Bagaimana Membedakannya?
Cara termudah untuk membedakan dua hal yang berbeda langit-bumi ini adalah dari alamat tautannya. Bila alamatnya merupakan situs resmi lembaga berita tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan, tentu bisa kita percaya. Misalkan, kompas.com, tempo.co, dan seterusnya. Akan tetapi, kita harus sadar bahwa banyak orang yang kreatif luar biasa. Mereka bisa saja membuat situs alamatnya nampak serupa, seperti korankompas.com, hariantempo.com, dan macam-macam nama kreatif lainnya.
Nah, untuk yang sudah jelas-jelas blog, tentu akan sangat mudah kita kenali, misalkan, sebarkan.blogspot.com, kabarbaik.blog.com.
Dari pengamatan pribadi, sumber-sumber yang tidak resmi akan cenderung menggunakan juduk berita yang lebih menggoda untuk diklik dan lebih agresif mengajak pembacanya untuk klik share, misalkan "TERNYATA, inilah alasan mengapa anak artis A berbeda dengan wajah kedua orang tuanya" atau "SEBARKANLAH! Seorang anak di kota X mampu berubah wujud menjadi asap."
Pada akhirnya membedakan mana yang asli dan yang palsu memang sesulit membedakan kekasih yang tulus dan yang PHP (Pemberi Harapan Palsu).
Belajar Berpikir Lebih Panjang
Sudah saatnya kita belajar mana sumber berita yang bisa dipercaya dan mana yang tidak. Edukasi seperti ini sangat penting untuk kaum latah share seperti kebanyakan kita. Atau lebih tepatnya, kita harus lebih terbiasa untuk memikirkan dampak dari berita yang kita sebarkan. Pernahkah kita berpikir “Apakah berita ini benar? Kalau berita ini bohong, namun saya sebar, apa akibatnya buat saya dan orang lain?” Cukup sudah kebiasaan kita yang lebih suka menyebarkan informasi dengan amarah, bukannya dengan pertimbangan yang masak.
Coba bayangkan apa jadinya kalau kita memenuhi home akun media sosial kita dengan yang akurat secara fakta, apalagi dengan berita yang bertemakan toleransi, misalkan ada Gereja dan Masjid yang selalu saling-membantu pada saat Natal dan Idul Fitri. Ya, harus diakui berita seperti ini nampaknya tidak laku karena tidak sensasional dan menyulut emosi, sehingga kurang menggoda untuk dibaca.
Tapi ketahuilah, kita adalah apa yang kita baca. Bila kita sehari-hari mengonsumsi berita-berita hoax atau fitnah, ya seperti itu jualah kita nanti.
Sebagian orang berkesempatan mempelajari Ilmu Konflik dan Perdamaian. Mereka mampu menanggapi banyak berita kebencian dengan perspektif yang luar biasa mencelikkan. Namun, untuk kebanyakan kita, cukup yang simpel-simpel saja. Kita tidak perlu jadi ksatria penebar kedamaian yang muluk-muluk ataupun akademik dengan konsep ala Johan Galtung, Sang Bapak Ilmu Perdamaian.
Cukup mulai dengan hentikan kebiasaan latah share berita dengan sumber yang tidak jelas. Kita buat berita bohong itu berakhir di home kita tanpa diteruskan lebih lanjut. Jangan biarkan mulut, eh maksudnya, tangan kita ikut menyebar fitnah.