Waktu masih berkuliah, saya menemukan cara yang paling efektif untuk membuat dosen saya marah. Gampang caranya. Hanya dengan menggunakan referensi-referensi dari web yang tidak jelas atau blog untuk mengerjakan tugas laporan pribadi, maka dijamin dosen akan ngamuk. Dosen manapun akan merasa sangat tersinggung bila kita menyebarkan materi yang tidak kredibel kepada seisi kelas. Mungkin karena berita tidak jelas itu identik dengan fitnah, yang katanya beda tipis dengan membunuh.
Sebenarnya,seperti inilah yang sedang terjadi di negara ini. Sebegitu hebatnya penetrasi internet, hingga semua orang – tak peduli berapapun umurnya – bisa mengakses jaringan ini. Belum lagi dengan dukungan pihak swasta, makin lebar akses setiap kita ke jaringan internet. Salah satu layanan yang paling populer digunakan adalah media sosial. Siapa yang tak kenal Facebook dan Twitter? Sayangnya, tidak semua berita yang tersebar di internet itu benar.
Tangan-tangan di Balik Trik ini
Campur tangan layanan iklan di media sosial ternyata bisa sangat berbahaya. Sederhananya begini. Ketika ada laman yang banyak dikunjungi orang, maka laman ini akan terdeteksi oleh sistem internet (traffic). Pihak laman itu akan ditawari untuk menjadi media iklan dengan kompensasi sejumlah uang (1). Inilah alasan mengapa banyak web berlomba untuk diklik orang. Nah, kemudian masalahnya adalah bagaimana cara menarik orang agar mengklik lamannya?
Berhubung materi agama masih merupakan komoditas yang menarik perhatian sebagian besar kita, maka digunakanlah konten ini. Namun, akan kurang menarik bila laman hanya berisi renungan atau khotbah agama yang biasa-biasa saja. Butuh sesuatu yang lebih mengigit dan menggoda.
Agar lebih atraktif, para pemilik laman yang tidak jujurpun memelintir berita agar lebih menjadi sensasional. Misalkan dengan menyajikan judul “Foto Penyembelihan Warga Muslim di Myanmar.” Namun, ternyata foto-foto yang dimuat adalah foto yang tidak berhubungan dengan judul yang dimaksud. Semuanya benar-benar tergantung tingkat intelegensi dan kreativitas sang empunya laman.
Kita harus mengaku dengan rendah hati kalau banyak dari kita yang begitu mudahnya menyebarkan (share) tautan laman yang nampak berisi fakta, namun ternyata bersumber dari alamat blog. Banyak yang masih berpikir bahwa apapun yang terpampang di internet sudah pasti berita yang benar. Pertama-tama, kita harus ingat kalau internet (khususnya blog) itu bukan seperti koran yang harus melalui meja redaksi sebelum dirilis. Kedua, anak berumur 10 tahun yang fasih internet bisa mengetik apa saja di website pribadinya, termasuk menulis bahwa ada monster di kolong ranjangnya.
Ya, masih banyak dari kita yang tidak tahu caranya membedakan mana sumber yang dipercaya dan mana yang abal-abal. Asal judulnya sensasional, langsung klik share. Benar atau tidaknya berita itu menjadi perkara nomor dua yang nanti-nanti saja.
Kembali ke contoh kasus foto penyembelihan di atas.
Saat seseorang mengakses laman yang berisi foto-foto sensasional tersebut, ia akan merasa marah dan kelanjutannya bisa kita tebak: klik share. Kali ini share-nya disertai dengan kemarahan yang nampak jelas dari caption-nya, misalkan “Dasar kafir” atau ujaran kebencian serta sumpah-serapah. Rasa marah yang di-share ini kemudian menyulut emosi teman-temannya yang lain di daftar pertemanannya. Lagi-lagi, kelanjutan kisah ini bisa ditebak: klik share.
Share, share, share, dan share, sampai rasa kebencian meluas ke seantero jagat raya. Kita saling benci, tapi pemilik laman yang tertawa karena makin deras uang yang mengalir ke kantongnya. Konyol juga sebenarnya kita dibodohi seperti ini.
Bagaimana Membedakannya?
Cara termudah untuk membedakan dua hal yang berbeda langit-bumi ini adalah dari alamat tautannya. Bila alamatnya merupakan situs resmi lembaga berita tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan, tentu bisa kita percaya. Misalkan, kompas.com, tempo.co, dan seterusnya. Akan tetapi, kita harus sadar bahwa banyak orang yang kreatif luar biasa. Mereka bisa saja membuat situs alamatnya nampak serupa, seperti korankompas.com, hariantempo.com, dan macam-macam nama kreatif lainnya.
Nah, untuk yang sudah jelas-jelas blog, tentu akan sangat mudah kita kenali, misalkan, sebarkan.blogspot.com, kabarbaik.blog.com.
Dari pengamatan pribadi, sumber-sumber yang tidak resmi akan cenderung menggunakan juduk berita yang lebih menggoda untuk diklik dan lebih agresif mengajak pembacanya untuk klik share, misalkan "TERNYATA, inilah alasan mengapa anak artis A berbeda dengan wajah kedua orang tuanya" atau "SEBARKANLAH! Seorang anak di kota X mampu berubah wujud menjadi asap."
Pada akhirnya membedakan mana yang asli dan yang palsu memang sesulit membedakan kekasih yang tulus dan yang PHP (Pemberi Harapan Palsu).
Belajar Berpikir Lebih Panjang
Sudah saatnya kita belajar mana sumber berita yang bisa dipercaya dan mana yang tidak. Edukasi seperti ini sangat penting untuk kaum latah share seperti kebanyakan kita. Atau lebih tepatnya, kita harus lebih terbiasa untuk memikirkan dampak dari berita yang kita sebarkan. Pernahkah kita berpikir “Apakah berita ini benar? Kalau berita ini bohong, namun saya sebar, apa akibatnya buat saya dan orang lain?” Cukup sudah kebiasaan kita yang lebih suka menyebarkan informasi dengan amarah, bukannya dengan pertimbangan yang masak.
Coba bayangkan apa jadinya kalau kita memenuhi home akun media sosial kita dengan yang akurat secara fakta, apalagi dengan berita yang bertemakan toleransi, misalkan ada Gereja dan Masjid yang selalu saling-membantu pada saat Natal dan Idul Fitri. Ya, harus diakui berita seperti ini nampaknya tidak laku karena tidak sensasional dan menyulut emosi, sehingga kurang menggoda untuk dibaca.
Tapi ketahuilah, kita adalah apa yang kita baca. Bila kita sehari-hari mengonsumsi berita-berita hoax atau fitnah, ya seperti itu jualah kita nanti.
Sebagian orang berkesempatan mempelajari Ilmu Konflik dan Perdamaian. Mereka mampu menanggapi banyak berita kebencian dengan perspektif yang luar biasa mencelikkan. Namun, untuk kebanyakan kita, cukup yang simpel-simpel saja. Kita tidak perlu jadi ksatria penebar kedamaian yang muluk-muluk ataupun akademik dengan konsep ala Johan Galtung, Sang Bapak Ilmu Perdamaian.
Cukup mulai dengan hentikan kebiasaan latah share berita dengan sumber yang tidak jelas. Kita buat berita bohong itu berakhir di home kita tanpa diteruskan lebih lanjut. Jangan biarkan mulut, eh maksudnya, tangan kita ikut menyebar fitnah.
Yuk, cerdas menggunakan media sosial.
“Think before you share”.
Referensi:
(1) Gunelius S. Google Blogger for dummies. Hoboken, NJ: Wiley; 2009.
*artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H