin yah."

Lelaki muda itu hanya tersenyum kosong, berdiri di pembatas rumahku dengan rumah kontrakan di samping rumahku. Pakaiannya kotor, compang camping. Tanpa sandal.

Dan sepertinya dia sudah lama sekali tidak mandi karena tubuhnya terlihat sangat dekil sekali. Dia hanya berdiri sedari tadi sambil sesekali tersenyum ke arah ibuku tanpa mengucap sepatah kata pun. Hanya komat kamit sendiri tanpa mengeluarkan suara laiknya berbicara sebagai manusia normal.

Tanpa rantaian kata darinya, ibuku sepertinya sudah tahu apa yang diinginkan laki-laki tersebut.

"Sbentar yah bu, saya buatin dia dulu", kata ibuku kepada 5 orang ibu yang sudah sedari tadi mengantri.

"Iihh kan dia orang gila, kenapa dipanggil sih sm bude", bude sebutan mereka untuk ibuku,
"Aah nanti dia ngacak-ngacak aja.. Kan jadi takut saya", itu suara bisik-bisik mereka yang sebenarnya bisa kudengar karena aku berdiri di bibir pintu dekat dengan mereka.

Ya, seperti biasanya di tengah hari, rumahku selalu dipenuhi oleh orang-orang yang tertarik untuk membeli bakso. Iya, ibuku berjualan bakso tepat di depan rumah kami. Meskipun agak menjorok ke dalam dari tepi jalanan tapi Tuhan selalu memberkati jualan ibuku.

Siang itu tidaklah begitu panas seperti hari-hari sebelumnya. Sehingga sepertinya laki-laki tersebut tidak begitu kepanasan meskipun berdiri di bawah teriknya matahari. Dia setia menunggu ibuku yang sedang membuatkannya semangkok bakso.

Ibu-ibu yang sedang mengantri hanya bisa terdiam pasrah, karena ibuku benar-benar menyisihkan mangkok-mangkok pesanan mereka.

Tangan ibuku lantas bergerak cepat, meracik bumbu-bumbu, menambahkan sejumput mie kuning lantas menaruhnya di atas mangkok sterofom.

Tanpa saos, hanya sedikit sambal sebagai penyedap. Lalu menambahkan sebuah bakso besar dan beberapa banyak bakso kecil dan tak lupa kuah secukupnya.

"Le..!!", itu suaranya kala memanggilku yang sedari tadi masih berdiri diam di bibir pintu.
"Ya", jawabku.
"Ambilin masnya aqua dingin",

Itu ibuku menyuruhku mengambilkan segelas air putih kemasan dari dalam kulkas untuk laki-laki tadi.

Belum sampai ku kembali ke depan rumah, ibuku kembali memanggilku.
"Gak jadi le, gak mau dia".
Tapi ku sudah terlanjur membawanya ke depan.

"Ini dimakan", kata ibuku seraya menyerahkan semangkuk bakso yang baru dibuatnya kepada laki-laki itu.

Laki-laki itu menerima semangkok bakso pemberian ibuku lalu pergi dengan senyum yang terus mengembang, pergi ke arah mana dia suka. Tanpa membawa serta air yang juga disuguhkan untuknya.

Itu ibuku, wanita yang sudah mulai menua tapi masih tanpa pernah mengeluh ikut membantu bapakku mencari sesuap nasi dengan keringatnya sendiri.

Dan sekarang aku mau bercerita lebih lanjut tentang ibuku, atau aku lebih senang memanggilnya emak, lebih enak begitu, lebih terasa natural, karena sesungguhnya aku tidak pernah memanggilnya ibu, emak sudah cukup buatku.

Emak tak pernah suka melihat orang yang kelaparan ada di sekitarnya.
Pernah satu kali atau sering kali dia dengan mudahnya memberikan ekstra bakso kepada ibu-ibu yang datang membeli bakso dengan membawa lebih dari 3 anak yang terus merengek karena ibu tersebut hanya membeli 1 mangkok untuk dinikmati.

Atau kepada mereka, tukang sampah, tukang-tukang dagang, dan yang lainnya, dengan mudahnya dia menawarkan semangkok bakso atau bahkan hanya segelas air dingin sebagai penawar dahaga untuk mereka.

Hingga satu kali ku pernah berujar padanya,
"Mak kalo jualannya kaya gitu, kapan kayanya?", dan ini jawabnya dengan santai,
"Mamak mah dah tua, jadi biar kalian aja yang kaya, mamak mah gini aja dah cukup, yang penting bisa makan. Biar nanti Tuhan balasnya ke kalian aja."

Kata kalian di situ adalah aku bersama adikku yang selalu mengkritisi caranya berjualan. Tapi sepertinya emak sudah tahu kalau Tuhan tidaklah pintar matematika.

Ya, begitulah emakku, emak yang cerewet tapi sebenarnya baik hatinya. Emak yang punya daya magisnya sendiri.
Ini serius dan benar-benar terjadi padaku. Jika ada ayat di Alkitab yang mengatakan "hormati ayah dan ibumu, agar kelak panjang usiamu di bumi", maka itu benarlah adanya. Akan kuceritakan sebuah kisah sebagai buktinya.

Kala itu saat kami masih tinggal di rumah kontrakan, saat aku masih SD, saat aku marah sama emak, entah karena apa, aku sudah lupa. Yang pasti saat itu aku ngedumel sendirian, memaki emakku untuk sesaat. Beberapa waktu kemudian, aku hendak menyalakan radio tape yang kami punya, dan di saat itu aku tersetrum karena memegang tombol play di radio tape itu. Aneh. Dengan sangat terkejut bercampur takut, ku teriakkan nama "emaaak". Dan di saat itu dia datang menolongku.
"Makanya jangan ngelawan sama mamak, kualat tuh.", ujarnya santai.

Ya dua kali sudah aku kesetrum karena marah-marah sama emakku. Dan kalimat pertama yang keluar di saat-saat seperti itu adalah nama emak yang selalu terlontar. Hihi..

Ya, itulah emakku.

Ya kini emak sudah semakin tua, semakin beruban, semakin keriput, tapi semangatnya masih semakin kuat.

-----

Ciledug, tempat tulisan ini dibuat tengah malam ini terbuat dari rintik hujan yang belum juga mau berhenti jatuhnya, bersama rima tak tik merdunya air menyentuh genting, mengiringi doaku untuk emak agar Tuhan selalu menjaganya.

*yang rajin yah mamak ke greja, biar Tuhan semakin sayang sama emak*

*doa terakhir itu selalu dibantah sama emak, "Rajin ke gereja tapi ada orang sakit, miskin dibiarin aja sama orang gereja, ya sama aja bohong"*

Rupanya emakku lebih memilih mengesampingkan formalisme keagamaan, kalau boleh mengutip kalimat Bapak Bambang Subandrijo, Ph.D, dan lebih mengedepankan aksi nyata dalam hidup bersaksinya.

With love for my mom..

Ciledug, 17 november 2013, 00:43am

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun