Mohon tunggu...
Kristian Wongso
Kristian Wongso Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Kriminologi

Pembelajar Ilmu Kriminologi, Dokter Anak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Seorang Dokter Kristen dan Bulan Sabit Merah Indonesia

15 Oktober 2015   19:39 Diperbarui: 15 Oktober 2015   20:07 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa sangka pengalaman yang nampaknya sangat sederhana dan mungkin biasa saja akan sangat membekas dan mengubah pandangan saya.

Sore itu, seorang kawan mengabari saya tentang lowongan dokter untuk bakti sosial yang akan diadakan oleh Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Dalam minggu itu, kebetulan saya sedang lowong. Menurut ketersediaan waktu, saya bisa. Namun ternyata pertimbangan saya lebih dari itu: apakah saya boleh bergabung? Bukankah BSMI itu jelas-jelas lembaga yang memegang nilai-nilai Islami dan saya bukan seorang Muslim; apakah perbedaan pandangan ini bermakna?

Saya kemudian menghubungi panitia untuk mengonfirmasi lowongan tersebut. Panitia meminta nama lengkap saya dan data-data dasar lainnya. Menarik, mereka tidak meminta data agama saya. Walaupun begitu, rasanya nama saya sudah cukup menyatakan apa kepercayaan yang saya anut.

Tanpa diduga, panitia bertindak biasa saja dan meminta saya untuk berkumpul di lokasi pada hari yang telah ditentukan. Sesampainya di sana, saya berjumpa dengan dokter-dokter yang lain. Kamipun berkenalan. Setelah mendengar nama mereka satu per satu, saya menyimpulkan tidak ada nama yang se-Nasrani nama saya. Saat itu juga saya berbeda sendiri sebagai satu-satunya dokter beretnis Tionghoa. Sambil menunggu kegiatan dimulai, kami yang baru saling kenal pagi itu duduk di dalam sekretariat sambil saling berbagi pengalaman dan berbincang santai. Tidak ada perlakuan yang berbeda hanya karena saya non-Muslim.

Saya juga berkenalan dengan seorang dokter yang lebih senior dari saya. Ternyata ia adalah seorang dokter senior di BSMI. Saya ingat betul, ia memiliki janggut yang cukup lebat dan celananya cingkrang. Tebak bagaimana perlakuannya terhadap saya. Ia sangat ramah dan bersahabat. Kami bahkan duduk bersebelahan saat dalam perjalanan menuju lokasi.

Sesampainya di lokasi, kami melakukan tugas kami sebagai tim medis. Sesaat sebelum mulai kegiatan, kami dibagikan semacam pin oleh panitia yang tercetak logo BSMI di atasnya. Ada perasaan senang tersendiri saat menancapkan pin itu di jas putih saya. Seakan saya ingin mengatakan bahwa dalam dunia medis, tidak ada pembedaan tenaga medis menurut agama atau kepercayaan. Dunia medis yang saya pahami adalah dunia akademik dan praktis yang berorientasi pada pasien dan kemanusiaan. Belum lagi, di antara sejawat dokter, kami dididik untuk memperlakukan sejawat dokter lain seperti saudara, tanpa mempedulikan suku, ras dan agamanya.

 

 

Dokumentasi: pribadi

 

Berhubung kegiatan bakti sosial itu dilakukan di lokasi yang penduduknya masih banyak yang membutuhkan, maka jumlah pasien sudah pasti cukup untuk membuat kami kelelahan. Di balik rasa letih, saya merasa sangat bersemangat bekerja dengan tim BSMI.

Kegiatan itu berakhir pada sore hari, sekitar pukul 17.00 WIB. Kami duduk sejenak melepas letih sambil bercakap-cakap santai. Kegiatan bakti sosial itu diakhiri dengan foto bersama. Pin dan foto itu akan selalu saya simpan dengan baik.

Hari itu sungguh berkesan, seakan sekali lagi membuktikan bahwa kita semua dapat bersatu dalam hal kemanusiaan, khususnya kesehatan. Sungguh bangga bisa bekerja bersama dengan BSMI. Walaupun lembaga ini adalah lembaga religius Islam, tapi seorang non-Muslim seperti saya diterima dengan baik, seakan tidak ada bedanya saya dengan rekan-rekan lain.

Hal yang sama juga sempat saya alami saat saya mengamati bakti sosial yang diadakan oleh teman-teman Ahmadiyah. Karena menggunakan metode homeopati, saya tidak dapat membantu, sehingga saya hanya berkeliling mengobservasi. Pada akhir pengobatan homeopati gratis itu, saya berdiskusi dengan dokter-dokter yang bertugas di sana. Penampilan mereka juga seperti tipikal Muslim kebanyakan, yang memelihara janggut mereka. Keteguhan keyakinan mereka sama sekali tidak membuat mereka memperlakukan saya secara berbeda. Pada akhir perjumpaan, saya bahkan dipeluk – budaya yang mereka pegang saat hendak berpisah.

Semoga lebih banyak lagi lembaga religius yang dapat mencontohkan kepada mereka di luar sana bahwa sudah wajar, malah seharusnya, perbedaan agama bukanlah pemisah untuk kita bersatu untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Kepercayaan kita mungkin berbeda dan berlainan jalan, namun, kemanusiaan, di sinilah kita berjumpa.

Dokumentasi: FB BSMI Jakarta

 

 

#70thICRCid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun